Ibnu Qayyim al-Jauziyah t berkata, “Cinta adalah kepergian hati
mencari yang dicinta, seraya lisannya terus-menerus menyebut yang
dicinta. Adapun lisan senantiasa menyebut yang dicinta, tak ragu lagi
karena dirinya tengah dirundung cinta yang teramat sangat, maka ia akan
banyak menyebutnya.” (Madariju as-Salikin, 3/15)
Cinta yang merasuk ke dalam diri akan mendorong seseorang berkiprah.
Melangkah mencari yang dicinta. Berupaya untuk senantiasa memenuhi apa
yang diinginkan oleh cintanya. Berusaha agar selalu menuai ridha dari
kekasih.
Cinta mendorong seseorang untuk berbulat tekad mempersembahkan apa yang
dimiliki. Apatah hendak dikata, kala cinta telah meluap di hati. Sikap
dan perilaku pun akan terbingkai karenanya. Tanpa cinta, hidup terasa
hambar. Tiada bermakna, bagai pohon yang tak pernah disirami air
kehidupan. Cinta nan bertumpu kebenaran mengantarkan hidup seseorang
pada jalan yang lurus.
Beribadah kepada Allah l harus dilandasi cinta (mahabbah) pula. Tentu
pula selain itu, dilandasi dengan sikap takut (khauf) dan mengharap
(raja’). Tiga hal ini harus terkumpul dan tak boleh sirna salah satu di
antaranya. Karena, barang siapa yang beribadah hanya dengan dilandasi
sikap takut, maka ia beribadah di atas jalan kaum Khawarij. Mereka
beribadah kepada Allah l hanya dilandasi sikap khauf, mengambil
nash-nash yang berisi ancaman, sedangkan nash-nash yang berisi janji,
ampunan (maghfirah), dan rahmat ditinggalkan.
Adapun yang beribadah hanya dilandasi dengan sikap raja’, maka ia
beribadah di atas jalan yang ditempuh oleh kaum Murji’ah. Mereka
beribadah atas dasar mengharap tanpa ada landasan rasa takut dari
berbuat dosa dan maksiat. Karena, bagi kalangan Murji’ah, iman cukup
hanya di hati. Amal perbuatan tidak terangkum dalam iman.
Adapun orang yang beribadah hanya dilandasi dengan sikap cinta
(mahabbah) saja, ia beribadah di atas landasan kaum Sufi. Tidak ada
hakikat ibadah melainkan didasari oleh tiga hal di atas. Satu di
antaranya adalah cinta.
Perlu ditelisik bahwa cinta (mahabbah) ada empat macam. Pertama,
mahabbah syirkiyah adalah cinta kepada berhala, patung, dan segala
sesuatu yang disembah (diibadahi) selain Allah l.
“Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).” (al-Baqarah: 165)
Kedua, mahabbah muharramah adalah mencintai sesuatu yang Allah l
memurkainya. Mencintai hal yang dicegah, dilarang, dan diharamkan,
seperti mencintai orang musyrik dan kafir.
Ketiga, mahabbah thabi’iyah adalah cinta seseorang terhadap anak-anaknya, kedua orang tuanya, istrinya, dan teman-temannya.
Keempat, mahabbah wajibah adalah mencintai para wali Allah l, mencintai
karena Allah l, dan berloyalitas karena Allah l. (Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan hafizhahullah, Ba’dhu Fawaid Surah al-Fatihah, hlm. 185—194)
Cinta nan tulus akan mengarahkan seorang hamba pada ibadah yang murni.
Cinta nan tulus menjadi salah satu faktor yang mengantarkan seorang
hamba meraih kelezatan manisnya iman. Rasulullah n bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ
اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga hal yang apabila ada pada diri seorang hamba, niscaya dia akan
merasakan manisnya iman: barang siapa yang menjadikan Allah l dan
Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya; seseorang yang mencintai
saudaranya, tidaklah dia mencintai melainkan karena Allah l; seseorang
yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah l
menyelamatkannya sebagaimana dia tidak suka jika dilemparkan ke dalam
api neraka.” (HR. Muslim no. 43 dari Anas bin Malik z)
Demikian pula, keimanan seorang hamba tidak akan bisa sempurna dan baik
manakala tidak melebihkan takaran cintanya kepada Rasulullah n. Cinta
kepada Rasulullah n harus lebih tinggi dibandingkan dengan cinta yang
diberikan kepada keluarga, harta, dan segenap manusia. Rasulullah n
bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah seorang di antara kalian beriman hingga dia menjadikan aku
lebih dia cintai dari keluarganya, hartanya, dan segenap manusia.” (HR.
Muslim no. 44 dari Anas bin Malik z)
Al-Qadhi bin ‘Iyadh t mengatakan bahwa termasuk mencintai Rasulullah
n adalah menolong sunnahnya, membela syariat (yang dibawanya). Tidaklah
sempurna iman seseorang melainkan dengan hal itu. Tidak sah pula cinta
seseorang kecuali dengan meninggikan kedudukan Nabi n atas orang tua dan
anak. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/205)
Dalam kerangka cinta itu pula, sahabat bertanya kepada Rasulullah n
mengenai amalan apa saja yang paling dicintai Allah k. Abdullah bin
Mas’ud z bertanya kepada Rasulullah n:
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا.
قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟
قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ.
“Amalan apakah yang paling dicintai Allah k?” Rasulullah n menjawab,
“Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa?” “Berbuat baik kepada kedua orang
tua.” “Kemudian apa?” Beliau n menjawab, “Jihad di jalan Allah l.” (HR.
al-Bukhari no. 5970)
Dorongan cinta telah melambungkan semangat beramal untuk sesuatu yang
lebih baik, lebih dicintai, dan lebih utama. Saat cinta bersemi di hati,
hasrat untuk meraup pahala sedemikian membumbung tinggi. Cinta telah
membasuh hati dan menjadikannya jernih saat menatap hidup, karena cinta
telah melumpuhkan gejolak syahwat nan membinasakan. Akhirnya, yang ada
hanyalah menghaturkan segenap amal hanya bagi Allah l semata. Tiada bagi
selain-Nya. Yang ada hanyalah bagi-Nya. Seraya amal itu dititi di atas
ittiba’ terhadap Rasul-Nya n.
Ibnu Katsir t menuturkan perihal sifat orang yang memiliki kedudukan tertinggi dengan firman-Nya:
“Mereka memberikan makanan yang disukainya….” (al-Insan: 8)
“… dan memberikan harta yang dicintainya….” (al-Baqarah: 177)
Sungguh, mereka adalah orang-orang yang menyedekahkan sesuatu yang
mereka cintai. Walaupun kadang mereka membutuhkannya, tetapi hal itu
tidak dipentingkannya. Mereka lebih mengutamakan orang lain dibandingkan
dengan diri mereka sendiri. Yang termasuk dalam kedudukan tertinggi ini
adalah Abu Bakr ash-Shiddiq z. Beliau menyerahkan segenap harta yang
dimilikinya. Rasulullah n bertanya kepadanya, “Apakah yang telah engkau
sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar z menjawab, “Aku tinggalkan Allah l
dan Rasul-Nya untuk mereka.” (HR. at-Tirmidzi no. 3675)
Begitu pula dengan air minum yang ditawarkan kepada ‘Ikrimah dan para
sahabatnya g saat Perang Yarmuk. Masing-masing lebih mendahulukan teman
lainnya padahal mereka dalam keadaan terluka. Mereka sangat memerlukan
air, semuanya. Saat air minum tersebut diserahkan kepada salah satu dari
mereka, lantas orang ini melihat temannya yang membutuhkan air. Air itu
lalu diberikan kepada teman lainnya. Saat teman yang membawa air ingin
meminumnya, dia melihat ada teman lainnya yang membutuhkan air pula
hingga dia memberikan air tersebut kepada teman yang lainnya. Sampai
akhirnya, air minum tersebut hendak disampaikan kepada yang lain, tetapi
orang tersebut telah meninggal. Ketiga orang yang terluka tersebut
seluruhnya meninggal dunia dan tidak ada seorang pun yang sempat meminum
air tersebut.
Seseorang datang kepada Rasulullah n dan berkata, “Wahai Rasulullah,
berilah saya makanan.” Beliau kemudian mengutusnya ke rumah istrinya,
tetapi di rumah ternyata tidak ditemukan makanan. Nabi n bersabda,
“Adakah seseorang yang mau menjamu tamu pada malam ini? Semoga Allah
merahmatinya.” Seseorang dari kalangan Anshar berdiri kemudian ia
menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.”
Laki-laki Anshar itu pulang dan menemui istrinya seraya berkata, “Ini adalah tamu Rasulullah n. Jangan remehkan dia.”
Istrinya menukas, “Demi Allah, aku tidak memiliki makanan selain yang tersisa untuk anak-anak.”
Suaminya berkata, “Jika anak-anak menginginkan makan malam, tidurkanlah
mereka. Kemarilah, padamkan lampu. Biarkan perut-perut kita tak terisi
makanan pada malam ini.”
Malam itu mereka tak menyantap makanan untuk makan malam.
Keesokan harinya, laki-laki itu menjumpai Rasulullah n. Rasulullah n
bersabda, “Sungguh Allah k telah takjub—atau tertawa—terhadap fulan dan
fulanah.” Kemudian turunlah ayat:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan ini).
Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9) (HR. al-Bukhari no. 4889.
Lihat Tafsir Ibnu Katsir, VII/42—43)
Dalam riwayat Muslim, laki-laki Anshar yang dimaksud adalah Abu Thalhah z.
Di zaman yang telah dipengaruhi pemahaman individualis ini, masih adakah
bentuk perilaku di atas? Perilaku para sahabat yang mulia yang
senantiasa mendahulukan teman, meski mereka sendiri membutuhkannya,
tidak berarti harus memelihara sikap kikir. Sungguh beruntung orang yang
terjaga dari sikap kikir dan bakhil. Firman-Nya:
“Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)
Cinta juga mendorong seseorang untuk menggerus sifat individualis dan
menunjukkan sikap kebersamaan. Hadits Abu Hurairah z menggambarkan hal
ini.
أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ
تَعَالَى عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ:
أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ:
هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: لاَ، غَيْرَ
أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ تَعَالىَ. قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ
إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتُهُ فِيْهِ
Ada seorang lelaki mengunjungi temannya di satu desa. Allah lalu
memerintahkan malaikat mendatangi lelaki tersebut di tengah
perjalanannya. Saat bertemu, malaikat itu bertanya kepada si lelaki,
“Kemana engkau hendak pergi?” Jawab lelaki itu, “Aku akan mengunjungi
saudaraku di jalan Allah di desa ini.” Malaikat bertanya lagi, “Apakah
engkau merasa berutang budi atas kebaikannya?” Lelaki itu menjawab,
“Tidak. Aku berkunjung semata-mata lantaran mencintainya karena Allah.”
Malaikat pun berkata, “Sesungguhnya, aku adalah utusan Allah kepadamu
bahwa Allah mencintaimu seperti halnya engkau mencintai saudaramu itu
karena Allah.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, Islam mendorong setiap pemeluknya untuk senantiasa
memerhatikan keadaan orang-orang yang kurang mampu. Tidak luput pula,
setiap muslimah hendaknya membelanjakan harta yang dimilikinya.
Rasulullah n bersabda:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ مِنَ الْإِسْتِغْفَارِ،
فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. قَالَتِ امْرَأَةٌ
مِنْهُنَّ: مَا لَنَا أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ
اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ
“Wahai kaum wanita, bersedekahlah
dan perbanyaklah istighfar (memohon ampun kepada Allah l). Sungguh, aku
telah melihat kebanyakan dari kalian adalah penghuni neraka. Lantas,
ada seorang wanita menukas dengan bertanya, ‘Mengapa kami (kaum wanita)
kebanyakan menghuni neraka?’ Nabi n menjawab, ‘Kalian banyak melaknat
dan mengingkari (kebaikan) suami’.” (HR. Muslim no. 79)
Islam adalah agama yang menebar rahmat. Hak-hak individu tetap dijaga,
tetapi tidak lantas menjadi individualis. Kepekaan terhadap fenomena
sosial tetap ditumbuhkan pada diri seorang muslim. Kepedulian terhadap
fakir, miskin, dan anak-anak yatim menjadi barometer kualitas keagamaan.
Semakin tajam seseorang menghayati dan memahami Islam, semakin tajam
pula tingkat kepedulian sosialnya. Hal ini karena ajaran agama Islam
tidak hanya dalam tataran teori, lebih dari itu harus diawalkan dalam
kehidupan nyata. Memberi sedekah, menyantuni anak yatim, dan memberi
makan orang miskin merupakan amalan yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Firman Allah l:
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang
miskin.” (al-Ma’un: 1—3)
Firman-Nya:
“Adapun terhadap anak yatim, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
Sedangkan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardik.”
(adh-Dhuha: 9—10)
Oleh karena itu, sangat tidak terpuji sekali apabila ada seseorang yang
memupuk sikap ego yang tinggi. Hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau
peduli terhadap sesama. Memupuk egoisme akan merusak tatanan sosial,
bisa menimbulkan kecemburuan sosial, dan kehidupan bermasyarakat.
Akhirnya, kriminalitas yang membahayakan merajalela. Lantaran terjadi
ketimpangan sosial, tidak mustahil terlahirlah dunia hitam: premanisme,
pelacuran, dan kejahatan lainnya, wal ‘iyyadzubillah. Mendistribusikan
sesuatu yang bernilai kepada sekelompok masyarakat yang tidak mampu
merupakan langkah bijak memupus kesenjangan sosial. Rasulullah n dan
para sahabat yang mulia telah memberikan teladan perihal tersebut.
Dalam sebuah hadits Abdullah bin ‘Umar c disebutkan bahwa ‘Umar bin
al-Khaththab z mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Kemudian ‘Umar z
mendatangi Nabi n. ‘Umar hendak meminta pendapat perihal tanah tersebut
kepada Nabi n. ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Tidaklah aku dapati harta yang
lebih berharga darinya, menurutku. Saran apa yang engkau berikan terkait
tanah ini?”
Nabi n bersabda, “Jika engkau mau, tetapkanlah tanah tersebut sebagai barang sedekah.”
‘Umar z lalu menyedekahkan tanah tersebut dengan status tanah itu tidak
boleh diperjualbelikan, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh
diwariskan. ‘Umar bin Khaththab z menyedekahkan tanah tersebut (yang
hasilnya) diperuntukkan bagi orang-orang fakir, karib kerabat, para
budak sahaya, orang yang berada di jalan Allah l, ibnu sabil, dan tamu.
(HR. al-Bukhari no. 2737)
Apa yang diperbuat ‘Umar bin Khaththab z merupakan langkah nyata memupus
egoisme dan sikap bakhil. Tindakan ‘Umar bin al-Khaththab z merupakan
teladan dalam menumbuhkan kepedulian sosial. Para ulama menjadikan
hadits ‘Abdullah bin ‘Umar c di atas sebagai landasan wakaf. Barang yang
disedekahkan ‘Umar bin al-Khaththab z adalah jenis barang yang bisa
dimanfaatkan dalam kurun waktu yang lama. Ini tergambar dalam hadits Abu
Hurairah z, sesungguhnya Nabi n bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ:
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ
يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 4199)
Karena itu, yang menjadi salah satu syarat sah wakaf, barang yang
diwakafkan tergolong yang bisa dimanfaatkan secara terus-menerus dan
tahan lama (baqa’). Wakaf menjadi tidak sah manakala barang yang
diwakafkan tersebut musnah/habis setelah diambil manfaatnya seperti
makanan. (Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan,
Mulakhkhas al-Fiqhi, hlm. 165)
Memberikan sesuatu yang berharga yang menjadi milik sendiri adalah termasuk prinsip kebaikan. Allah l berfirman:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
(al-Baqarah: 177)
Agar apa yang disedekahkan benar-benar menjadi kebaikan yang bernilai
guna, syariat membimbing seseorang untuk tidak mengungkit-ungkit sedekah
yang telah diberikan. Hal ini bisa melenyapkan pahala sedekahnya.
Apalagi diiringi dengan menyakiti perasaan penerima. Sungguh, hal
seperti ini merupakan tindakan yang tidak terpuji. Allah l telah
memperingatkan melalui firman-Nya:
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka
usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
(al-Baqarah: 264)
Dari Abi Dzar z, Rasulullah n bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ
إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ : الْمُسْبِلُ
وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Tiga macam orang yang Allah l tidak akan berbicara dengannya pada hari
kiamat, tak akan melihat mereka dan membersihkannya. Mereka mendapatkan
siksa yang pedih. Yaitu, orang yang mengungkit-ungkit apa yang telah
diberikan, orang yang memanjangkan kainnya hingga melebihi mata kaki,
dan orang yang menuntut tambahan harga (dari) barang dagangannya dengan
mengucapkan sumpah dusta.” (HR. Muslim no. 171)
Sedekah yang diiringi dengan mengungkit-ungkit apa yang telah diberikan
akan sangat mengerikan. Sedekah yang telah dilakukan menjadi batal,
pahala yang hendak dituai pun menjadi sirna. Bahkan, di akhirat kelak
Allah l tidak akan berbicara dengannya, melihat, dan membersihkannya.
Allah l akan menghukumnya dengan siksa yang pedih. Wal ‘iyadzu billah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t menjelaskan bahwa yang
dimaksud ‘Allah l tidak akan berbicara pada mereka’ adalah berbicara
dalam rangka keridhaan. Karena Allah l pun berbicara dengan para
penghuni neraka—dan mereka sudah berada di neraka—sebagaimana firman
Allah l:
“Allah berfirman, ‘Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan-Ku’.” (al-Mu’minun: 108)
Ini ditujukan pada mereka (penduduk neraka), akan tetapi bukan dalam
kerangka jalan yang diridhai. Adapun ‘Allah tidak akan melihat mereka’,
maksudnya tidak melihat kepada mereka dengan pandangan khusus, yaitu
pandangan penuh rahmat. Adapun memandang secara umum, maka sesungguhnya
Allah Maha Melihat terhadap segala sesuatu. Sedangkan ‘Allah tidak
membersihkan mereka’, maksudnya tidak membersihkannya dan memuji mereka
dalam kebaikan. Bahkan, Allah l berbuat yang sebaliknya pada mereka.
Nas’alullaha al-‘afiyah. (at-Ta’liq ‘ala Shahih Muslim, 1/349—350)
Karenanya, ikhlaskanlah segala sesuatu yang telah diserahkan di jalan
Allah l. Dengan itu, diharapkan Allah l membalas segenap kebaikan yang
telah diamalkan. Tanpa harus mengungkit-ungkit dan menyakiti orang yang
menerima pemberian sedekah tersebut.
Wallahu a’lam.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
SALAFY CIAMPEA BOGOR,berusaha : "Memahami Al-Qur`an dan Sunnah Dengan Pemahaman Salafush Sholeh" >>Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Berbahagialah orang yang asing (ghuroba) itu, (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di tengah orang-orang jahat yang banyak. Dan orang yang tidak menaati mereka lebih banyak daripada orang yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad, lihat Shahihul Jami’ no. 3921)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan
Rekaman – AUDIO KAJIAN Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M Masjid Raya al-H...
-
Sekilas tentang Mahad Ibnul Mubarok Ciampea Rindang dan sejuk, itulah kesan pertama yang dirasa ketika pertama mengunjungi mahad i...
-
AWAS BAHAYA!! HALABIYUN SURURIYUN TUROTSIYUN RODJAI-PUN MENJADI CORONG TANDZIM TERORIS TAKFIRI AL QAIDAH DI SURIAH AWAS BAHA...
-
[VIDEO] Ada Apa Di Balik TV RODJA (Waduh Ternyata Firanda Seorang Pendusta) Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary , Video Disampaikan ole...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar