MEWASPADAI (KESESATAN) SUFI SERTA KETERKAITANNYA DENGAN JAMAAH TABLIGH & IKHWANUL MUSLIMIN
MEWASPADAI (KESESATAN) SUFI SERTA KETERKAITANNYA DENGAN JAMAAH TABLIGH & IKHWANUL MUSLIMIN
Sufi,
selama ini banyak dipahami sebagai gambaran kesederhanaan, kezuhudan
ataupun kehidupan yang nyaris tak tersentuh ‘peradaban’. Menilik
sejarahnya, nama sufi sebenarnya nisbat dari sekelompok manusia yang
beribadah secara berlebihan, dengan berbagai tata cara yang tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tasawuf (تَصَوُّف) diidentikkan dengan
sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia.
Penganutnya disebut Shufi (صُوْفِيٌّ) (selanjutnya ditulis Sufi menurut
ejaan yang lazim, red), dan jamaknya adalah Sufiyyah (صُوْفِيَّةٌ).
Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad
pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.”
(Majmu’ Fatawa, 11/5)
Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan
tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai
berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan
cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang
terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ).
Meski kelompok ini tidak mewajibkan
tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka
disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ). Jadi, lafadz
Sufi bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di jaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena nisbat kepadanya adalah Shuffi (صُفِّيٌ). Bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, karena nisbat kepadanya adalah Shaffi (صَفِّيٌ).
Demikian juga bukan nisbat kepada
makhluk pilihan Allah karena nisbatnya adalah Shafawi (صَفَوِيٌّ). Dan
bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab) meski
secara lafadz bisa dibenarkan. Namun secara makna sangatlah lemah,
karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama
sekali.
Para ulama Bashrah yang mengalami masa
kemunculan kelompok sufi ini, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana
diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah,
bahwa telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang
mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Maka beliau berkata:
“Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat
dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka
petunjuk Nabi kita lebih kita cintai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang
selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah hal. 5, 6, 16)
Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah
berkata: “Demikianlah munculnya jahiliyyah Tasawuf, dan dari kota
inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah,
hal. 5)

Ibnu ‘Ajibah, seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak Tasawuf adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui wahyu dan ilham.
Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang
lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan,
yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan membawa ilmu syariat. Ketika ilmu itu telah mantap,
turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada
orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf
adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5
dinukil dari At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 8)
Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali
Al-Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan
tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dengan kedustaan, ia menuduh bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi
dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam
dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu. Karena
Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam
firman-Nya:
يَٰأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ
“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah
diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau tidak melakukannya,
maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah: 67)
Beliau juga berkata: “Adapun
pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini
merupakan pemikiran yang diwarisi orang-orang Sufi dari
pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah).
Benar-benar ‘Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana diriwayatkan
Al-Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah
rahimahullah. Ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi ‘Ali bin
Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Maka datanglah seorang laki-laki seraya
berkata: ‘Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepadamu?’
Maka ‘Ali pun marah lalu mengatakan:
‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah merahasiakan sesuatu
kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia! Hanya saja beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitahukan kepadaku tentang
empat perkara.’
Abu Thufail rahimahullah berkata: ‘Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?’
Beliau menjawab: ‘Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘(Artinya) Allah melaknat seseorang yang
melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih
untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku
kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah’.”
(At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8)

Dari bahasan di atas, jelaslah bahwa
Tasawuf bukan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan
pula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Lalu dari
manakah ajaran Tasawuf ini?
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
rahimahullah berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama
dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari
lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini
mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As
Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam
sejarah pemimpin umat manusia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah
makhluk-makhluk pilihan Allah subhanahu wa ta’ala di alam semesta ini.
Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan
diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud
Budha.” (At-Tashawwuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil
rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan
yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah
subhanahu wa ta’ala di dalam memerangi Allah subhanahu wa ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya ia (Tasawuf)
merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan
ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama
yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di
dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah,
Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan
Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)
Keterangan para ulama di atas
menunjukkan bahwa ajaran Tasawuf bukan dari Islam. Bahkan ajaran ini
merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke
tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:
Wihdatul Wujud,
yakni keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyatu dengan segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni
keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala dapat masuk ke dalam
makhluk-Nya.Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang (yang sedang) makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)
Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya,
berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai
kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan
hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa
yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq
Al-Mu’ashirah, hal. 601)
Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُوْرَةِ شَابٍ
“Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang
pemuda.” (Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari
Firaq Mu’ashirah, hal. 615)
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١١
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
قَالَ رَبِّ أَرِنِيٓ أَنظُرۡ إِلَيۡكَۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِي
“Berkatalah Musa: ‘Wahai Rabbku
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Allah
berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku’…”[1]
(Al-A’raf: 143)

Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).[2]
Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?
Keyakinan kafir bahwa Allah subhanahu wa
ta’ala adalah makhluk dan makhluk adalah Allah subhanahu wa ta’ala,
masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya.
Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).[3]
Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).[3]
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
إِن كُلُّ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ إِلَّآ ءَاتِي ٱلرَّحۡمَٰنِ عَبۡدٗا ٩٣
“Tidak ada seorang pun di langit dan di
bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan
sebagai hamba.” (Maryam: 93)

Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).[4]
Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi
yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang
Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama…
masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”[5]
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥
“Dan barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali
Imran: 85)

Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?”
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengingkari seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan
belum pernah menghukuminya dengan shahih.”
Maka diketahui dari sini lemahnya hadits
tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya
walaupun para ulama mengamalkan berdasarkan isnadnya yang shahih.”
(Al-Futuhat Al-Makkiyah).[6]

Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.
Mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:
وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ ٩٩
yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman,
bahwa perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang
paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena
Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri
sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang
sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada
martabat hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam
agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)
Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan
mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya Allah subhanahu
wa ta’ala tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman
selain kematian’, kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat
99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu
kematian’.”
Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya
‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan
ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَٱتَّقُواْ ٱلنَّارَ ٱلَّتِيٓ أُعِدَّتۡ لِلۡكَٰفِرِينَ ١٣١
“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (‘Ali Imran: 131)
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan
dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit
dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (‘Ali Imran:
133)

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلَهِ إِلاَّ اللهُ
“Sebaik-baik dzikir adalah Laa ilaha
illallah.” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah
radhiallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’, no. 1104).[7]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
“Barangsiapa beranggapan bahwa Laa ilaha illallah adalah dzikirnya orang
awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah
هُو/Huwa, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah
Al-’Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)

Allah subhanahu wa ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:
قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ
“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)
“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ
“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).
“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).
إِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰئِكَةِ إِنِّي خَٰلِقُۢ بَشَرٗا مِّن طِينٖ ٧١
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Demikianlah beberapa dari sekian banyak
ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga
Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan
tersebut.

Keterkaitan antara Sufi dengan kelompok
Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin sangatlah erat karena pendiri kedua
kelompok ini adalah seorang Sufi.
Jamaah Tabligh didirikan oleh Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi
seorang Sufi dari tarekat Jisytiyyah. Dan seiring bergulirnya waktu,
Jamaah Tabligh kemudian berbai’at di atas empat tarekat Sufi:
Jisytiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah, dan Naqsyabandiyyah. (Lihat
kitab Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, karya Asy-Syaikh
Hasan Janahi, hal. 2, 12.)
Adapun Ikhwanul Muslimin, pendirinya adalah Hasan Al-Banna,
seorang Sufi dari tarekat Hashafiyyah, sebagaimana yang ia katakan
sendiri: “…Di Damanhur aku bergaul dengan kawan-kawan dari tarekat
Hashafiyyah dan setiap malam aku selalu mengikuti acara hadhrah yang
diadakan di Masjid At-Taubah…”
Ia juga berkata: “Terkadang kami
berziarah ke daerah Azbah Nawam, karena di sana terdapat makam
Asy-Syaikh Sayyid Sanjar, salah seorang dari tokoh tarekat Hashafiyyah.”
(Mudzakkiratud Da’wah Wad Da’iyah, hal. 19, 23, dinukil dari kitab
Fitnatut Takfir Wal Hakimiyah, karya Muhammad bin Abdullah Al-Husain,
hal. 63-64)
Wallahu a’lam bish shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
[1] Maksudnya di dunia ini, adapun di
akhirat maka kaum mukminin akan melihat Allah subhanahu wa ta’ala,
menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah
dan ijma’ salaf. (ed)
[2] Dinukil dari Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 24-25.
[3] Dinukil dari Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 24-25.
[4] Dinukil dari Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal.24-25.
[5] Dinukil dari Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal.24-25.
[6] Dinukil dari Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 23
[7] Lihat kitab Fiqhul Ad‘iyati Wal Adzkar, karya Asy-Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, hal. 173.
Sumber: http://asysyariah.com/mewaspadai-sufi/
Sumber Tulisan : www.tukpencarialhaq.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar