Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah

(Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)

Banyak yang beranggapan, dzikir berjamaah merupakan persoalan kecil nan klasik yang tak perlu diungkit-ungkit. Begitu ringan lidah itu berucap demikian seolah-olah mereka menganggap sepi keberadaan Rasulullah r  sebagai sebaik-baik teladan.
Sesungguhnya di antara nikmat yang Allah I berikan kepada manusia adalah dengan disempurnakannya agama ini, agama yang dengannya Rasulullah r diutus membawa risalah dari Allah I. Sehingga ketika manusia menghadapi problema hidup, sepantasnya ia merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah r yang shahih. Sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim t: “Kenikmatan yang mutlak adalah yang berkelanjutan, berupa kebahagiaan yang abadi yaitu nikmat Islam dan As Sunnah.” (Ijtima’ul Juyusy, Ibnul Qayyim)
Di sisi lain, para setan di bawah kepemimpinan Iblis terlaknat tidak akan pernah berhenti untuk melakukan tipu daya dengan berbagai rayuan manis sehingga menampakkan kebatilan seperti sebuah kebenaran yang tak perlu diragukan. Allah I berfirman:
“Maka apakah orang yang dihiasi baginya amalannya yang buruk, lalu dia menganggapnya baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)?” (Fathir: 8)
Dan firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Hendakkah Kami beritakan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat yang sebaik-baiknya’.” (Al-Kahfi: 103-104)
Namun seiring dengan munculnya kesesatan dan penyimpangan tersebut, akan tetap muncul para pembela sunnah Rasulullah r yang menjelaskan kesesatan orang-orang yang mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil. Juga membendung orang ataupun kelompok yang senantiasa mengaburkan dakwah yang benar yang dibawa oleh Rasulullah r dan para shahabatnya.
Di antara golongan yang menyimpang dari petunjuk Rasulullah r dan para shahabatnya adalah kelompok Sufi. Aliran ini telah banyak memberikan ‘kontribusi’ kepada Islam dengan beragam bid’ah, yakni  model-model ibadah yang tidak ada asalnya dalam syariat. Parahnya lagi, setiap tarekat sufi mempunyai cara dan model tersendiri yang berbeda dengan kelompok sufi lainnya, tergantung bagaimana pemimpin mereka membuatnya.
Contoh yang paling nyata dan ‘terkini’ adalah model dan cara berdzikir ala Arifin Ilham, seorang tokoh sufi yang berasal dari Banjarmasin. Dengan gaya bahasa dan tutur kata yang ‘lembut’, ia mampu memikat sekian banyak orang untuk ikut serta dalam acaranya. Pria wanita, tua muda, politikus maupun orang awam, tak ketinggalan untuk terlibat di dalam amalan yang disebutnya sebagai dzikir taubat dan semacamnya. Secara berjamaah, dibacalah apa yang disebut dzikir itu dengan suara keras, diikuti suara tangisan sambil menggerak-gerakkan anggota tubuh. Tak ketinggalan untuk dibaca asmaul husna, shalawat Nabi, dan beberapa ayat Al Qur’an dengan cara serupa, suatu model yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah r yang telah beliau sebut dengan BID’AH.
Pengertian Bid’ah
Bid’ah telah didefinisikan Al-Imam Asy-Syathibi t dalam kitabnya Al-I’tisham: “Suatu jalan yang diada-adakan di dalam agama yang ingin menyamai syariat, yang dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah U.”
Beliau membaginya menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah haqiqiyyah, yaitu bid’ah yang sama sekali tidak didasari dengan dalil yang syar’i, tidak terdapat dalam Al Qur’an, tidak pula dalam As Sunnah. Dan tidak pula dalam ijma’ maupun qiyas, serta tidak berdasarkan pendalilan yang benar menurut ahli ilmu baik secara global maupun terperinci.
Kedua: Bid’ah idhafiyyah, yaitu bid’ah yang memiliki dua unsur. Unsur pertama mempunyai dalil. Dari sisi ini, belum merupakan bid’ah. Namun dari unsur yang lain, tidak ada dalilnya dan persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Hal ini terkadang disebabkan adanya tambahan dalam cara mengerjakannya, waktu atau tempat dan sebagainya, yang tidak sesuai dengan syariat. (Al-I’tisham, 1/367)
Dari pembagian tersebut, jelaslah bahwa tidak semua amalan yang asalnya dibangun di atas dalil, menjadi perkara yang disyariatkan secara utuh dari segala sisi. Namun harus dilihat dari cara, tempat, waktu, dan jumlahnya. Berkata As-Suyuthi t dalam kitabnya Al-Amru bil Ittiba’ ketika menyebutkan bahwa sebagian bid’ah terkadang disangka oleh mayoritas kaum muslimin sebagai ibadah, ketaatan, dan cara mendekatkan diri kepada-Nya:
“Bagian yang kedua: Ada yang dianggap oleh sebagian manusia sebagai amalan taat dan mendekatkan diri (kepada Allah), padahal tidak demikian. Apakah meninggalkan amalan tersebut lebih afdhal daripada melakukannya, yaitu apa-apa yang telah diperintahkan oleh syariat pada satu bentuk di antara sekian bentuk, pada waktu yang khusus atau tempat tertentu, seperti puasa di siang hari ataukah thawaf di Ka’bah? Ataukah (syariat) memerintahkan kepada seseorang tanpa yang lain, seperti yang Nabi r khususkan dalam beberapa perkara mubah atau beberapa keringanan? Maka (datanglah) orang yang bodoh mengqiyaskannya. Kemudian diapun melakukannya, padahal hal tersebut terlarang atau dia mengqiyaskan (menganalogikan)  sebagian bentuk (ibadah) dengan lainnya tanpa membedakan tempat dan waktu.” (‘Ilmu Ushulil Bida’, hal. 77)
Di sini kami akan memberikan beberapa contoh tentang hal tersebut:
1)    Membaca Al Qur’an merupakan ibadah yang mulia dan banyak keutamaannya sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah r. Cukuplah kami sebutkan di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu Umamah z. Ia berkata: Aku telah mendengar Rasululllah r bersabda:
“Bacalah kalian Al Qur’an, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada para ahlinya.”
Meski keutamaannya besar, membaca Al Qur’an ternyata dilarang oleh Rasulullah r jika dilakukan di saat sujud maupun ruku’ dalam shalat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Ibnu ‘Abbas c bahwa Rasululah r bersabda:
“Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al Qur’an dalam keadaan ruku’ maupun sujud. Adapun ruku’, maka agungkanlah Rabb padanya. Adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, maka selayaknyalah dikabulkan bagi kalian.”
2)    Demikian pula shalat yang merupakan sebaik-baik perkara dan termasuk amalan yang paling afdhal, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah r:
“Shalat adalah sebaik-baik perkara.” (HR. At-Thabrani dalam Mu’jam Ash-Shagir dari Abu Hurairah z, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3870)
Namun ternyata Rasulullah r melarang shalat pada waktu-waktu tertentu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Abbas c. Ia berkata:
“Telah bersaksi di sisiku beberapa orang yang diridhai dan yang paling aku ridha adalah ‘Umar, bahwa Rasulullah r melarang shalat setelah fajar hingga terbitnya matahari, dan setelah ‘Ashar hingga terbenamnya matahari.”
Cukuplah dua contoh ini mewakili yang lainnya dalam menjelaskan bahwa amalan ibadah merupakan perkara tauqifiyyah (tidak dikerjakan kecuali bila ada contohnya).
Penyimpangan-Penyimpangan dalam Dzikir Berjamaah Model Arifin Ilham
1-    Berdzikir dengan suara keras secara berjamaah
Hal ini telah diingkari oleh para ulama karena tidak ada dasarnya sama sekali dari Rasulullah r maupun kalangan shahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan baik. Sehingga ini merupakan perkara bid’ah yang harus dijauhi. Asy-Syathibi t berkata:
“Misalnya bila syariat menganjurkan  dzikrullah, lalu ada satu kelompok menerapkannya bersama dengan kalimat yang sama secara serempak. Atau mengerjakannya pada waktu khusus yang sama sekali tidak dikhususkan oleh syariat, bahkan syariat menunjukkan yang sebaliknya, yakni agar tidak dikhususkan waktunya (maka hal ini adalah bid’ah). Karena mengamalkan sesuatu yang tidak lazim menurut syariat, artinya seakan-akan (mereka yang melakukannya) ingin mengajari bagaimana menetapkan syariat (yang benar kepada yang membuat syariat ini). Apalagi jika dilakukan oleh seorang panutan, di tempat-tempat berkumpulnya manusia seperti masjid, mushalla, dan sebagainya. Maka apabila hal ini diaplikasikan di masjid-masjid seperti halnya syi’ar-syi’ar Islam lain yang telah ditetapkan Rasulullah r (untuk dilaksanakan) di masjid dan yang semisalnya -seperti adzan, shalat Ied, istisqa, dan kusuf, tentu tidak disangsikan lagi bahwa perbuatan ini akan dipahami sebagai sunnah. Sehingga lebih pantas hal-hal ini bukan suatu perkara yang tercakup dalam dalil-dalil tersebut. Dari sisi inilah mengapa hal itu disebut bid’ah.”
Lalu beliau berkata: “Seperti pula doa, karena itu termasuk dzikrullah. Namun mereka (as-salafush shalih, red) tidak menetapkan cara-cara tertentu dan tidak mengkhususkan waktunya (di mana cara itu memberikan isyarat adanya pengkhususan ibadah pada waktu-waktu tersebut) kecuali yang telah ditentukan oleh dalil, seperti waktu pagi dan petang. Dan mereka tidak mengeraskannya kecuali apa yang dinyatakan syariat untuk dikeraskan (di-jahr-kan), seperti berdzikir pada dua hari raya (takbir) dan yang semisalnya. Adapun selain itu, maka mereka senantiasa menyembunyikan dan men-sirr-kannya. Oleh karena itu, Nabi r mengatakan kepada mereka ketika mereka mengangkat suaranya:
“Kasihanilah diri-diri kalian sesungguhnya kalian tidaklah meminta kepada Dzat yang tuli dan tidak hadir.” (Muttafaqun ‘alaih)
dan yang semisalnya. Maka mereka tidak mengeraskannya pada perkumpulan-perkumpulan.
Sehingga yang menyelisihi prinsip ini,  sungguh dia telah menyelisihi dalil yang mutlak. Karena dia mengkhususkannya dengan akal dan menyelisihi orang yang lebih mengerti tentang syariat –yaitu para ulama salafus shalih-. Bahkan Nabi r meninggalkan suatu amalan yang beliau senang mengerjakannya, karena khawatir diamalkan oleh manusia lalu diwajibkan atas mereka.” (Al-I’tisham, 1/318-319, Asy-Syathibi)
2- Bid’ahnya Shalawat Model Arifin Ilham:
Inilah model shalawat yang diucapkan pada dzikir bid’ahnya:
Dalam buku tulisan Ahmad Dimyathi Badruzzaman (salah satu pendukung Arifin Ilham, red) tentang dzikir berjamaah menyebutkannya dengan lafadz:
Lafadz model ini termasuk shalawat yang menyimpang dari Sunnah Rasulullah r karena tidaklah demikian Rasulullah r mengajarkan umatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Shalawat kepada Rasulullah r dengan lafadz hadits lebih afdhal dari semua lafadz dan tidaklah ditambah, seperti halnya (lafadz adzan dan tasyahhud). Ini adalah pendapat imam yang empat dan selainnya.” (Mukhtashar Fatawa Al-Mishriyyah, hal. 92)
Demikian pula lafadz “habibullah” tidaklah shahih penyandarannya kepada Rasulullah r. Ibnu Abil ‘Izzi t berkata:
“Telah shahih bahwa Nabi r mendapatkan derajat kecintaan tertinggi, yaitu khullah (khalilullah yang berarti kekasih dekat Allah, red). Sebagaimana telah shahih dari Nabi r dalam sabdanya:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai khalil sebagaimana telah menjadikan Ibrahim  sebagai khalil.” (Shahih, HR. Muslim)
dan sabdanya:
“Kalau sekiranya aku mengambil dari penduduk bumi sebagai khalil, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Namun shahabat kalian ini (yaitu Nabi r) adalah Khalilurrahman.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan yang semakna juga diriwayatkan  oleh Muslim)
Keduanya terdapat dalam kitab Shahih. Dengan kedua (hadits) ini membatalkan perkataan yang mengatakan: Al-Khullah (khalilullah) untuk Ibrahim sedangkan Al-Mahabbah (Habibullah) untuk Muhammad. Maka Ibrahim adalah Khalilullah sedangkan Muhammad adalah Habibullah.”
Lalu beliau melanjutkan, “Adapun mahabbah maka itu juga bisa didapatkan oleh selain beliau r. Allah I berfirman:
“Dan Allah cinta kepada setiap orang yang berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 134)
Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah cinta (mahabbah) kepada orang yang bertaqwa.” (Ali ‘Imran: 76)
Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah cinta kepada orang yang selalu bertaubat dan bersuci.” (Al-Baqarah: 222)
Maka batallah pendapat yang mengkhususkan khullah bagi Ibrahim u dan mahabbah bagi Muhammad r. Bahkan khullah adalah khusus bagi keduanya sedangkan mahabbah untuk yang selain mereka. Adapun hadits Ibnu ‘Abbas c yang diriwayatkan At-Tirmidzi yang padanya terdapat:
‘Sesungguhnya Ibrahim itu khalilullah. Ketahuilah, aku adalah habibullah dan tidak sombong.’
Ini tidak shahih.” (Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, 1/164-165, tahqiq Al-Arnauth).
3- Mengeraskan dan Mengangkat Suara ketika Berdo’a
Hal ini bertentangan dengan firman Allah Iyang memerintahkan untuk merendahkan suara di saat berdoa. Firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya. Dan carilah jalan tengah antara keduanya.” (Al-Isra: 110)
Makna () ‘dalam shalatmu’ maksudnya: doamu. Berkata ‘Aisyah x: “Ayat ini diturunkan tentang doa.” (Muttafaqun alaihi)
Dan firman-Nya:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 55)
Sebagian ahli tafsir berkata: “Makna ‘orang-orang yang melampaui batas’ dalam mengangkat suaranya dalam doa.” Berkata Ibnu Juraij dalam menafsirkan ayat ini: “Termasuk melampaui batas: mengangkat suara dalam memanggil dan doa seperti berteriak. Adalah mereka diperintahkan merendahkan dan tenang.” (Lihat Tash-hih Ad-Du’a, hal. 71)
4- Menggerak-gerakkan Tubuh ketika Dzikir
Ini termasuk menyerupai orang Yahudi ketika mereka membaca kitab mereka. Berkata Ar-Ra’i Al-Andalusi t: “Demikian pula penduduk Mesir telah menyerupai Yahudi dalam bergerak-gerak di saat belajar dan sibuk. Dan ini termasuk perbuatan orang Yahudi.”
Dalam kitab Tash-hih Ad-Du’a (hal. 80-81) disebutkan: “Wajib atas orang-orang yang berdzikir kepada Allah I, yang bertawajjuh dengan doa kepada Allah I, para penghafal Kitab Allah, yang membuat madrasah-madrasah dan halaqah tahfidz Al Qur’an agar meninggalkan bid’ah bergerak-gerak ketika membaca. Dan hendaklah mendidik anak-anak kaum muslimin di atas sunnah dan menjauhi bid’ah.”
Wallahul Muwaffiq Ilaa Sabiil Ar-rasyaad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...