Berhias dengan Akhlak Mulia Bagian dari Prinsip Beragama
Bila menelisik perjalanan sejarah umat manusia di masa jahiliah, niscaya akan didapati potret kehidupan yang multikrisis. Sebuah tatanan kehidupan di mana umat manusianya dirundung kegalauan spiritual dan kepincangan intelektual.
Tingkah polahnya sangat jauh dari norma-norma agama yang luhur dan fitrah suci. Sementara corak kehidupannya adalah kebejatan akhlak dan dekadensi moral. Sehingga kesyirikan –yang merupakan dosa paling besar di sisi Allah l– merajalela. Demikian halnya dengan pembunuhan, kezaliman, perzinaan dan berbagai macam bentuk perbuatan amoral (kemaksiatan) lainnya. Semuanya berjalan mengiringi derap langkah kehidupan mereka. Tak ayal bila masa itu kemudian dikenal dengan masa jahiliah.
Di kala umat manusia berada dalam kebingungannya, norma agama dan fitrah suci hanya sebatas fatamorgana, datanglah Muhammad bin Abdullah n seorang Nabi dan Rasul yang didamba, membawa petunjuk ilahi dan agama yang benar (Islam) serta kitab suci Al-Qur`an yang mulia. Dengan sebuah misi utama; mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliahan yang gelap gulita menuju cahaya Islam yang terang benderang dengan seizin-Nya. Tak heran, bila risalah beliau n kemudian menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah l berfirman:
“Dialah (Allah l) yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa)
petunjuk dan agama yang benar, agar Allah l memenangkan agama tersebut
atas semua agama yang ada, walaupun orang-orang musyrik tidak
menyukainya.” (Ash-Shaff: 9)
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan
kepada kalian banyak dari Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak
pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya
dari Allah dan kitab yang menerangkan (Al-Qur`an). Dengan kitab itulah
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan
keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang
itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan
seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma`idah:
15-16)
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta.” (Al-Anbiya`: 107)
Beruntunglah orang-orang yang mendapatkan hidayah ilahi dengan
dilapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam secara sempurna, dengan
meniti jejak Rasulullah n dan para sahabatnya. Allah l
berfirman:“Barangsiapa dikehendaki Allah untuk mendapatkan hidayah-Nya,
niscaya Allah melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan
barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.
Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
Dan inilah jalan Rabb-mu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah
menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang yang mengambil pelajaran. Bagi
mereka (disediakan) darussalam (surga) di sisi Rabb mereka dan Dialah
pelindung mereka disebabkan amalan-amalan shalih yang selalu mereka
kerjakan.” (Al-An’am: 125-127)
Islam Selalu Memerhatikan Prinsip Keilmuan dan Tazkiyatun Nufus (Penyucian Jiwa)
Islam yang dibawa Rasulullah n ini adalah agama yang sempurna dan
paripurna. Syariatnya yang senantiasa relevan sepanjang masa benar-benar
menyinari segala sudut kehidupan umat manusia. Tak hanya wacana
keilmuan semata yang dipancarkannya, misi tazkiyatun nufus (penyucian
jiwa) dari berbagai macam akhlak tercela (amoral) pun berjalan seiring
dengan misi keilmuan tersebut dalam mengawal umat manusia menuju puncak
kemuliaannya. Allah l berfirman:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur`an) dan Al-Hikmah
(As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang
belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Al-Jumu’ah: 2-3)
Dalam haditsnya yang mulia, Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
“Sungguh aku diutus (oleh Allah l) untuk menyempurnakan akhlak
(budi pekerti) umat manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad,
Ahmad, dan Al-Hakim, dari sahabat Abu Hurairah z. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 45)
Betapa besarnya perhatian Islam terhadap prinsip tazkiyatun nufus
dan pembentukan akhlak mulia. Bahkan lima rukun Islam yang merupakan
fondasi utama keislaman seseorang sangat berperan dalam penyucian jiwa
dan pembentukan akhlak mulia tersebut.2
Kalimat syahadat Laa ilaaha illallah menanamkan nilai-nilai
penghambaan seorang muslim kepada Allah l, dengan menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jauh dari sifat sombong,
angkuh, dan semena-mena. Karena sadar bahwa dirinya adalah seorang hamba
yang tak berdaya. Tiada daya dan upaya baginya melainkan karena Allah
l.
Adapun shalat, maka ia sangat urgen dalam mengantarkan pribadi
muslim menjadi insan yang berakhlak mulia. Karena dapat mencegahnya dari
segala perbuatan keji dan mungkar, manakala shalat tersebut ditunaikan
secara sempurna dengan memerhatikan seluruh syarat, rukun, wajib, dan
sunnahnya. Allah l berfirman:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab
(Al-Qur`an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(segala perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).
Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-’Ankabut: 45)
Shalat pun dapat membantu seorang muslim untuk membersihkan dirinya
dari tabiat buruk yang membelenggunya dan membantunya untuk berakhlak
mulia. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila mendapat
kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat;
yang mereka itu istiqamah dalam mengerjakannya, dan orang-orang yang
dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta
dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan
orang-orang yang memercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut
akan azab Rabbnya. Karena azab Rabb mereka itu tak ada yang dapat merasa
aman (darinya). Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik
itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya (dengan
sebenarnya).” (Al-Ma’arij: 19-33)
“Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang
yang takut kepada azab Rabbnya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan
mereka mendirikan shalat. Barangsiapa mensucikan dirinya, maka
sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan
kepada Allah-lah tempat kembali(mu).” (Fathir: 18)
Demikian pula zakat, shaum Ramadhan, dan ibadah haji. Semuanya
dapat membentuk pribadi muslim menjadi insan yang berakhlak mulia.
Sebagaimana firman Allah l:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (At-Taubah: 103)
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan bagi kalian shaum
sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelum kalian agar kalian
bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka
tidak boleh rafats (berkata keji/tidak senonoh, pen.), berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kalian
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku,
hai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah: 197)
Dari sini, semakin jelaslah bahwa agama Islam yang mulia ini tak
hanya memerhatikan prinsip keilmuan semata. Bahkan akhlak mulia dan amal
shalih (sebagai aplikasi dari keilmuan tersebut) merupakan prinsip
agama yang sejak dini telah diguratkan Rasulullah n dengan
sedalam-dalamnya pada bingkai agama Islam.
Sebagaimana penuturan sahabat Abdullah bin Abbas c berikut ini:
“Tatkala berita kemunculan Nabi Muhammad n di kota Makkah telah sampai
kepada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari, berkatalah ia kepada saudaranya:
‘Pergilah engkau ke Makkah dan carilah informasi tentang seseorang yang
mengaku telah mendapat wahyu dari langit itu. Dengarlah kata-katanya.
(Bila dirasa cukup, pen.) kembalilah kemari dengan membawa informasi.’
Maka berangkatlah ia (saudara Abu Dzar) menuju Makkah dan didengarkanlah
secara saksama segala apa yang dikatakan Nabi n. (Setelah dirasa cukup,
pen.) kembalilah ia menemui sahabat Abu Dzar Al-Ghifari, seraya
mengatakan: ‘Aku melihatnya (Nabi Muhammad n) selalu memerintahkan
kepada akhlak mulia, dan aku mendengar darinya suatu perkataan namun
bukan syair.” (HR. Muslim no. 2474)
Kewajiban Berhias Diri dengan Akhlak Mulia
Manusia adalah makhluk sosial yang mau tak mau (dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya) akan bermuamalah dengan sesamanya. Sedangkan
muamalah (dalam bentuk apapun) tak akan berlangsung dengan baik tanpa
didasari akhlak mulia. Sehingga berhias diri dengan akhlak mulia
merupakan kewajiban setiap insan muslim. Terlebih Rasulullah n telah
memerintahkan umatnya kepada akhlak mulia tersebut sejak awal masa
kenabiannya, sebagaimana riwayat sahabat Abdullah bin Abbas c di atas.
Tentunya, ini semua menunjukkan bahwa berhias dengan akhlak mulia merupakan masalah prinsip dalam beragama yang sejak dini telah ditanamkan Rasulullah n kepada umatnya.
Seseorang yang berhias dengan akhlak mulia, berarti telah mendapat
anugerah hikmah dari Allah l. Hal ini nampak jelas manakala Allah l
berfirman (setelah menyebutkan wasiat-wasiat besar yang berisikan akhlak
mulia dalam surat Al-Isra` ayat 23-38):
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabbmu kepadamu.” (Al-Isra`: 39)
Barangsiapa dianugerahi hikmah oleh Allah l, maka ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Sebagaimana firman Allah l:
“Dan barangsiapa dianugerahi hikmah oleh Allah l, maka ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak.” (Al-Baqarah: 269)
Dengan akhlak mulia, seorang muslim akan meraih kesempurnaan dalam imannya. Rasulullah n bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1082. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t
dalam Shahih Al-Jami’ no. 1232)
Selaras dengan itu, Allah l yang Maha Bijaksana telah memilih
Rasul-Nya Muhammad bin Abdullah n sebagai seorang yang paling mulia
akhlaknya. Sehingga benar-benar dapat menjadi figur dan teladan mulia
bagi seluruh umat manusia. Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti (berakhlak) yang agung.” (Al-Qalam: 4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah n itu suri teladan
yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:
21)
Ahlus Sunnah wal Jamaah Menyerukan Akhlak Mulia
Ahlus Sunnah wal Jamaah, adalah orang-orang yang berusaha
meneladani Rasulullah n dalam kehidupan ini. Kehidupan mereka pun
diliputi cahaya ilmu dan dihiasi akhlak mulia. Sebagaimana tercermin
dalam nasihat Al-Imam Muhammad bin Sirin, Al-Imam Malik, dan yang
lainnya dari ulama salaf rahimahumullah: “Ilmu (hadits) ini adalah
bagian dari agama, maka lihatlah (selektiflah) dari siapakah agama itu
kalian dapatkan. Tidaklah cukup (bagi seseorang) berbekal ilmu yang
banyak (dalam bidang yang digelutinya, pen.). Akan tetapi haruslah
dilengkapi dengan berbagai disiplin ilmu syariat lainnya, karena satu
dengan yang lainnya saling terkait. Dengan harapan agar berada di atas
jalan yang lurus, agama yang benar, akhlak yang mulia, pikiran yang
jernih, dan wawasan yang sempurna.” (Adabul ‘Alim wal Muta’allim, karya
Al-Imam An-Nawawi t hal. 46)
Lebih dari itu, mereka mengajak umat ini untuk berilmu dan
berakhlak mulia. Sebagaimana diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t
dalam kitabnya yang mulia Al-Aqidah Al-Wasithiyyah: “Ahlus Sunnah wal
Jamaah di samping berpegang teguh dengan prinsip-prinsip (aqidah, pen.)
tersebut, juga menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan yang
diperintahkan dalam syariat ini. Meyakini sahnya pelaksanaan haji,
jihad, shalat Jum’at dan shalat ied bersama pemerintah yang adil maupun
yang jahat. Memelihara persatuan dan kesatuan, meluangkan nasihat untuk
umat, dan meyakini kandungan sabda Rasulullah n: ‘Seorang mukmin dengan
mukmin lainnya ibarat bangunan yang saling mengokohkan satu dengan yang
lainnya, (kemudian beliau n memasukkan jari-jemari tangan kanannya
kepada jari-jemari tangan kirinya).’ Juga sabda beliau n: ‘Perumpamaan
orang-orang yang beriman dalam hal saling berkasih sayang, ibarat satu
tubuh yang apabila salah satu dari anggota tubuh tersebut sakit, maka
anggota tubuh lainnya pun akan merasakan demam dan tidak bisa tidur
(sakit pula).’ Memerintahkan kepada kesabaran saat mendapat cobaan,
bersyukur saat mendapat kelapangan, dan ridha terhadap takdir pahit yang
Allah l tentukan. Menyeru kepada akhlak mulia dan amalan terpuji,
dengan meyakini kandungan sabda Rasulullah n: ‘Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.’ Menghasung untuk
berbuat baik kepada orang yang memutuskan hubungan denganmu, menderma
orang yang tak memberimu, dan memaafkan orang yang menzalimimu.
Memerintahkan berbakti kepada kedua orangtua, menyambung tali
silaturahim, berbuat baik dengan tetangga, berderma kepada anak-anak
yatim, kaum miskin, dan musafir (orang yang dalam perjalanan), serta
berlemah lembut kepada hamba sahaya. Melarang dari perbuatan sombong,
berbangga diri, aniaya dan semena-mena terhadap sesama, baik dalam
posisi benar maupun salah. Memerintahkan kepada budi pekerti mulia dan
melarang segala perangai tercela. Semua yang mereka ucapkan dan mereka
kerjakan dari semua ini, mengikuti (bimbingan) Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan jalan yang mereka tempuh adalah agama Islam yang dibawa Rasulullah
n.”
Dari sini semakin jelaslah bagi kita, bahwa berhias dengan akhlak
mulia dan berdakwah kepada hal ini (akhlak mulia) merupakan bagian dari
prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang harus dipegang erat-erat oleh
setiap muslim, seiring dengan prinsip keimanan (keilmuan) yang harus
terhunjam dalam lubuk hati yang paling dalam.3 Bila prinsip utama ini
benar-benar menyatu dalam kehidupan umat, maka akan teraihlah suatu
kebangkitan yang dapat mengantarkan mereka kepada puncak kemuliaan.4
Sketsa kehidupan di atas benar-benar telah terwujud pada masyarakat tiga
generasi terdahulu umat ini (generasi sahabat Nabi n, tabi’in, dan
tabi’ut tabi’in), yang dengannya mereka menyandang gelar “generasi
terbaik umat ini”. Rasulullah n bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia (generasi) adalah yang hidup di abadku,
kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya, setelah itu
akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan
sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3650 dari
sahabat ‘Imran bin Hushain z, dan Muslim no. 4533 dari sahabat Abdullah
bin Mas’ud, ‘Imran bin Hushain, dan Abu Hurairah g)
Ya Allah… berilah kami petunjuk untuk berhias dengan akhlak mulia
dalam kehidupan ini, karena tiada yang dapat menunjukinya melainkan
Engkau. Dan palingkanlah kami dari segala perangai tercela, karena tiada
yang dapat memalingkannya melainkan Engkau. Ya Allah… dengarlah
permohonan kami, karena tiada yang dapat mengabulkannya melainkan
Engkau…
1 Akhlak mulia terkadang bermakna umum dan terkadang bermakna
khusus. Bermakna umum manakala cakupannya adalah seluruh perkara agama
ini baik aqidah, ibadah, maupun muamalah. Bermakna khusus manakala
cakupannya adalah muamalah dan adab semata. Dan yang dimaksud dengan
akhlak mulia dalam pembahasan kali ini adalah yang bermakna khusus,
yakni muamalah dan adab. (Lihat Makarimul Akhlaq wa Ahammiyyatuha
Fiddin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah As-Subayyil yang dimuat
dalam Majalah At-Tau’iyah Al-Islamiyyah no. 215 Th. 1418 H, hal. 76-77)
2 Untuk lebih rincinya, lihat Makarimul Akhlaq wa ahammiyyatuha
Fiddin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah As-Subayyil yang dimuat
dalam Majalah At-Tau’iyah Al-Islamiyyah no. 215 Th. 1418 H, hal. 78-81.
3 Tidaklah dibenarkan metode dakwah Jamaah Tabligh yang memfokuskan
dakwahnya kepada akhlak mulia semata, namun melalaikan sisi keilmuan
(terkhusus tauhid uluhiyyah, al-asma` wash shifat, dan fiqih ibadah).
4 Sungguh mengherankan apa yang disebutkan dalam buku Strategi
Dakwah Hizbut Tahrir (hal. 40-41): “Demikian pula, dakwah kepada akhlak
mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…, dakwah kepada akhlak mulia
bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan problematika utama kaum
muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.”
Sumber : http://asysyariah.com/berhias-dengan-akhlak-mulia-bagian-dari-prinsip-beragama.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar