Wanita Haid Tidak Diperbolehkan
Berpuasa
Abi Sa’id
-radhiyallahu‘anhu- mengatakan: “Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam-
keluar menuju tempat sholat pada waktu dhuha, kemudian beliau melewati para
wanita lalu beliau bersabda: “Wahai segenap para wanita bersedekahlah karena
sesungguhnya telah diperlihatkan padaku bahwa kalian adalah adalah mayoritas
penghuni neraka”, mereka berkata: “Apa sebabnya wahai Rasulullah!”, Beliau
menjawab: “Kalian suka melaknat dan suka mengingkari kebaikan suami. Tidaklah
aku melihat orang-orang yang kurang akal dan agamanya lebih mampu untuk
mempengaruhi seorang lelaki yang kokoh dibanding salah seorang dari kalian.”,
mereka berkata: “Lalu apakah kekurangan pada akal dan agama kami wahai
Rasulullah!”, Beliau menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita itu setengah
dari persaksian seorang lelaki?”, mereka menjawab: “Tentu wahai Rasulullah!”,
Beliau mengatakan: “Itulah kekurangan pada akalnya, dan bukankah jika seorang wanita
haid dia tidak sholat dan tidak puasa?”, mereka menjawab: “Tentu wahai
Rasulullah!”, Beliau mengatakan itulah kekurangan pada agamanya.” (Mutafaqun
‘alaihi)
Dan Aisyah
-radhiyallahu’anha-: “Dahulu kami (wanita haid-pen) diperintahkan untuk
mengqodho puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqodho sholat.” (Mutafaqun
‘alaihi)
Imam An Nawawi
-rahimahullah- mengatakan: “Umat ini telah bersepakat akan haramnya puasa bagi
wanita haid dan nifas, dan bahwasanya puasanya tidak sah.” (Al Majmu’: 2/354)
Mengapa
wanita haid dilarang berpuasa?
Al hafidz Ibnu
Hajar -rahimahullah- mengatakan: “Larangan sholat bagi wanita haid adalah
perkara yang telah jelas karena kesucian dipersyaratkan dalam sholat dan wanita
haid tidak dalam keadaan suci. Adapun puasa tidak dipersyaratkan di dalamnya
kesucian maka larangan puasa bagi wanita haid itu sifatnya adalah ta’abudi (hal
yang bersifat ibadah semata-pen) sehingga butuh suatu nash pelarangan berbeda
dengan sholat.” (Fathul Bari Syarh hadits no 304)
Jadi, larangan
berpuasa bagi wanita haid ini sifatnya ta’abudi (ibadah semata) yang wallahu
a’lam akan hikmah dibalik larangan tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa
larangan ini merupakan bentuk rahmah Allah kepada para wanita, karena wanita
dalam keadaan lemah ketika haid dan melakukan puasa ketika itu tentu akan
menambah kelemahan dan akhirnya akan membahayakan jiwanya. Wallahu a’lam.
Jika
Haid Datang Sesaat Sebelum Maghrib?
Syaikh Al
Utsaimin mengatakan: “Jika haid datang dan dia dalam keadaan berpuasa maka
batal puasanya walaupun itu terjadi sesaat sebelum waktu maghrib, dan wajib
baginya mengqodho puasa jika puasanya itu adalah puasa wajib.” (Dima’
Thobi’iyah Lin Nisa’: 28)
Jika
Suci Sesaat Setelah Fajar?
Syaikh Al
Utsaimin mengatakan: “Dan jika fajar telah terbit dan dia masih dalam keadaan
haid maka tidak sah puasanya pada hari itu walaupun dia suci sesaat setelah terbitnya
fajar.” (Dima’ Thobi’iyah Lin Nisa’: 29)
<<www.salafyciampeabogor.blogspot.com>> |
Jika
Seorang Wanita Telah Suci Dari Haid Pada Siang Hari Ramadhan, Apakah Wajib
Baginya Menahan Diri Dari Pembatal-Pemabatal Puasa Hingga Waktu Berbuka
Tiba?
Dalam
permasalahan ini ada dua pendapat dari kalangan para ulama:
Pendapat
Pertama : Wajib baginya imsak (menahan diri dari
pembatal-pembatal puasa), dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al
Auza’i, Alhasan Al Basri, dan Ibnu Sholih.
Pendapat
Kedua : Tidak wajib
baginya imsak, dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama diantaranya:
Imam Malik, Asy Syafi’I, dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat. (Fathul Alam
Syarh Bulughul Maram 2/666)
Pendapat kedua
inilah yang rajih (kuat) dalam masalah ini karena tidak ada dalil yang mewajibkan
hal tersebut. Dan pendapat inilah yang dirajihkan oleh Syaikh Al Utsaimin
-rahimahullah- dalam majmu’ fatawa beliau 19/70.
Imam Syafi’i
mengatakan: “Jika seseorang tiba dari perjalanan safar pada sebagian hari dalam
keadaan tidak berpuasa dan istrinya dalam keadaan haid kemudian suci lalu dia
mencampurinya maka aku berpendapat tidak mengapa, begitu pula jika keduanya
makan dan minum karena keduanya bukan orang yang sedang berpuasa.” (Al Umm:
2/111)
Jika
Suci Dari Haid Sebelum Fajar Dan Tidak Mandi Junub Sampai Datang Waktu
Subuh, Apakah Diperbolehkan Baginya Berpuasa ?
Imam Al
Qurtubi ketika menjelaskan tafsir ayat:
{
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ}
“Dan
dihalalkan bagimu untuk mencampuri istri-istrimu pada malam hari bulan
ramadhan.” [Al Baqoroh: 187]
Beliau
mengatakan: “Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang wanita haid yang suci
sebelum fajar dan tidak segera bersuci sampai datang waktu subuh. Jumhur
(mayoritas) ulama berpendapat wajib baginya berpuasa sama saja apakah dia
sengaja atau lupa sebagimana orang junub, dan ini adalah pendapat Imam Malik.”
Ibnu Hajar
juga mengutip pendapat jumur ulama bahwa wanita haid yang suci sebelum fajar
dan berniat untuk puasa maka sah puasanya dan tidak tergantung pada mandi junub.
(Fathul bari 4/192)
Syaikh Al
Utsaimin mengatakan: “Dan jika seorang wanita dalam keadaan haid kemudian suci
sesaat sebelum fajar pada hari ramadhan maka wajib baginya berpuasa pada hari
itu walaupun dia belum mandi kecuali setelah terbit fajar, dan puasanya sah.”
(Majmu fatawa Al Utsaimin: 11/233)
Beliau juga
mengatakan: “Dan jika seorang wanita telah suci sesaat sebelum fajar lalu dia
berpuasa maka puasanya sah walaupun dia belum mandi kecuali setelah terbit
fajar, sebagaimana orang junub jika telah berniat puasa dalam keadaan junub dan
tidak mandi kecuali setelah terbit fajar maka sesungguhnya puasanya sah
berdasarkan hadits Aisyah -radhiyallahu‘anha-, dia mengatakan: “Dahulu Nabi
-shalallahu‘alaihi wa sallam- pernah memasuki waktu subuh dalam keadaan junub
karena jima’ bukan ihtilam (mimpi) kemudian beliau puasa ramadhan.” [HR.Bukhari
dan Muslim], (Dima’ Thobi’iyah Lin Nisa’: 29)
Pendapat ini
pula yang dirajihkan oleh Syaikh Bin Baz –rahimahullah- dalam majmu’ fatawa
beliau 15/191.
Apakah
Diperbolehkan Bagi Wanita Mengkonsumsi Obat Pencegah Haid Agar Bisa Berpuasa
Sebulan Penuh?
Penggunaan
obat-obat pencegah haid diperbolehkan dengan dua syarat:
Pertama: Tidak menyebabkan bahaya bagi
pengguna, jika ditakutkan akan timbul bahaya atau efek negatif maka tidak
diperbolehkan penggunaannya berdasarkan firman Allah ta’ala :
{ وَلَا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا}
“Dan janganlah
kalian membunuh diri-diri kalian sesungguhnya Allah maha penyayang
terhadap kalian.” [An Nisa’ : 29]
Kedua: Mendapatkan izin dari suami jika
memiliki hubungan dan berkaitan dengan suami, seperti sedang melaksanakan iddah
yang mana suami wajib menafkahinya selama masa iddah sehingga penggunaan
pencegah haid ini akan memperpanjang masa iddahnya maka tidak diperbolehkan
baginya menggunakan obat-obat pencegah haid kecuali dengan izinnya. Begitu pula
jika penggunaan obat-obat pencegah haid dapat mencegah terjadinya kehamilan
maka mesti baginya meminta izin suami. Dan walaupun penggunaan obat-obat
pencegah kehamilan ini diperbolehkan akan tetapi yang lebih utama adalah
menghindari penggunaannya kecuali untuk suatu kebutuhan karena membiarkan
tabiat alami sesuai dengan kealamiannya lebih bisa menjaga keseimbangan
kesehatan dan keselamatan. (Dima’ Thobi’iyah Lin Nisa’ : 57-58)
Bagaimana
Seorang Wanita Mengetahui Bahwa Dia Telah Suci Dari Haid?
Seorang wanita
dinyatakan suci dari haid dengan dua tanda:
Pertama: Keluarnya cairan putih (qushoh
baidho’). Cairan ini biasanya keluar setelah darah haid dan cairan coklat
ataupun kekuningan terhenti. Disebutkan dalam Shohih Bukhori bahwa suatu kali
para wanita mengutus seseorang wanita kepada Aisyah dengan membawa secarik
kapas yang terdapat padanya shufroh (cairan kekuningan yang muncul di
penghujung haid-pen), maka Aisyah mengatakan: “Janganlah kalian terburu-buru
sampai kalian melihat qushoh baidho’ (cairan putih).”
Kedua: Terhentinya darah haid serta cairan
coklat ataupun kekuningan. Jika darah haid dan cairan-cairan ini sudah tidak
lagi keluar (kering) maka dia telah suci, sama saja apakah setelah itu keluar
cairan putih atau tidak. (Lihat Al Majmu’ 2/543, Syarh Shohih Muslim
no.333,Fathul Bari no.320)
Jadi, inilah
dua tanda yang bisa dijadikan patokan bagi seorang wanita untuk mengetahui
apakah dia telah selesai dari haid ataukah belum. Pengetahuan akan hal ini
penting karena sebagian wanita sering mengalami kebingungan akan siklus haidnya
dan ternyata pangkal permasalahannya adalah kesalahan dalam hal ini. Terkadang
di tengah siklus haid darah terhenti mengalir dan yang keluar hanya cairan
kekuningan sehingga merasa telah suci lalu mandi, sholat dan berpuasa tapi
tidak lama kemudian darah haid kembali mengalir, karena memang sebenarnya dia
belum suci dari haid, cairan
kekuningan atau kecoklatan yang biasa keluar pada waktu haid atau dipenghujung
waktu haid adalah haid berbeda halnya jika cairan ini keluar bukan pada waktu
haid atau keluar setelah suci dari haid maka tidak dianggap sebagai haid
berdasarkan hadits Ummu ‘Atiyyah: “Kami tidak menganggap cairan kekuningan
(shufroh) dan kecoklatan (kudroh) sebagai haid jika keluar setelah suci.”Wallahul
muwaffiq.
Kegiatan
Ibadah Apa Saja Yang Boleh Dilakukan Oleh Wanita Haid Untuk Mengisi Ramadhan?
Terutama Jika Haid Terjadi Pada Sepuluh Hari Terakhir?
Seorang wanita
haid bisa melakukan semua kegiatan ibadah apa saja kecuali sholat, puasa,
thowaf di ka’bah dan i’tikaf di masjid. Dan telah disebutkan dalam sebuah
hadits yang shahih bahwa Rasulullah -sholallahu‘alaihi wa sallam- jika masuk
sepuluh hari terakhir ramadhan beliau menghidupkan malam-malamnya dan
membangunkan anggota keluarganya.
Dan
menghidupkan malam itu tidak hanya terbatas dengan sholat lail, bahkan termasuk
di dalamnya melakukan berbagai bentuk amalan ketaatan, inilah yang dijelaskan
oleh para ulama:
Al Hafidz Ibnu
Hajar mengatakan: “Menghidupkan malam, yaitu dengan mengisi malam itu dengan
ketaatan.”
An Nawawi
mengatakan: “Yaitu mengisinya dengan sholat dan selainnya.”
Dan disebutkan
dalam Aunul Ma’bud: “Yaitu mengisinya dengan sholat, dzikir dan membaca
Alqur’an.”
Dan memang
sholat merupakan bentuk ketaatan yang paling afdhol untuk dilakukan untuk
mengisi sepuluh malam terakhir ramadhan. Rasulullah -sholallahu‘alaihi wa
sallam bersabda :
((مَنْ قَامَ
رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ))
“Barangsiapa
yang menegakkan sholat pada malam lailatul qodar dengan keimanan dan mengharap
pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HR.Bukhori dan
Muslim]
Dan karena
wanita haid tercegah dari melaksanakan sholat, maka mungkin baginya untuk
menghidupkan malam-malam tersebut dengan berbagai bentuk amalan ketaatan yang
lain, seperti:
1.
Membaca Alqur’an
Para ulama
berbeda pendapat dalam hal ini, apakah wanita haid diperbolehkan untuk membaca
Alqur’an atau tidak? Dan yang kuat dalam masalah ini adalah tidak mengapa bagi
wanita haid membaca Alqur’an karena tidak ada hadits yang shahih dan terang
yang melarang wanita membaca Alqur’an ketika haid, sebagaimana tidak ada
larangan bagi mereka dari berdzikir dan berdoa ketika haid. Adapun hadits:
((لا
تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن))
“Wanita haid
dan orang junub tidak boleh membaca sesuatupun dari Alqur’an” [HR.Tirmidzi]
Hadits ini
dho’if, berkata Ibnu Hajar -rahimahullah-: “Hadits ini dho’if dari seluruh
jalur periwayatannya.” [Fathul Bari no.305]. Dan berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah -rahimahullah-: “Hadits dhoif berdasarkan kesepakatan para ahli
hadits.” [Majmu’ Alfatawa: 21/460]. Berkata Syaikh Al Albani -rahimahullah-:
“Ini adalah hadits mungkar.” [Al Irwa’: 193]
Pendapat
inilah yang dirajihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Muqbil Al Wadi’i, dan
Syaikh bin Baz -rahimahumullah-
Selain itu
terdapat hadits -hadits yang menguatkan pendapat ini, diantaranya sabda Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah yang mengalami haid ketika berhaji:
((افْعَلِي مَا
يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَلاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطَّهَّرِي ))
“ Lakukan
apa-apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali jangan engkau thowaf di
ka’bah sampai engkau suci.” [HR.Muslim]
Dan merupakan
perkara yang telah diketahui bahwa orang yang melaksanakan haji itu bertahlil,
bertasbih, beristighfar, dan membaca alqur’an.
Akan tetapi
perlu diketahui bahwa membaca Alqur’an itu ada dua: Membacanya dari hafalan
tanpa melihat dan menyentuh mushaf dan membacanya dengan melihat dan menyentuh
mushaf. Untuk yang pertama maka diperbolehkan sebagaimana yang tampak dalam
pembahasan kita ini. Adapun yang kedua maka para ulama pun berbeda pendapat
dan mayoritas ulama bahkan sebagian dari para ulama menukil ijma’
(kesepakatan) bahwa wanita haid dilarang menyentuh mushaf. Dan penulis
pribadi lebih cenderung kepada pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh bin Baz -rahimahullah-,
beliau mengatakan : “Adapun jika seorang wanita membutuhkan untuk membaca
Alqur’an dari mushaf maka tidak mengapa baginya dengan syarat menggunakan
penghalang (pelapis) seperti kaus tangan dan yang semisalnya.” [Majmu’ Fatawa
bin Baz 6/360]. Wallahu a’lam.
2.
Memperbanyak dzikir
Memperbanyak
bertasbih (bacaan subhanallah), bertahmid (alhamdulillah), bertakbir (Allahu
Akbar), dan bertahlil (laa ilaha ilallah). Atau lafadz-lafadz dzikir yang lain
yang dituntunkan oleh rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam-.
3.
Memperbanyak istighfar dan permohonan ampun kepada Allah Azza wa
Jalla.
4.
Memperbanyak doa
Memperbanyak
doa dan permohonan kepada Allah Azza wa Jalla baik yang berkaitan dengan
kebaikan dunia maupun akhirat. Dan doa merupakan salah satu dari bentuk ibadah
yang afdhol, bahkan disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih:
((الدعاء هو
العبادة))
“Doa itu
adalah ibadah.” [HR.Tirmidzi dan Abu Dawud]
Inilah di
antara beberapa kegiatan yang bisa dilakukan oleh wanita untuk mengisi
hari/malam ramadhan yang dilalui dalam keadaan haid. Dan perlu diketahui disana
masih banyak berbagai amal ketaatan yang lain yang bisa dilakukan seperti
memperbanyak sedekah dan berbuat baik kepada sesama terutama kerabat terdekat.
Mempersiapkan sahur dan buka untuk mereka dengan tulus dan tanpa mengeluh,
membangunkan, dan mendorong mereka untuk sholat lail dan membaca Alqur’an. Yang
disayangkan adalah jika mereka para wanita menghabiskan hari dan malam mereka
dengan berbagai kegiatan yang tidak bermanfaat bahkan justru maksiat dengan
menghabiskan waktu mereka di depan televisi atau radio dan pergi ke pusat-pusat
perbelanjaan dan merasa bahwa tidak ada kegiatan ibadah yang bisa mereka
lakukan karena sedang haid. Wallahul musta’an.
Semoga tulisan
ini bisa memberikan manfaat kepada penulis pribadi dan para pembaca sekalian
dan menumbuhkan semangat untuk lebih memaknai ramadhan. Amiin…
Sumber:www.darussalaf.or.id
Ummu Hudzaifah
As Samarindiyyah –ghofarallahu laha wa li waalidaiha-
Akhir Sya’ban
1434 H, Ma’had Daarus Salaf Al Islamiy Bontang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar