بسم الله الرحمن الرحيم
Nasihat Kepada Teroris: Ketahuilah, Jihad Beda dengan Terorisme!!!
Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
kita mengadukan segala fitnah dan ujian yang mendera. Akibat ulah
sekolompok anak muda yang hanya bermodalkan semangat belaka dalam
beragama, namun tanpa disertai kajian ilmu syar’i yang mendalam dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan para ulama, kini ummat Islam
secara umum dan Ahlus Sunnah (orang-orang yang komitmen dengan Sunnah
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) secara khusus harus menanggung
akibatnya berupa celaan dan citra negatif sebagai pendukung terorisme.
Aksi-aksi terorisme yang sejatinya sangat
ditentang oleh syari’at Islam yang mulia ini justru dianggap sebagai
bagian dari jihad di jalan Allah sehingga pelakunya digelari sebagai
mujahid, apabila ia mati menjadi syahid, pengantin surga, calon suami
bidadari…!?
Demi Allah, akal dan agama mana yang
mengajarkan terorisme itu jihad…?! Akal dan agama mana yang mengajarkan
buang bom di sembarang tempat itu amal saleh…?!
Maka berikut ini kami akan menunjukkan
beberapa penyimpangan terorisme dari syari’at Islam dan menjelaskan
beberapa hukum jihad syar’i yang diselisihi para Teroris. Penjelasan ini
insya Allah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta keterangan para
ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut generasi salaf (generasi
sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).
Pelanggaran-pelanggaran hukum Jihad Islami yang dilakukan Teroris:
Pelanggaran Pertama: Tidak memenuhi syarat-syarat Jihad dalam syari’at Islam
Jihad melawan orang kafir terbagi dua bentuk: Pertama, jihad difa’ (defensif, membela diri). Kedua, jihad tholab
(ofensif, memulai penyerangan lebih dulu). Adapun yang dilakukan oleh
para Teroris tidak diragukan lagi adalah jihad ofensif sebab jelas
sekali mereka yang lebih dahulu menyerang.
Dalam jihad defensif, ketika ummat Islam
diserang oleh musuh maka kewajiban mereka untuk membela diri tanpa ada
syarat-syarat jihad yang harus dipenuhi (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah, hal. 532 dan Al-Fatawa Al-Kubrô, 4/608).
Akan tetapi, untuk ketegori jihad ofensif
terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum melakukan
jihad tersebut. Di sinilah salah satu perbedaan mendasar antara jihad
dan terorisme. Bahwa jihad terikat dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan Allah Ta’ala dalam syari’at-Nya, sedangkan terorisme justru
menerjang aturan-aturan tersebut. Maka inilah syarat-syarat jihad
ofensif kepada orang-orang kafir yang dijelaskan para ulama:
Syarat Pertama: Jihad tersebut dipimpin oleh seorang kepala negara
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ
أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia
telah taat kepada Allah dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka
sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada
pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku dan siapa yang bermaksiat
kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan di belakangnya dan dijadikan sebagai pelindung.” [HR. Al-Bukhari, no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim, no. 1835, 1841, Abu Daud, no. 2757 dan An-Nasai, 7/155]
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dan makna “dilakukan peperangan di belakangnya”,
yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir,
Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij, dan
seluruh pengekor kerusakan dan kezaliman.” (Syarah Muslim, 12/230)
Syarat Kedua: Jihad tersebut harus didukung dengan kekuatan yang cukup untuk menghadapi musuh
Sehingga apabila kaum muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi musuh, maka gugurlah kewajiban tersebut dan yang tersisa hanyalah kewajiban untuk mempersiapkan kekuatan.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ
قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ
وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ
يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُون
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh
Allah dan (juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang
kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (Al-Anfâl : 60)
Di antara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,
…فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ أَوْحَى
اللهُ إِلَى عِيْسَى: إِنِّيْ قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَاداً لِيْ لَا يَدَانِ
لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ، فَحَرِّزْ عِبَادِيْ إِلَى الطُّوْرِ وَيَبْعَثُ
اللَّهُ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ …
“…Dan tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan
demikian maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku
akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan)
bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku
berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian, Allah mengeluarkan Ya`jûj dan
Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….”
(HR. Muslim, no. 2937 dan Ibnu Majah, no. 4075)
Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan
Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu
lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah
mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad, bahkan mereka
diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.
Demikian pula, ketika Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat masih lemah di Makkah,
Allah Ta’ala melarang kaum Muslimin untuk berjihad, padahal ketika itu
kaum Muslimin mendapatkan berbagai macam bentuk kezhaliman dari
orang-orang kafir.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh
berkata, “Dan beliau (Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam) diperintah
untuk menahan (tangan) dari memerangi orang-orang kafir karena
ketidakmampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut.
Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang
menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad.” (Al-Jawâb Ash-Shohîh, 1/237)
Syarat Ketiga: Jihad tersebut dilakukan oleh kaum muslimin yang memiliki wilayah kekuasaan
Perkara ini tampak jelas dari sejarah
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa beliau diizinkan berjihad
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika telah terbentuknya satu
kepemimpinan dengan Madinah sebagai wilayahnya dan beliau sendiri
sebagai pimpinannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi
shollallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ke Madinah menurut
kesepakatan para ulama.” (Fathul Bari, 6/4-5 dan Nailul Authar, 7/246-247).
Demikianlah syarat-syarat jihad dalam
syari’at Islam. Adapun dari sisi akal sehat bahwa tujuan jihad adalah
untuk meninggikan agama Allah Ta’ala sehingga Islam menjadi terhormat
dan berwibawa di hadapan musuh, hal ini tidak akan tercapai apabila
tidak dipersiapkan dengan matang dengan suatu kekuatan, persiapan dan
pengaturan yang baik. Maka ketika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi,
sebagaimana dalam aksi-aksi terorisme, hasilnya justru bukan membuat
Islam menjadi tinggi, malah memperburuk citra Islam, sebagaimana yang
kita saksikan saat ini.
Pelanggaran Kedua: Memerangi orang kafir sebelum didakwahi dan ditawarkan apakah memilih Islam, membayar jizyah atau perang
Pelanggaran ini menunjukkan kurangnya
semangat para Teroris untuk mengusahakan hidayah kepada manusia dan
semakin jauh dari tujuan jihad itu sendiri, padahal hakikat jihad
hanyalah sarana untuk menegakkan dakwah kepada Allah Ta’ala. Ini juga
merupakan bukti betapa jauhnya mereka dari pemahaman yang benar tentang
jihad, sebagaimana tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada
para mujahid yang sebenarnya, yaitu para sahabat radhiyallahu‘anhum. Dalam hadits Buraidah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata:
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
âlihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau
memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan
(wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian,
beliau berkata, “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah,
bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan
mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan
janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil
dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin
dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari
tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan)
terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”. (HR. Muslim, no. 1731, Abu Dâud, no. 2613, At-Tirmidzi, no. 1412, 1621, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô, no. 8586, 8680, 8765, 8782 dan Ibnu Mâjah, no. 2857, 2858)
Pelanggaran Ketiga: Membunuh orang muslim dengan sengaja
Kami katakan bahwa mereka sengaja
membunuh orang muslim yang tentu sangat mungkin berada di lokasi
pengeboman karena jelas sekali bahwa negeri ini adalah negeri mayoritas
muslim. Dan mereka sadar betul di sini bukan medan jihad seperti di
Palestina dan Afganistan, bahkan mereka tahu dengan pasti kemungkinan
besar akan ada korban muslim yang meninggal.
Tidakkah mereka mengetahui adab
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebelum menyerang musuh di suatu
daerah?! Disebutkan dalam hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ
يَغْزُوْ بِنَا حَتَّى يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ
عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa
‘alâ âlihi wa sallam apabila bersama kami untuk memerangi suatu kaum,
beliau tidak melakukan perang tersebut hingga waktu pagi, kemudian
beliau menunggu, apabila beliau mendengar adzan maka beliau menahan diri
dari mereka dan apabila beliau tidak mendengar adzan maka beliau
menyerang mereka secara tiba-tiba. ”(HR. Al-Bukhâri, no. 610, 2943, Muslim, no. 382, Abu Daud, no. 2634, dan At-Tirmidzi, no. 1622)
Tidakkah mereka mengetahui betapa
terhormatnya seorang muslim itu di sisi Allah Ta’ala?! Tidakkah mereka
mengetahui betapa besar kemarahan Allah Ta’ala atas pembunuh seorang
muslim?!
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا
فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan
azab yang besar baginya”. (An-Nisâ`: 93)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh sirnanya dunia lebih ringan di sisi Allah dari membunuh (jiwa) seorang muslim.” (Hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma riwayat At-Tirmidzi, no. 1399, An-Nasa`i, 7/ 82, Al-Bazzar, no. 2393, Ibnu Abi ‘ashim dalam Az-Zuhd, no. 137, Al-Baihaqy, 8/22, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 7/270 dan Al-Khathib, 5/296. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah dalam Ghayatul Maram, no. 439)
Pelanggaran Keempat: Membunuh orang kafir tanpa pandang bulu
Inilah salah satu pelanggaran Teroris
dalam berjihad yang menunjukkan pemahaman mereka yang sangat dangkal
tentang hukum-hukum agama dan penjelasan para ulama. Ketahuilah, para
ulama dari masa ke masa telah menjelaskan bahwa tidak semua orang kafir
yang boleh untuk dibunuh, maka pahamilah jenis-jenis orang kafir berikut
ini:
Pertama: kafir harbiy, yaitu orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Inilah orang kafir yang boleh untuk dibunuh.
Kedua: kafir dzimmy,
yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin, tunduk dengan
aturan-aturan yang ada dan membayar jizyah (sebagaimana dalam hadits
Buraidah di atas), maka tidak boleh dibunuh.
Ketiga: kafir mu’ahad,
yaitu orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin untuk
tidak saling berperang, selama ia tidak melanggar perjanjian tersebut
maka tidak boleh dibunuh.
Keempat: kafir musta’man,
yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin
atau sebagian kaum muslimin, maka tidak boleh bagi kaum muslimin yang
lainnya untuk membunuh orang kafir jenis ini. Dan termasuk dalam
kategori ini adalah para pengunjung suatu negara yang diberi izin masuk
(visa) oleh pemerintah kaum muslimin untuk memasuki wilayahnya.
Banyak dalil yang melarang pembunuhan
ketiga jenis orang kafir di atas, bahkan terdapat ancaman yang keras
dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”. (HR. Al-Bukhari, no. 3166, 6914, An-Nasa`i, 8/25 dan Ibnu Majah, no. 2686)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata mu’ahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, “Dan yang diinginkan dengan (mu’ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah (kafir dzimmy), perjanjian dari penguasa (kafir mu’ahad), atau jaminan keamanan dari seorang muslim (kafir musta’man).” (Fathul Bary, 12/259)
(Disarikan dari buku Meraih Kemuliaan melalui Jihad Bukan Kenistaan, karya Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhahullah. Semua dalil, takhrij hadits dan perkataan ulama di atas dikutip melalui perantara buku tersebut, jazallahu muallifahu khairon).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar