Antara Facebook, Syubhat, Fitnah, Ghibah dan Tergesa-gesa dalam Menghukumi
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Walaupun judulnya “berteman” bahkan
“berlangganan” di FB, tetap saja TEMAN dunia maya tidak seperti TEMAN
dunia nyata, buktinya lebih sering kita tidak betul-betul mengenal siapa
teman kita di FB.
Kadang kita mengenal teman FB kita
sebagai orang-orang yang BERADAB, MENJAGA LISAN dan TIDAK TERGESA-GESA
dalam MENGHUKUMI, tidak suka GHIBAH dan tidak suka membahas FITNAH.
Ternyata, ketika dia memiliki perselisihan atau perbedaan pendapat
dengan kita maka dengan mudahnya dia menggibah dan menghukumi
saudaranya: “Dikatakan “Ustadz”
saja tidak bisa berdiskusi ilmiah”, “Memaksakan pendapat”, “Jumud”,
“Gak salah muridnya pun demikian”, “Tidak konsekuen dengan ucapannya”,
“Mantan da’i sesat”. Hanya sebagai permisalan, selain itu masih banyak
kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh seorang “teman”.
Padahal kalau mereka mau, betapa mudahnya mengirim pesan via inbox
untuk menanyakan apa dasar sikap kita, ataupun menasihati secara
tertutup jika memang mereka menganggap kita telah salah. Dan sering
kali, diantara mereka, tentunya juga tidak senang jika ia melakukan
kesalahan, lalu aib-aibnya diumbar secara murahan di FB, tetapi
hendaklah dinasehati secara tertutup. Namun sayang, ketika mereka
melihat kesalahan orang lain, mereka pun melakukan hal yang sama, jadi
STANDAR GANDA.
Tidakkah mereka takut dari bahaya ghibah,
ataukah dalil-dalil tentang bahaya ghibah hanya mereka arahkan kepada
orang lain, tidak untuk diri mereka? Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
telah mengingatkan,
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ
مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para
sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau
bersabda, “Engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia
sukai.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu terdapat
pada diri saudaraku?” Beliau bersabda, “Jika apa yang engkau katakan itu
terdapat pada diri saudaramu maka engkau telah mengghibahinya, jika
tidak maka engkau telah berdusta atasnya.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Ikhwani fid diin, takutlah kepada
Allah ta’ala, bertakwalah kepada-Nya, dan realisasikan takutmu kepada
Allah ta’ala dan takwa kepada-Nya dalam kehidupanmu sehari-hari, tidak
terkecuali dalam tulisan-tulisanmu di internet, dan jangan sampai engkau
pintar menasihati manusia untuk takut dan takwa kepada Allah ta’ala,
namun engkau sendiri tidak mengamalkannya. Maka ketahuilah, membicarakan
keburukan seorang muslim tanpa terpenuhi syarat-syarat dibolehkannya
secara syar’i, hanya ada dua kemungkinan:
- Ghibah.
- Dusta.
Dan keduanya adalah kezaliman yang taubatnya dipersyaratkan harus meminta penghalalan dan pemaafan dari orang yang dizalimi tersebut, jika tidak maka urusannya akan panjang sampai di akhirat.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan bahaya kezaliman,
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا
الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ إِنَّ
الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ
وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ
مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ
أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut
itu?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang
tidak (lagi) memiliki dinar dan harta”. Maka Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut
dari ummatku adalah seorang yang datang (menghadap Allah Ta’ala) pada
hari kiamat dengan (membawa pahala) sholat, puasa, zakat, namun ketika
di dunia dia pernah mencaci fulan, menuduh fulan, memakan harta fulan,
menumpahkan darah fulan, memukul fulan. Maka diambillah
kebaikan-kebaikan yang pernah dia lakukan untuk diberikan kepada
orang-orang yang pernah dia zalimi. Hingga apabila kebaikan-kebaikannya
habis sebelum terbalas kezalimannya, maka kesalahan orang-orang yang
pernah dia zalimi tersebut ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilempar
ke neraka.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Maka jangan pernah engkau lupakan, setiap
ucapanmu tentang saudaramu secara zalim akan menjadi bencana bagimu
pada hari kiamat. Sebagaimana hadits ini juga menjadi hiburan bagi
orang-orang yang dizalimi, baik dengan sikap maupun dengan kata-kata,
semoga dosa-dosanya menjadi berkurang dan diampuni oleh Allah ta’ala.
Lihatlah bagaimana para ulama ketika berselisih dalam satu masalah, Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan pada biografi Al-Imam Ar-Rabbani Asy-Syafi’i rahimahullah dalam Siyar A’lam An-Nubala (10/16-17):
قال يونس الصدفي: ما رأيت
أعقل من الشافعي، ناظرته يوما في مسألة، ثم افترقنا، ولقيني، فأخذ بيدي، ثم
قال: يا أبا موسى، ألا يستقيم أن نكون إخوانا وإن لم نتفق في مسألة.
قلت: هذا يدل على كمال عقل هذا الامام، وفقه نفسه، فما زال النظراء يختلفون.
“Yunus As-Shodafi berkata, aku tidak melihat orang yang lebih berakal dibanding Asy-Syafi’i,
aku pernah berdiskusi dengannya dalam satu permasalahan, kemudian kami
berpisah, dan ketika bertemu denganku, maka ia memegang tanganku,
kemudian ia berkata, “Wahai Abu Musa, tidakkah bisa kita bersaudara meskipun kita berbeda pendapat dalam satu masalah?”
Aku (Adz-Dzahabi)
berkata, “Ini menunjukkan sempurnanya akal imam ini dan pemahaman
dirinya, sebab orang-orang yang berdiskusi itu tidak henti-hentinya
berselisih.”
Jika kita tidak bisa mengikuti adab para
imam ketika berselisih, paling tidak kita tidak berusaha untuk saling
menjatuhkan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, dengan adanya
kemajuan sarana komunikasi dewasa ini, yaitu munculnya jejaring-jejaring
sosial seperti FB dan semisalnya, membuat manusia semakin sulit menahan
diri dan sulit menahan lisannya.
Dengan adanya kemudahan berekspresi
melalui status FB, bukan hanya orang-orang awam, tidak sedikit penuntut
ilmu, bahkan dianggap ustadz yang berbicara tanpa memikirkan akibat dari
ucapannya tersebut. Padahal, sekali ia salah berbicara, maka akan sulit
ditarik kembali, sebab dengan mudah ucapannya tersebut akan tersebar ke
seluruh dunia melalui jaringan internet.
Tidakkah kita menyadari, bahwa setiap
ucapan kita akan dimintai pertanggungjawabannya kelak pada hari kiamat.
Allah ta’ala telah mengingatkan,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” [Qoof: 18]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengingatkan sahabatnya Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ قَالَثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قَالَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْإِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Jagalah olehmu ini (lisanmu).” Aku
berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan diazab disebabkan apa yang
kami ucapkan?” Beliau bersabda, “Celaka engkau wahai Mu’adz, tidaklah
manusia itu diseret di neraka di atas wajah-wajah mereka, kecuali karena
perbuatan lisan-lisan mereka.” [HR. At-Tirmidzi, no. 2616, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]
Juga diantara bentuk ucapan yang
berbahaya di internet, khususnya di FB adalah tersebarnya
syubhat-syubhat yang menyamarkan kebenaran. Dan seorang muslim yang
merasa dirinya lemah, tentunya ia tidak akan menyibukkan diri dengan
membaca dan membantah syubhat-syubhat tersebut. Dan telah dimaklumi
bersama bagaimana takutnya ulama Salaf ketika mendengarkan ucapan-ucapan
yang dapat menyamarkan kebenaran yang telah mereka yakini.
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah pada biografi Al-Imam Ar-Rabbani Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata dalam As-Siyar (7/261):
وعنه: من سمع ببدعة فلا يحكها لجلسائه، لا يلقها في قلوبهم.
قلت: أكثر أئمة السلف على هذا التحذير، يرون أن القلوب ضعيفة، والشبه خطافة.
“Dan dari beliau (Sufyan Ats-Tsauri)
berkata, Barangsiapa mendengarkan satu bid’ah janganlah ia sampaikan
kepada teman-teman duduknya, agar tidak masuk ke hati-hati mereka.”
Aku (Adz-Dzahabi)
berkata, “Kebanyakan ulama Salaf memperingatkan perkara ini, karena
mereka menganggap hati itu lemah, sedang syubhat menyambar-nyambar.”
Berikut beberapa mutiara dari Lamud Durril Mantsur Minal Qoulil Ma’tsur (hal. 36-37) :
“Dua orang dari kalangan pengikut hawa nafsu mendatangi Ibnu Sirin seraya berkata, “Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan satu hadits kepadamu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Keduanya berkata lagi: Kalau begitu kami bacakan satu ayat Al-Qur’an kepadamu?” Beliau menjawab, “Tidak, kalian pergi dari sini atau saya yang pergi”. Lalu keduanya pun keluar. Sebagian orang berkata, “Wahai Abu Bakr, mengapa engkau tidak mau mereka membacakan ayat Al-Qur’an kepadamu?” Beliau menjawab, “Sungguh saya khawatir mereka bacakan kepadaku satu ayat lalu mereka selewengkan maknanya sehingga tertanam dalam hatiku.” [HR. Ad Darimy (1/120/no. 397)]
Sallam -rahimahullah- berkata, “Seorang pengikut kesesatan berkata kepada Ayyub, “Saya ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat?” Maka Ayyub segera berpaling dan berkata, “Tidak, meski setengah kalimat, meski setengah kalimat” Beliau mengisyaratkan jarinya.” [HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (2/447 no. 402), Al-Lalika'iy dalam Syarh Ushul Al-I'tiqod (1/143/no. 291), Abdullah bin Ahmad dalam As Sunnah (1/138/no. 101), dan Ad Darimy dalam Sunan-nya (1/121 no. 398)]
Al Fudlail bin Iyyadh rahimahullah berkata, “Jauhilah
olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu dan janganlah
engkau duduk bersama pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena sungguh
saya khawatir kamu terkena murka Allah.” [HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (2/462-463 no. 451-452), dan Al-Lalika'iy dalam Syarhul Ushul (262)]
Perhatikanlah, bagaimana rasa takut para
imam Salaf terhadap bahaya syubhat. Maka janganlah engkau remehkan hal
ini, dan janganlah engkau mengejek saudaramu yang berusaha menjaga
hatinya dari kesesatan. Kalau engkau merasa dirimu kuat dalam menghadapi syubhat, mungkin saudaramu merasa ia tidak kuat sepertimu. Jangan paksakan dirinya menjadi sepertimu.
Oleh karena itu, bukanlah sikap ekstrim
jika ada seorang muslim yang membatasi pertemanannya di FB hanya dengan
orang-orang yang ia kenal sebagai seorang Ahlus Sunnah, atau tidak
berteman dan memblokir para penebar syubhat, atau minimal tidak berusaha
membaca syubhat-syubhat mereka.
Sebagaimana juga, bukanlah sesuatu yang
berlebihan jika ia menghapus komentar-komentar di dinding FBnya yang
menurutnya mengandung syubhat yang dapat membahayakannya ataupun
membahayakan kaum muslimin yang membacanya. Walaupun Anda memandang
bahwa komentar Anda bukanlah sebuah kebatilan atau syubhat yang harus
dihapus, tetapi janganlah Anda memaksakan pandangan Anda kepada orang lain.
Karena terkadang, sesuatu
yang kita anggap sebagai kebenaran, namun ternyata di baliknya
mengandung kebatilan, sehingga komentar kita pada akhirnya dihapus oleh
saudara kita yang mungkin lebih mengetahui permasalahan tersebut.
Di sinilah dibutuhkan kesabaran untuk meminta penjelasan dengan penuh
adab terhadap saudara kita, dan janganlah kita terburu-buru mengghibahi
dan menghukumi saudara kita. Dan kesabaran dalam menghargai pendapat saudara kita yang menganggap itu sebagai syubhat yang harus dihapus. Janganlah kita hanya selalu menuntut orang untuk tidak memaksakan pendapat,
sementara kita sendiri memaksakan pendapat kepada orang lain. Sehingga
ketika komentar kita dihapus, serta merta kita berprasangka buruk
terhadap saudara kita, apalagi sampai menebarkan ghibah dan kedustaan
atasnya.
Adapun jika seorang mengatakan: Kalau
memang komentar tersebut mengandung kebatilan atau syubhat mengapa tidak
dibantah dan tidak didiskusikan secara ilmiah? Apa tidak mampu
berdiskusi secara ilmiah? Hanya memaksakan pendapat? Bersikap jumud?
Tidak konsekuen?
Maka kami jawab: Yaa Akhi jangan terburu-buru, berilah udzur
kepada saudaramu. Mungkin saudaramu masih dalam keadaan sibuk sehingga
dia belum sempat membantah atau mendiskusikannya. Apalagi jika
bantahannya membutuhkan pembahasan ilmiah, dengan mengumpulkan
ucapan-ucapan para ulama dalam masalah tersebut, sehingga membutuhkan
waktu yang tidak singkat, sementara di satu sisi ia memandang bahwa
komentar tersebut adalah kebatilan atau syubhat, maka wajar kalau ia
menghapusnya. Janganlah Anda memaksakan pendapat Anda bahwa komentar Anda harus tetap ada, tidak boleh dihapus.
Terlebih jika komentar tersebut ditulis di FB yang tidak memiliki fasilitas moderasi seperti di blog,
maka tidak ada jalan kecuali menghapusnya. Dan terlebih lagi jika
saudaramu memiliki kesibukan yang jauh lebih penting dan lebih besar
maslahatnya dibanding menanggapi setiap syubhat di internet, seperti
kesibukan membina orang-orang awam dan para mu’allaf di dunia nyata
untuk mengenal tauhid dan sunnah serta memerangi kesyirikan dan
kristenisasi, namun di tengah-tengah kesibukannya tersebut, ternyata
Anda menikamnya dari belakang dengan ghibah yang Anda sebarkan dan
ketergesa-gesaan Anda dalam menghukuminya. Allahul Musta’an.
Dan juga yang tidak kalah penting untuk dicermati, adalah “kebebasan berekspresi” mengungkapkan isi hati tentang fitnah
perpecahan antara Ahlus Sunnah di internet, khususnya di FB. Setiap
orang berani berbicara tanpa memperhatikan kadar dirinya,
nasihat-nasihat ulama dalam menyikapi fitnah hampir-hampir tidak berharga di sisi mereka, berbicara tanpa ilmu dan adab, melanggar kehormatan orang-orang mulia.
Pada akhirnya, fitnah semakin berkobar,
pertikaian semakin meluas, dari dunia maya hingga dunia nyata, yang
terjadi di dunia nyata segera berpindah ke dunia maya, kemudian tersebar
ke seluruh dunia, dalam keadaan mereka menyangka sedang melakukan
perbaikan. Inna liLlahi wa inna ilaihi roji’un.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan,
إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ وَلَمَنِ ابْتُلِىَ فَصَبَرَ فَوَاهًا
“Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah-fitnah, sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah-fitnah, sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah-fitnah (tiga kali beliau menyebutkannya), dan orang yang jika ia tertimpa fitnah maka ia bersabar, sungguh mengagumkan.” [HR. Abu Daud, no. 4263 dari Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu’anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani]
WaLlahu A’la wa A’lam.
Sumber:
Nama Blog: موقع أبي عبد الله سفيان خالد بن إدهام روراي السلفي الأندونيسي
Blog URL: http://nasihatonline.wordpress.com
Blog URL: http://nasihatonline.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar