![]() |
TIDAK ADA PACARAN ISLAMI .... !!! |
Menempelkan label Islami memang mudah. Namun ketika yang dilekati adalah hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, maka perkaranya menjadi berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah k.
Allah k berfirman dalam Al-Qur`an yang mulia:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan
tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka, mudahan-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang
benar.” (Ar-Rum: 41)
‘Ala`uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi t yang masyhur
dengan sebutan Al-Khazin menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat di
atas. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut”, karena kesyirikan
dan maksiat tampaklah kekurangan hujan (kemarau) dan sedikitnya tanaman
yang tumbuh di daratan, di lembah, di padang sahara yang tandus dan di
tanah yang kosong. Kurangnya hujan ini selain berpengaruh pada daratan
juga membawa pengaruh pada lautan, di mana hasil laut berupa mutiara
menjadi berkurang. (Tafsir Al-Khazin, 3/393)
Kerusakan banyak terjadi di darat dan di laut, berupa rusak dan
kurangnya penghidupan/pencaharian manusia, tertimpanya mereka dengan
berbagai penyakit dan wabah serta perkara lainnya karena
perbuatan-perbuatan rusak/jelek yang mereka lakukan. Semua itu
ditimpakan kepada mereka agar mereka mengetahui bahwa Allah l akan
membalas apa yang mereka perbuat. Diharapkan dengan semua itu mereka mau
bertaubat dari perbuatan jelek mereka. Demikian kata Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di t dalam Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 634.
Demikianlah, kerusakan dapat kita jumpai di mana-mana. Jangankan di kota besar, bahkan di pedesaan sekalipun. Belum lagi musibah yang terjadi hampir di seluruh negeri. Semua itu tidak lain penyebabnya karena dosa anak manusia.
Abul ‘Aliyah t berkata, “Siapa yang bermaksiat kepada Allah l di
muka bumi maka sungguh ia telah membuat kerusakan di bumi. Karena
kebaikan di bumi dan di langit diperoleh dengan ketaatan.” (Tafsir
Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/179)
Pergaulan anak muda yang rusak merupakan salah satu penyebab kerusakan tersebut. Hubungan pra nikah dianggap sah. Pacaran boleh-boleh saja, bahkan dianggap suatu kewajaran dan tanda kewajaran anak muda.
Di lembar ini, bukan hubungan mereka (baca: yang awam) yang ingin
kita bicarakan, karena telah demikian jelas penyimpangan dan
kerusakannya! Para pemuda pemudi yang katanya punya ghirah terhadap
Islam, yang aktif dalam organisasi Islam, training-training pembinaan
keimanan dan kegiatan-kegiatan Islami lah yang hendak kita tuju. Mungkin
karena kedangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam atau terlalu mendominasinya
hawa nafsu, mereka memunculkan istilah “pacaran Islami” dalam pergaulan
mereka. Bagaimana pacaran Islami yang mereka maukan? Jelas karena
diberi embel-embel Islam, mereka hendak berbeda dengan pacaran orang
awam/jahil. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegang-pegangan, tidak
ada kata-kata kotor dan keji. Masing-masing menjaga diri. Kalaupun
saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang
Islam, tentang dakwah, tentang umat, saling mengingatkan untuk beramal,
berzikir kepada Allah l, mengingatkan negeri akhirat, tentang surga dan
neraka. Begitu katanya!
Pacaran yang dilakukan hanyalah sebagai tahap penjajakan. Kalau
cocok, diteruskan sampai ke jenjang pernikahan. Kalau tidak, diakhiri
dengan cara baik-baik. Dulu penulis pernah mendengar ucapan salah
seorang aktivis mereka dalam suatu kajian keIslaman untuk mengalihkan
anak-anak muda Islam dari merayakan Valentine Day, “Daripada pemuda
Islam, ikhwan sekalian, pacaran dengan wanita-wanita di luar, yang tidak
berjilbab, tidak shalihah, lebih baik berpasangan dengan seorang
muslimah yang shalihah.”
Darimanakah mereka mendapatkan pembenaran atas perbuatan mereka?
Benarkah mereka telah menjaga diri dari perkara yang haram atau malah
mereka terjerembab ke dalamnya dengan sadar ataupun tidak? Ya, setanlah
yang menghias-hiasi kebatilan perbuatan mereka sehingga tampak sebagai
kebenaran. Mereka memang –katanya– tidak bersentuhan, tidak pegangan
tangan, tidak ini dan tidak itu… Sehingga jauh dan jauh mereka dari
keinginan berbuat nista (baca: zina), sebagaimana pacarannya para
pemuda-pemudi awam/jahil yang pada akhirnya menyeret mereka untuk
berzina dengan pasangannya. Na’udzubillah!!! Namun tahukah mereka
(anak-anak muda yang katanya punya kecintaan kepada Islam ini) bahwa
hati mereka tidaklah selamat, hati mereka telah terjerat dalam fitnah
dan hati mereka telah berzina? Demikian pula mata mereka, telinga
mereka?
Rasulullah n telah mengingatkan dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ
ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ, فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ, وَزِنَا اللِّسَانِ
الْمَنْطِقُ, وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي, وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ
ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina1.
Dia akan mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka, zinanya mata adalah
dengan memandang (yang haram) dan zinanya lisan adalah dengan berbicara.
Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan
yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no.
6243 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah z)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ
لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكلامُ، وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal
itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, dan zinanya dengan
memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina, dan zinanya dengan
mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina, dan zinanya dengan
berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina, dan zinanya dengan
memegang. Kaki itu berzina, dan zinanya dengan melangkah (kepada apa
yang diharamkan). Sementara, hati itu berkeinginan dan berangan-angan,
sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR.
Muslim no. 2657)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Makna dari hadits di atas adalah anak
Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Maka di antara mereka ada yang
melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan kemaluannya ke dalam
kemaluan yang haram (untuk dimasuki karena bukan pasangan hidupnya yang
sah, pent.). Dan di antara mereka ada yang zinanya secara majazi
(kiasan) dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan
perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di
mana tangannya meraba wanita yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau
kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau untuk melihat
zina, atau untuk menyentuh wanita non mahram atau untuk melakukan
pembicaraan yang haram dengan wanita non mahram dan semisalnya, atau ia
memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.
Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya.
Maknanya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya,
dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan
kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram, sekalipun dekat dengannya.”
(Syarhu Shahih Muslim, 16/206)
Dengan pacaran yang mereka beri embel-embel Islam, adakah mereka
dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram? Sementara
memandang wanita ajnabiyyah (non mahram) atau laki-laki ajnabi termasuk
perbuatan yang diharamkan.
Allah k memerintahkan: “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada
laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan
mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci
bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka…’.” (An-Nur: 30-31) Tidakkah mereka tahu bahwa wanita merupakan
fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Sebagaimana dinyatakan Rasulullah n
dalam sabda beliau: مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى
الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah
yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR.
Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880) Di samping itu, dengan pacaran
“Islami” ala mereka, mereka tentu tidak akan lepas dari yang namanya
khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilath (bercampur baur
antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya hijab/tabir penghalang).
Rasulullah n pernah bersabda: لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ
مَعَ ذِي مَحْرَمٍ “Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki
bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama
mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259) Al-Qadhi Iyadh
t berkata, “Wanita adalah fitnah, sehingga laki-laki ajnabi dilarang
bersepi-sepi dengannya. Karena jiwa-jiwa manusia diciptakan punya
kecenderungan/syahwat terhadap wanita, dan setan akan menguasai mereka
dengan perantaraan para wanita.” Beliau juga mengatakan bahwa wanita
adalah aurat yang sangat urgen untuk dijaga dan dipelihara. Dan
mahramnya sebagai orang yang memiliki kecemburuan terhadapnyalah yang
akan melindungi dan menjaganya. (Al-Ikmal, 4/448) Al-Imam An-Nawawi t
menyatakan, “Adapun bila seorang laki-laki ajnabi berdua-duaan dengan
wanita ajnabiyah tanpa ada orang ketiga bersama keduanya, maka hukumnya
haram menurut kesepakatan ulama. Demikian pula bila bersama keduanya
hanya ada seseorang yang biasanya orang tidak sungkan/tidak merasa malu
berbuat sesuatu di hadapannya karena usianya yang masih kecil, seperti
anak laki-laki yang baru berumur dua atau tiga tahun dan yang
semisalnya. Karena keberadaan orang seperti ini sama saja seperti tidak
adanya.” (Al-Minhaj, 9/113) Rasulullah n juga bersabda:
“Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang
wanita melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi no.
1171, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Karena bahayanya fitnah wanita dan bersepi-sepi dengan wanita, Rasulullah n sampai memperingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
الْأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ:
الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian masuk ke tempat para wanita!” Berkatalah
seseorang dari kalangan Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat anda
dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no.
5232 dan Muslim no. 5638)
Ipar di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak
laki-lakinya. Makna “Ipar adalah maut”, kata Al-Imam An-Nawawi t, bahwa
kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya.
Kejelekan bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena
biasanya ia bisa masuk dengan leluasa menemui wanita yang merupakan
istri saudaranya atau istri keponakannya, serta memungkinkan baginya
berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada pengingkaran, karena dianggap
keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan hal itu laki-laki
ajnabi yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita. (Al-Minhaj,
14/ 378)
Ketika Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t
ditanya tentang hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan yang
terjalin sebelum zawaj, beliau menjawab, “Bila yang dimaukan penanya,
sebelum zawaj adalah sebelum dukhul (jima’) setelah dilangsungkannya
akad nikah, maka tidak ada dosa tentunya. Karena dengan adanya akad
berarti si wanita telah menjadi istrinya walaupun belum dukhul. Namun
bila yang dimaksud sebelum zawaj adalah sebelum akad nikah, baru
pelamaran atau belum sama sekali, maka yang ini haram. Tidak boleh
dilakukan. Tidak diperkenankan seorang lelaki bernikmat-nikmat dengan
seorang wanita ajnabiyah, baik dalam ucapan, pandangan, maupun khalwat.”
(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/600)
Seorang laki-laki yang telah resmi melamar seorang wanita
sekalipun, ia tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan
diterimanya pinangannya tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan
bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat,
bebas telepon, bebas sms, bebas chatting, ngobrol apa saja. Karena
hubungan keduanya belum resmi, si wanita masih tetap ajnabiyah baginya.
Lalu apatah lagi orang yang baru sekadar pacaran belum ada peminangan,
walaupun diembel-embeli kata Islami?
Ada seorang lelaki meminang seorang wanita. Di hari-hari setelah
peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar
bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita
memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita,
namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun
bacaan Al-Qur`an. Ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dimintai fatwa
tentang hal ini, beliau menjawab, “Hal seperti itu tidak sepantasnya
dilakukan. Karena perasaan si lelaki bahwa wanita yang duduk bersamanya
telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara
bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki
adalah sesuatu yang haram. Dan sesuatu yang mengantarkan kepada
keharaman, haram pula hukumnya.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih
Al-‘Utsaimin, 2/748)
Permasalahan senada ditanya kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, hanya saja pembicaraan si lelaki
dengan si wanita yang telah dipinangnya tidak secara langsung namun
lewat telepon. Beliau pun memberikan jawaban, “Tidak apa-apa seorang
laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya,
bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan
dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya
fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita,
maka itu lebih baik dan lebih jauh dari keraguan/fitnah.
Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita,
antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung lamaran di antara
mereka, namun hanya bertujuan untuk saling mengenal –sebagaimana yang
mereka istilahkan– maka ini mungkar, haram. Bisa mengarah kepada fitnah
dan menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah k berfirman:
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara
sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan
ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi
kecuali bila ada kebutuhan, dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf,
tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya
dituduh macam-macam).
Ulama telah menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram melakukan
talbiyah tanpa mengeraskan suaranya. Dan di dalam hadits disebutkan:
إِذَا أَتَاكُمْ شَيْءٌ فِي صَلَاتِكُمْ، فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتَصْفِقِ النِّسَاءُ
“Apabila datang pada kalian sesuatu dalam shalat kalian, maka
laki-laki hendaklah bertasbih dan wanita hendaknya memukul tangannya.”
Hadits di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak
semestinya memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan
mahramnya, kecuali dalam keadaan-keadaan yang dibutuhkan sehingga ia
terpaksa berbicara dengan laki-laki dengan disertai rasa malu. Wallahu
a’lam.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan,
3/163,164)
Kita baru menyinggung pembicaraan via telepon ataupun secara
langsung. Lalu bagaimana bila pemuda-pemudi berhubungan lewat surat?
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman dalam Fatawa Al-Mar`ah (hal.
58) ditanya, “Bila seorang lelaki melakukan surat-menyurat dengan
seorang wanita ajnabiyah, hingga pada akhirnya keduanya saling jatuh
cinta, apakah perbuatan ini teranggap haram?” Beliau menjawab,
“Perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan, karena dapat membangkitkan
syahwat di antara dua insan. Dan syahwat tersebut mendorong keduanya
untuk saling bertemu dan terus berhubungan. Kebanyakan surat-menyurat
seperti itu menimbulkan fitnah dan menumbuhkan kecintaan kepada zina di
dalam hati. Di mana hal ini termasuk perkara yang menjatuhkan seorang
hamba ke dalam perbuatan keji, atau menjadi sebab yang mengantarkan
kepada perbuatan nista. Karenanya, kami memberikan nasihat kepada orang
yang ingin memperbaiki dan menjaga jiwanya agar tidak melakukan
surat-menyurat yang seperti itu dan menjaga diri dari pembicaraan dengan
lawan jenis yang bukan mahramnya. Semuanya dalam rangka menjaga agama
dan kehormatannya. Dan Allah l-lah yang memberi taufik.”
Bila ada yang berdalih bahwa isi surat-menyurat mereka jauh dari
kata-kata keji, tidak ada kata-kata gombal dan rayuan cinta di dalamnya,
apatah lagi dalam surat menyurat tersebut dikutip ayat-ayat Allah l,
maka dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t,
“Tidak boleh bagi seorang lelaki, siapapun dia, untuk surat-menyurat
dengan wanita ajnabiyah. Karena hal itu akan menimbulkan fitnah.
Terkadang orang yang melakukan perbuatan demikian menyangka bahwa tidak
ada fitnah yang timbul. Akan tetapi setan terus menerus menyertainya,
hingga membuatnya terpikat dengan si wanita dan si wanita terpikat
dengannya.”
Asy-Syaikh t melanjutkan, “Dalam surat-menyurat antara pemuda dan
pemudi ada fitnah dan bahaya yang besar, sehingga wajib untuk menjauh
dari perbuatan tersebut, walaupun penanya mengatakan dalam surat
menyurat tersebut tidak ada kata-kata keji dan rayuan cinta.” (Fatawa
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, 2/898)
Demikianlah… Lalu, masihkah ada orang-orang yang memakai label Islam untuk membenarkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran?
Wallahul musta’an.
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 039
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah), Sumber : http://www.asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar