Oleh: Ustadz Askary Hafizhahullaah
Kami orang perantauan yang tentunya jauh dari kerabat, ana/kami
harus mengantar anak-anak ke ma’had untuk menuntut ilmu setiap hari. Suami
tidak bisa antar karena harus pergi pagi dan pulang sore kecuali hari libur. Di
sisi lain ana mendengar bahwa wanita haram untuk membawa/menyupir mobil apalagi
motor. Apakah supir yang mengantar sedangkan anak-anak kami perempuan. Atau
jalan kaki sementara rumah kami jauh atau harus pindah dan tinggal di ma’had
(ma’had ibnul qoyyim Balikpapan) sedangkan harga tanah di dekat ma’had sudah
melambung tinggi bersaing dengan harga di Jakarta. Allahul musta’an. Tolong
ustadz beri jalan keluar dan mohon dijelaskan di mana letak keharamannya
ummahat menyupir. Jazaakallaahu khairan.
Jawab :
Ma’aasyiral ikhwah Rahimakumullaah ada beberapa qawaaid yang penting untuk kita ketahui dalam menjawab permasalahan ini:
Pertama, bahwa agama ini datang untuk mendatangkan kemaslahatan, bukan untuk menimbulkan kerusakan. Dan ini merupakan qaidah yang muttafaq alaiha. Agama dan syari’at ini datang untuk memberi kemaslahatan bukan untuk menimbulkan kerusakan dan mafsadah. Kata Al Allaamah As Sa’di Rahimahullaah
الدِّيْنُ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمَصَالِح فِي جَلبِهَا وَالدَّرْءِ لِلقَبَائِح
Ma’aasyiral ikhwah Rahimakumullaah ada beberapa qawaaid yang penting untuk kita ketahui dalam menjawab permasalahan ini:
Pertama, bahwa agama ini datang untuk mendatangkan kemaslahatan, bukan untuk menimbulkan kerusakan. Dan ini merupakan qaidah yang muttafaq alaiha. Agama dan syari’at ini datang untuk memberi kemaslahatan bukan untuk menimbulkan kerusakan dan mafsadah. Kata Al Allaamah As Sa’di Rahimahullaah
الدِّيْنُ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمَصَالِح فِي جَلبِهَا وَالدَّرْءِ لِلقَبَائِح
agama itu dibangun di atas mashaalih/kemaslahatan. Oleh karena
itu, tidak satupun dari syari’at yang dibawa oleh Rasulullaah Shallallaahu
‘alaihi wasallam melainkan pasti ada kemaslahatannya. Apakah maslahat itu murni
maslahat atau maslahatnya lebih besar daripada mafsadahnya/kerusakannya.
Kemudian yang kedua,
berkenaan tentang seorang wanita, asal hukum seorang wanita adalah tinggal di
rumah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan tetaplah kalian
tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)..(1)
Dan nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ wanita itu aurat(2).
Dan nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ wanita itu aurat(2).
Ketiga, bahwa Allah
Subhanahu wa ta’ala tidak mengikat wanita itu harus tinggal di rumah selama-lamanya.
Dalam artian tidak ada dispensasi untuk keluar… Tidak demikian!!
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa ta’ala setelah menyebutkan perintah tinggal di rumah untuk para wanita
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
Allah melanjutkan
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُْ ولَ’
“jangan kalian bertabarruj seperti tabarrujnya wanita-wanita jahiliyyah dahulu”. Dalam artian di saat kalian keluar dari rumah kalian, ini isyarat dari Allah Subhanahu wa ta’ala menunjukkan bolehnya keluar namun jaga adab. Jangan tabarruj, jangan bersolek, jangan membuka aurat, jangan mendatangkan fitnah, jangan menggerak-gerakkan tubuh untuk memperdengarkan perhiasan yang dia kenakan, jangan dia keluar dengan memakai parfum dan yang semisalnya merupakan bentuk tabarruj yang dilarang di dalam syari’at Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa ta’ala setelah menyebutkan perintah tinggal di rumah untuk para wanita
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
Allah melanjutkan
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُْ ولَ’
“jangan kalian bertabarruj seperti tabarrujnya wanita-wanita jahiliyyah dahulu”. Dalam artian di saat kalian keluar dari rumah kalian, ini isyarat dari Allah Subhanahu wa ta’ala menunjukkan bolehnya keluar namun jaga adab. Jangan tabarruj, jangan bersolek, jangan membuka aurat, jangan mendatangkan fitnah, jangan menggerak-gerakkan tubuh untuk memperdengarkan perhiasan yang dia kenakan, jangan dia keluar dengan memakai parfum dan yang semisalnya merupakan bentuk tabarruj yang dilarang di dalam syari’at Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, dalam
hadits ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha, kata Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam:
قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِهالِحاجاتِكُنَّ
“Allah telah memberikan izin kepada kalian wahai para wanita untuk keluar dari rumah kalian karena kalian memiliki haajah/kebutuhan.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170).
Dalam riwayat lain,
إِنَّ اللّهَ قَدْ جَعَلَ لَكُنَّ الرُّخْصَحُ أَنْ تَخْرُجْنَ لِهَوَا ……
bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan untuk kalian Rukhshah/keringanan disebabkan karena kalian pun memiliki kebutuhan pada saat keluar dari rumah-rumah kalian.
قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِهالِحاجاتِكُنَّ
“Allah telah memberikan izin kepada kalian wahai para wanita untuk keluar dari rumah kalian karena kalian memiliki haajah/kebutuhan.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170).
Dalam riwayat lain,
إِنَّ اللّهَ قَدْ جَعَلَ لَكُنَّ الرُّخْصَحُ أَنْ تَخْرُجْنَ لِهَوَا ……
bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan untuk kalian Rukhshah/keringanan disebabkan karena kalian pun memiliki kebutuhan pada saat keluar dari rumah-rumah kalian.
Inilah prinsip-prinsip yang penting harus diketahui bahwa islam
datang untuk mendatangkan maslahat bukan untuk membawa dan menimbulkan
kerusakan. Asal hukum wanita tinggal di rumah, kemudian diperbolehkan keluar
dari rumah apabila ada haajah. Tidak menjadikan orang dikit-dikit keluar rumah,
sedikit-sedikit safar, sedikit-sedikit bepergian.
Kemudian yang
berikutnya, termasuk diantara perkara yang tidak diperbolehkan bagi seorang
wanita adalah safar tanpa mahram.
لاَ تُسَافِرُ مَرْأةِ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
seorang wanita tidak diperbolehkan safar kecuali bersama mahram.
لاَ تُسَافِرُ مَرْأةِ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
seorang wanita tidak diperbolehkan safar kecuali bersama mahram.
Apabila kita telah
memahami hal-hal yang seperti ini, kita kembali kepada inti pembahasan. apa
hukumnya wanita menyupir mobil/motor?
Ini termasuk perkara yang mawaazil, permasalahan kontemporer yang tentunya belum ada di zaman Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Yang disebut mobil, motor…
Ini termasuk perkara yang mawaazil, permasalahan kontemporer yang tentunya belum ada di zaman Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Yang disebut mobil, motor…
![]() |
>>>www.salafyciampeabogor.blogspot.com<<< |
Jadi untuk mendapatkan suatu dalil tentang hukum wanita menyupir
mobil itu tidak ada,,, sama sekali tidak ada….. Atau membawa motor. Karena
kendaraan mereka ketika itu bukanlah mobil/motor. Oleh karena itu, penting
untuk kita pahami bahwa memang para ulama lebih khusus lagi para ulama di Arab
Saudi Hafizhahumullah wa Rahimahumullaah mereka secara umum mengharamkan
seorang wanita menyetir mobil. Mungkin tidak dibahas menyetir motor karena
memang di Arab Saudi sangat kurang yang namanya motor. Sehingga tidak masuk ke
dalam pembahasan. Beda dengan negeri kita, motor mungkin lebih banyak dari
mobilnya.
Ma’aasyiral ikhwah
Rahimakumullaah, para ulama ketika mereka mengharamkan seorang wanita menyetir
mobil itu bukan karena asal hukum menyetir itu haram. Jadi permasalahan bukan
kembali kepada hukum menyetirnya, namun dampak negatifnya. Keburukannya yang
menyebabkan para ulama mengharamkan. Dibangun di atas kaidah “maa aghda ila
muharram fa huwa muharram”, apa yang mengantarkan kepada suatu yang haram maka
itu juga diharamkan.
Al wasiilah ilal haram, sarana untuk terjatuh kepada perkara yang diharamkan. Dan juga berdasarkan qaaidah “dar-’url mafaasid muqaddar ‘ala jalbil mashaalih. Menolak satu kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengharapkan/mendatangkan suatu maslahat. Bagi siapa yang membaca fatwa ulama syeikh bin baz, syeikh Utsaimin dan yang lainnya itu akan mendapati bahwa mereka mengharamkan bukan karena masalah menyetirnya namun dampak negatif. Hilangnya rasa malu pada wanita, disebabkan karena kebiasaan menyetir mobil, dikit-dikit keluar…dikit-dikit keluar. Akhirnya jadi tukang keluar rumah. Sehingga dia tidak betah dengan rumahnya. Tidak ada lagi istilah “baiti jannati” rumahku adalah surgaku. Sehingga menimbulkan sekian banyak mafsadah. Di rumah akhirnya sampai tidak terurus, mungkin anaknya tidak terurus atau yang semisalnya. Di luar rumah juga senangnya keluyuran kesana kemari. Karena dia sudah bisa nyetir, gak ada urusan dengan suami. Suami gak ada, gak ada masalah. Pergi keluar sendirian. Akhirnya menimbulkan ikhtilath yang semakin merebak. Jalan ke mall-mall dan seterusnya. Berjalan ke sana kemari tanpa ada haajah/kebutuhan. Dan dikhawatirkan juga mereka akan safar ke sana kemari. Terlebih lagi kondisi di Arab Saudi, subhanallaah safar antara daerah ke daerah lain tanpa terasa karena jalan yang bagus. Hingga seseorang bisa menyetir dengan kecepatan tanpa terasa tiba di daerah lain. Safar tanpa terasa… Nah karena mafsadah-mafsadah inilah sehingga para ulama mengharamkan.
Al wasiilah ilal haram, sarana untuk terjatuh kepada perkara yang diharamkan. Dan juga berdasarkan qaaidah “dar-’url mafaasid muqaddar ‘ala jalbil mashaalih. Menolak satu kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengharapkan/mendatangkan suatu maslahat. Bagi siapa yang membaca fatwa ulama syeikh bin baz, syeikh Utsaimin dan yang lainnya itu akan mendapati bahwa mereka mengharamkan bukan karena masalah menyetirnya namun dampak negatif. Hilangnya rasa malu pada wanita, disebabkan karena kebiasaan menyetir mobil, dikit-dikit keluar…dikit-dikit keluar. Akhirnya jadi tukang keluar rumah. Sehingga dia tidak betah dengan rumahnya. Tidak ada lagi istilah “baiti jannati” rumahku adalah surgaku. Sehingga menimbulkan sekian banyak mafsadah. Di rumah akhirnya sampai tidak terurus, mungkin anaknya tidak terurus atau yang semisalnya. Di luar rumah juga senangnya keluyuran kesana kemari. Karena dia sudah bisa nyetir, gak ada urusan dengan suami. Suami gak ada, gak ada masalah. Pergi keluar sendirian. Akhirnya menimbulkan ikhtilath yang semakin merebak. Jalan ke mall-mall dan seterusnya. Berjalan ke sana kemari tanpa ada haajah/kebutuhan. Dan dikhawatirkan juga mereka akan safar ke sana kemari. Terlebih lagi kondisi di Arab Saudi, subhanallaah safar antara daerah ke daerah lain tanpa terasa karena jalan yang bagus. Hingga seseorang bisa menyetir dengan kecepatan tanpa terasa tiba di daerah lain. Safar tanpa terasa… Nah karena mafsadah-mafsadah inilah sehingga para ulama mengharamkan.
Dan perlu kita
mengetahui bahwa hukum syar’i itu terbagi menjadi dua:
1. Hukum yang tidak bisa berubah/tsaabit meskipun disertai dengan perubahan zaman (perubahan waktu), perubahan tempat hukumnya tetap “hukum”. Seperti shalat 5 waktu, tidak ada istilah bahwa 2000 kemudian shalat akan menjadi 4 kali shalat sehari semalam misalnya, tidak ada… Lima kali shalat semenjak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umat ini sampai seterusnya hingga hari kiamat, tetap wajib. Puasa di bulan ramadhan tetap wajib, gak ada perubahan.
2. Ada hukum-hukum yang terjadi perubahan disebabkan karena perubahan zaman dan perubahan tempat. Misalnya masalah haddus safar/batasan safar. Berapa batasannya? Terjadi perselisihan di kalangan para ulama bahwa yang shahih tidak ada batasan tertentu sekian kilo ini adalah safar. Namun ini semua dikembalikan kepada urf/kebiasaan sebuah negeri. Apabila di negeri tersebut berjalan di suatu daerah menuju daerah lain ini teranggap sebagai “safar” maka itulah safar. Dan apabila berjalan di suatu tempat menuju ke tempat yang lain tidak teranggap safar maka itu bukan safar meskipun jauh jaraknya. Dan apa yang menjadi kebiasaan bagi masyarakat maka menjadi safar meskipun dekat jaraknya.
Jadi berbeda antara satu daerah dengan daerah lain.
1. Hukum yang tidak bisa berubah/tsaabit meskipun disertai dengan perubahan zaman (perubahan waktu), perubahan tempat hukumnya tetap “hukum”. Seperti shalat 5 waktu, tidak ada istilah bahwa 2000 kemudian shalat akan menjadi 4 kali shalat sehari semalam misalnya, tidak ada… Lima kali shalat semenjak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umat ini sampai seterusnya hingga hari kiamat, tetap wajib. Puasa di bulan ramadhan tetap wajib, gak ada perubahan.
2. Ada hukum-hukum yang terjadi perubahan disebabkan karena perubahan zaman dan perubahan tempat. Misalnya masalah haddus safar/batasan safar. Berapa batasannya? Terjadi perselisihan di kalangan para ulama bahwa yang shahih tidak ada batasan tertentu sekian kilo ini adalah safar. Namun ini semua dikembalikan kepada urf/kebiasaan sebuah negeri. Apabila di negeri tersebut berjalan di suatu daerah menuju daerah lain ini teranggap sebagai “safar” maka itulah safar. Dan apabila berjalan di suatu tempat menuju ke tempat yang lain tidak teranggap safar maka itu bukan safar meskipun jauh jaraknya. Dan apa yang menjadi kebiasaan bagi masyarakat maka menjadi safar meskipun dekat jaraknya.
Jadi berbeda antara satu daerah dengan daerah lain.
Oleh karena itu, Ma’aasyiral ikhwah Rahimakumullah sekarang kita
lihat kondisi kita di Indonesia. Dengan kondisi yang subhanallaah… Wanita
mengumbar aurat ke sana kemari. Di Arab Saudi wanita tahaajjibat, mereka
berhijab (menutup wajah-wajah mereka). Dengan meyetir mobil mereka akan terbiasa
untuk membuka wajah. Apalagi kalau dihentikan ada polisi misalnya, lihat simnya
mana?? Dilihat simnya benner ga ini orangnya. Jangan-jangan bukan,,,, Sehingga
dikhawatirkan hal-hal yang seperti ini.
Nah, ma’aasyiral ikhwah Rahimakumullah, sehingga kita lihat
kondisi wanita di negeri ini apabila tetap menjaga kemaluannya, menjaga
auratnya, memelihara kehormatannya, dan tetap berada di batasan-batasan yang
disyariatkn dalam keadaan dia berhijab. Dan tentunya lebih utama &
itu pendapat yang shahih InsyaaAllaah ta’ala kewajiban wanita untuk menutup
wajah berdasarkan hadits-hadit yang datang dari nabi Shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Kalau dia menjaga ini…
Dan subhanallaah dalam keadaan tidak ada yang bisa mengantarnya
keluar. Kalau misalnya dia punya mahram dan itulah yang lebih utama. Apabila
dia punya suami maka suamilah yang lebih utama menyetir. Dia punya anak
laki-laki yang mengantarnya ke sana kemari, yang menyetir. Tapi pembicaraan
kita dalam kondisi seorang wanita seperti yang disebutkan dalam pertanyaan ini.
Apalagi jika wanita sendirian, gak punya anak, janda. Tentu pada saat dia
menyetir sendiri, itu lebih ringan daripada dia keluar untuk mencari angkot.
Telah kita ketahui sekarang subhaanallaah, naik angkot bagi para wanita sangat
berbahaya. Tidak jarang seorang wanita diculik, diperkosa, kemudian dibunuh wal
‘iyaadzubillaah. Dan terkadang pula yang namanya angkot supirnya ya laki-laki
ketika seorang wanita/akhwat naik angkot mungkin saja dia sendirian di situ.
Akhirnya dia berduaan dengan supir dan ini sangat berbahaya bagi wanita
tersebut. Jika dia turun, apakah dia turun untuk mencari angkot yang lainnya
akhirnya dia bayar lagi, turun kemudian menunggu lagi yang lain…kemudian dia
akan mengeluarkan uang lagi. Subhaanallaah masyaqqah (kesulitan). Belum lagi
dia akan menampakkan dirinya. Berbeda kalau misalnya dia menyetir di dalam
mobilnya dan InsyaaAllaah ta’ala dia merasa aman dengan fitnah. Kalaulah itu
dianggap kemudaratan irtikaabu ahabbu dararain, melakukan sesuatu yg
kemudaratannya lebih kecil daripada kemudaratan yang lebih besar.
Demikian pula seorang wanita ketika mengendarai motor, hendaknya
dia menjaga hijab, hati-hati dari tersingkap hijab pakaiannya. Jaga dengan
penuh kehormatan itupun perhatikan keluar dalam keadaan haajah. Kalau dia punya
suami, hendaknya dia bersama suaminya. Jangan dia memudahkan berjalan ke sana
kemari. Adapun hal-hal yang tidak penting, seorang akhwat kadang-kadang
menggampangkan, Subhanallaah. Ada acara walimahan naik motor ke sana. Padahal
memungkinkan dia punya mahram, bersama dengan mahramnya lebih baik, suaminya,
anaknya. Jangan bermudah-mudahan keluar dengan membawa mobil sendirian. Namun
ketika dalam kondisi haajah, ada kebutuhan dan dia merasa aman dari fitnah dan
mengharuskan dia misalnya harus mengantar anaknya dalam keadaan dia tidak punya
yang lain, suaminya misalnya. Maka dia menjaga kehormatannya maka InsyaaAllaah
ta’ala tidak mengapa. Namun sekali lagi jangan memudah-mudahkan permasalahan
ini. Wallaahu ta’ala a’lamu bish shawaab.
Catatan kaki:
1) Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Artinya: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (Al Azhab : 33)
1) Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Artinya: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (Al Azhab : 33)
2) Rasulullaah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, setan terus memandanginya (untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah).” (Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3109, dan Al-Irwa’ no. 273. Dishahihkan pula oleh Al-Imam Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36
Ditranskrip dari tanya
jawab tal’lim Ustadz Askari Hafizhahullaah
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, setan terus memandanginya (untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah).” (Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3109, dan Al-Irwa’ no. 273. Dishahihkan pula oleh Al-Imam Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar