Ketika kita mendapati imam sholat ternyata melakukan kesalahan fatal dalam membaca surat alquran, batasan apakah yang menjadi parameter sah atau tidaknya sholat, sehingga perlu meninggalkan imam tersebut? demikian juga batas kepantasan yang hanya berhukum makruh?
Pertanyaan di atas bisa jadi terlintas dan kita alami. Berikut ini sebagian bimbingan hikmah dari fatwa para ulama, semoga bisa menjadi penuntun sikap hikmah.
بارك الله فيكم
=====================
Pertanyaan di atas bisa jadi terlintas dan kita alami. Berikut ini sebagian bimbingan hikmah dari fatwa para ulama, semoga bisa menjadi penuntun sikap hikmah.
بارك الله فيكم
=====================
Imam ibnu ‘Utsaimin _rahimahullah_ :
“Apabila mengubah harokat maka tidak sah – yakni sholatnya – *jika* kesalahan bacaan ( ﺍﻟﻠَّﺤﻦ ) tersebut mengakibatkan perubahan makna (pula). Namun jika tidak (mengubah mkkna), maka tetap sah. Akan tetapi tidak diperbolehkan menyengaja melakukan kesalahan baca.
Contoh yang mengubah makna:
Mengucapkan ﺃَﻫْﺪِﻧَﺎ dengan fathah pada hamzahnya, karena maknanya berbeda, sebab maknanya dengan difathahkan hamzahnya menjadi “berikanlah hadiah kami kepadanya.”
Tapi اﻫﺪﻧﺎ dengan hamzah washl (bermakna) “tunjukilah kami kepadanya, berikan taufiq kami untuk menjalaninya, dan kokohkan kami di atasnya.”
Mengucapkan ﺃَﻫْﺪِﻧَﺎ dengan fathah pada hamzahnya, karena maknanya berbeda, sebab maknanya dengan difathahkan hamzahnya menjadi “berikanlah hadiah kami kepadanya.”
Tapi اﻫﺪﻧﺎ dengan hamzah washl (bermakna) “tunjukilah kami kepadanya, berikan taufiq kami untuk menjalaninya, dan kokohkan kami di atasnya.”
Seandainya dia membaca ﺻِﺮَﺍﻁَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃَﻧْﻌَمْتُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ (penggalan ayat ke-7 alFatihah) maka tidak sah, karena berbeda makna.
(Yaitu) kenikmatan menjadi berasal dari si pembaca, bukan lagi dari Allah.
(Yaitu) kenikmatan menjadi berasal dari si pembaca, bukan lagi dari Allah.
Sedangkan contoh yang tidak mengubah makna:
Seperti mengucapkan { ﺍﻟﺤﻤﺪِ ﻟﻠﻪ } dengan membaca harokat kasroh pada huruf ad-dal menggantikan harokat yang semestinya dhommah.
Seperti mengucapkan { ﺍﻟﺤﻤﺪِ ﻟﻠﻪ } dengan membaca harokat kasroh pada huruf ad-dal menggantikan harokat yang semestinya dhommah.
Kalau seandainya mengucapkan
{ ﺍُﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﺭَﺏِ ﺍُﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ }
tanpa tasydid pada al-ba’ tidaklah sah. Karena akan berbeda maknanya, sebab menggugurkan 1 huruf, karena (asal) huruf yang ditasydid sebagai gambaran 2 huruf. Jadi, tidak bisa tidak mesti dibaca secara sempurna ayat-ayatnya, kata-katanya, huruf-hurufnya, dan harokat-harokatnya. Jika meninggalkan pengucapan ayat, kata, huruf, maupun harokat menyebabkan perbedaan makna, (menyebabkan) tidak sah.”
{ ﺍُﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﺭَﺏِ ﺍُﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ }
tanpa tasydid pada al-ba’ tidaklah sah. Karena akan berbeda maknanya, sebab menggugurkan 1 huruf, karena (asal) huruf yang ditasydid sebagai gambaran 2 huruf. Jadi, tidak bisa tidak mesti dibaca secara sempurna ayat-ayatnya, kata-katanya, huruf-hurufnya, dan harokat-harokatnya. Jika meninggalkan pengucapan ayat, kata, huruf, maupun harokat menyebabkan perbedaan makna, (menyebabkan) tidak sah.”
~~~~~~
Sampai di sini penukilan dari Kitab asySyarh alMumti’, Bab Shifat Sholat.
Sampai di sini penukilan dari Kitab asySyarh alMumti’, Bab Shifat Sholat.
—————————–
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﺑﻦ ﻋﺜﻴﻤﻴﻦ – ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ – : ” ﻭﻟﻮ ﺃﺧﻠﻒ ﺍﻟﺤﺮﻛﺎﺕ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻻ ﺗﺼﺢُّ – ﺃﻱ ﺍﻟﺼﻼﺓ – ﺇﻥْ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠَّﺤﻦُ ﻳُﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ؛ ﻭﺇﻻ ﺻﺤَّﺖ ، ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﻤَّﺪ ﺍﻟﻠَّﺤﻦَ .
ﻣﺜﺎﻝ ﺍﻟﺬﻱ ﻳُﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ : ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : { ﺃَﻫْﺪِﻧَﺎ } ﺑﻔﺘﺢ ﺍﻟﻬﻤﺰﺓ : ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻳﺨﺘﻠﻒ؛ ﻷﻥ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻬﻤﺰﺓ أﻋﻄﻨﺎ ﺇﻳَّﺎﻩ ﻫﺪﻳﺔ ، ﻟﻜﻦ { اﻫﺪﻧﺎ } ﺑﻬﻤﺰﺓ ﺍﻟﻮﺻﻞ ﺑﻤﻌﻨﻰ : ﺩُﻟَّﻨﺎ ﻋﻠﻴﻪ ، ﻭﻭﻓِّﻘْﻨَﺎ ﻟﻪ ، ﻭَﺛَﺒِّﺘْﻨَﺎ ﻋﻠﻴﻪ .
ﻭﻟﻮ ﻗﺎﻝ : ( ﺻِﺮَﺍﻁَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃَﻧْﻌَمْتُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ) ( ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ : ﻣﻦ ﺍﻵﻳﺔ 7 ) ﻟﻢ ﺗﺼﺢَّ؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺨﺘﻠﻒ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ، ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻹِﻧﻌﺎﻡُ ﻣِﻦ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ ، ﻭﻟﻴﺲ ﻣِﻦ ﺍﻟﻠﻪ .
ﻭﻣﺜﺎﻝ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳُﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ : ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : & # 171 ; ﺍﻟﺤﻤﺪِ ﻟﻠﻪ & # 187 ; ﺑﻜﺴﺮ ﺍﻟﺪﺍﻝ ﺑﺪﻝ ﺿﻤِّﻬﺎ .
ﻭﻟﻮ ﻗﺎﻝ : } ﺍُﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﺭَﺏِ ﺍُﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ { ﺑﺪﻭﻥ ﺗﺸﺪﻳﺪ ﺍﻟﺒﺎﺀ ﻟﻢ ﺗﺼﺢَّ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﺳﻘﻂ ﺣﺮﻓﺎً؛ ﻷﻥ ﺍﻟﺤﺮﻑ ﺍﻟﻤﺸﺪَّﺩ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﺣﺮﻓﻴﻦ .
ﺇﺫﺍً؛ ﻻ ﺑُﺪَّ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃﻫﺎ ﺗﺎﻣَّﺔ ، ﺑﺂﻳﺎﺗﻬﺎ ، ﻭﻛﻠﻤﺎﺗﻬﺎ ، ﻭﺣﺮﻭﻓﻬﺎ ، ﻭﺣﺮﻛﺎﺗﻬﺎ ، ﻓﺈﻥ ﺗﺮﻙ ﺁﻳﺔ ، ﺃﻭ ﺣﺮﻓﺎً ، ﺃﻭ ﺣﺮﻛﺔ ﺗُﺨِﻞُّ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ ﻟﻢ ﺗﺼﺢَّ ” ﺍﻫـ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﺡ ﺍﻟﻤﻤﺘﻊ ، ﺑﺎﺏ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ .
ﻣﺜﺎﻝ ﺍﻟﺬﻱ ﻳُﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ : ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : { ﺃَﻫْﺪِﻧَﺎ } ﺑﻔﺘﺢ ﺍﻟﻬﻤﺰﺓ : ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻳﺨﺘﻠﻒ؛ ﻷﻥ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻬﻤﺰﺓ أﻋﻄﻨﺎ ﺇﻳَّﺎﻩ ﻫﺪﻳﺔ ، ﻟﻜﻦ { اﻫﺪﻧﺎ } ﺑﻬﻤﺰﺓ ﺍﻟﻮﺻﻞ ﺑﻤﻌﻨﻰ : ﺩُﻟَّﻨﺎ ﻋﻠﻴﻪ ، ﻭﻭﻓِّﻘْﻨَﺎ ﻟﻪ ، ﻭَﺛَﺒِّﺘْﻨَﺎ ﻋﻠﻴﻪ .
ﻭﻟﻮ ﻗﺎﻝ : ( ﺻِﺮَﺍﻁَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃَﻧْﻌَمْتُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ) ( ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ : ﻣﻦ ﺍﻵﻳﺔ 7 ) ﻟﻢ ﺗﺼﺢَّ؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺨﺘﻠﻒ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ، ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻹِﻧﻌﺎﻡُ ﻣِﻦ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ ، ﻭﻟﻴﺲ ﻣِﻦ ﺍﻟﻠﻪ .
ﻭﻣﺜﺎﻝ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳُﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ : ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : & # 171 ; ﺍﻟﺤﻤﺪِ ﻟﻠﻪ & # 187 ; ﺑﻜﺴﺮ ﺍﻟﺪﺍﻝ ﺑﺪﻝ ﺿﻤِّﻬﺎ .
ﻭﻟﻮ ﻗﺎﻝ : } ﺍُﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﺭَﺏِ ﺍُﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ { ﺑﺪﻭﻥ ﺗﺸﺪﻳﺪ ﺍﻟﺒﺎﺀ ﻟﻢ ﺗﺼﺢَّ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﺳﻘﻂ ﺣﺮﻓﺎً؛ ﻷﻥ ﺍﻟﺤﺮﻑ ﺍﻟﻤﺸﺪَّﺩ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﺣﺮﻓﻴﻦ .
ﺇﺫﺍً؛ ﻻ ﺑُﺪَّ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃﻫﺎ ﺗﺎﻣَّﺔ ، ﺑﺂﻳﺎﺗﻬﺎ ، ﻭﻛﻠﻤﺎﺗﻬﺎ ، ﻭﺣﺮﻭﻓﻬﺎ ، ﻭﺣﺮﻛﺎﺗﻬﺎ ، ﻓﺈﻥ ﺗﺮﻙ ﺁﻳﺔ ، ﺃﻭ ﺣﺮﻓﺎً ، ﺃﻭ ﺣﺮﻛﺔ ﺗُﺨِﻞُّ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ ﻟﻢ ﺗﺼﺢَّ ” ﺍﻫـ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﺡ ﺍﻟﻤﻤﺘﻊ ، ﺑﺎﺏ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ .
ﻭﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻙ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻭﺍﻟﺤﺮﻭﻑ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺮﻛﺎﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ .
====================
Dijelaskan lebih lanjut oleh Syaikh al’Allamah (Sholih alFauzan bin Abdillah) alFauzan _hafidzahullah_ ketika beliau ditanya:
“Apa hukum sholat (menjadi makmum) di belakang imam yang tidak benar bacaan alfatihahnya? Samakah hukumnya antara sholat sirriyyah dengan yang jahriyyah? Dan apabila imam sudah benar dalam membaca alfatihah, namun melakukan banyak kesalahan pada bacaan surat selainnya, apakah hukum dalam hal itu?
Jawaban beliau _hafidzahullah_ :
Apabila kelemahannya dalam membaca alfatihah merusak maknanya, yang demikian tidak diperbolehkan sholat di belakangnya, kecuali bagi yang (kemampuan bacaannya maksimal) sama dengan dia.
Karena membaca alfatihah secara benar merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun sholat. Sehingga tidak dibenarkan sholat di belakang orang yang melakukan kesalaha
n bacaan sampai taraf yang merusak maknanya. Seperti misalnya
– (yang seharusnya) membaca ﺃَﻧﻌَﻤﺖَ ﻋَﻠَﻴﻬِﻢْ menjadi ﺃﻧﻌﻤﺖُ dengan harokat dhommah pada huruf at-ta’,
– atau (mestinya) membaca ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ ternyata terbaca ﺍﻟﻌﺎﻟِﻤﻴﻦ dengan harokat kasroh pada huruf al-lam, ini mengubah makna. Sehingga tidak diperbolehkan sholat (menjadi makmum) di belakang orang yang seperti (contoh-contoh ini) keadaannya.
Adapun apabila kesalahan bacaan tidak sampai mengubah makna, ini juga tidak (pantas) dijadikan imam sementara terdapat orang lain yang lebih baik bacaannya.
Sedangkan kesalahan baca dalam bentuk selain itu, tetap sah sholat bersamanya.
Akan tetapi (perlu diingatkan) bagi seorang muslim tidak boleh meremehkan dalam membaca alquran. Bahkan wajib baginya untuk membaca alquran secara tepat (sesuai kaidah bacaannya -pent.) selama memungkinkan diterapkan sesuai cara yang benar. Akan tetapi (kalaupun secara kaidah masih kurang tepat), sholatnya tetap sah, dan sholat pihak yang menjadi makmum di belakangnya juga sah, selama terjadinya kesalahan bacaan selain pada alfatihah.
Namun apabila didapati masih ada orang yang bisa membaca lebih baik darinya, tidak sepantasnya dia dijadikan sebagai imam, justru sepatutnya dipilih untuk (menjadi imam) sholat orang yang paling baik bacaannya. Berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wasallam:
ﻳﺆﻡ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺃﻗﺮﺃﻫﻢ ﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰَّ ﻭﺟﻞَّ ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺳﻮﺍﺀ؛ ﻓﺄﻋﻠﻤﻬﻢ ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ
“Yang dijadikan imam bagi suatu masyarakat adalah yang paling baik bacaannya terhadap kitabullah _azza wajalla_ , apabila di antara mereka dalam hal bacaan setara, maka (dipilih) yang paling berilmu tentang sunnah (nabinya).” Hadits riwayat Muslim dalam kitab shahih beliau 1/465.
Sehingga membaca dengan menerapkan tajwid dan penguasaannya secara kokoh merupakan perkara yang diperlukan.
Dan tidaklah ada perbedaan dalam hal ini antara sholat sirriyyah (yang dibaca secara lirih tanpa diperdengarkan -pent.) maupun sholat jahriyyah (yang pembacaannya diperdengarkan secara jelas -pent.), semuanya memiliki hukum yang sama.
Karena membaca alfatihah secara benar merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun sholat. Sehingga tidak dibenarkan sholat di belakang orang yang melakukan kesalaha
n bacaan sampai taraf yang merusak maknanya. Seperti misalnya
– (yang seharusnya) membaca ﺃَﻧﻌَﻤﺖَ ﻋَﻠَﻴﻬِﻢْ menjadi ﺃﻧﻌﻤﺖُ dengan harokat dhommah pada huruf at-ta’,
– atau (mestinya) membaca ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ ternyata terbaca ﺍﻟﻌﺎﻟِﻤﻴﻦ dengan harokat kasroh pada huruf al-lam, ini mengubah makna. Sehingga tidak diperbolehkan sholat (menjadi makmum) di belakang orang yang seperti (contoh-contoh ini) keadaannya.
Adapun apabila kesalahan bacaan tidak sampai mengubah makna, ini juga tidak (pantas) dijadikan imam sementara terdapat orang lain yang lebih baik bacaannya.
Sedangkan kesalahan baca dalam bentuk selain itu, tetap sah sholat bersamanya.
Akan tetapi (perlu diingatkan) bagi seorang muslim tidak boleh meremehkan dalam membaca alquran. Bahkan wajib baginya untuk membaca alquran secara tepat (sesuai kaidah bacaannya -pent.) selama memungkinkan diterapkan sesuai cara yang benar. Akan tetapi (kalaupun secara kaidah masih kurang tepat), sholatnya tetap sah, dan sholat pihak yang menjadi makmum di belakangnya juga sah, selama terjadinya kesalahan bacaan selain pada alfatihah.
Namun apabila didapati masih ada orang yang bisa membaca lebih baik darinya, tidak sepantasnya dia dijadikan sebagai imam, justru sepatutnya dipilih untuk (menjadi imam) sholat orang yang paling baik bacaannya. Berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wasallam:
ﻳﺆﻡ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺃﻗﺮﺃﻫﻢ ﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰَّ ﻭﺟﻞَّ ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺳﻮﺍﺀ؛ ﻓﺄﻋﻠﻤﻬﻢ ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ
“Yang dijadikan imam bagi suatu masyarakat adalah yang paling baik bacaannya terhadap kitabullah _azza wajalla_ , apabila di antara mereka dalam hal bacaan setara, maka (dipilih) yang paling berilmu tentang sunnah (nabinya).” Hadits riwayat Muslim dalam kitab shahih beliau 1/465.
Sehingga membaca dengan menerapkan tajwid dan penguasaannya secara kokoh merupakan perkara yang diperlukan.
Dan tidaklah ada perbedaan dalam hal ini antara sholat sirriyyah (yang dibaca secara lirih tanpa diperdengarkan -pent.) maupun sholat jahriyyah (yang pembacaannya diperdengarkan secara jelas -pent.), semuanya memiliki hukum yang sama.
~~~~~~~~~
sampai di sini penukilan dari “alMuntaqo” pasal 134.
———————-
sampai di sini penukilan dari “alMuntaqo” pasal 134.
———————-
ﻭﻫﻞ ﻳُﺼﻠﻲ ﺧﻠﻒ ﻣﻦ ﻳﻠﺤﻦ؟
ﺳُﺌﻞ ﺍﻟﻌﻼَّﻣﺔ ﺍﻟﻔﻮﺯﺍﻥ – ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ – : ” ﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺭﺍﺀ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺘﻘﻦ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ؟ ﻭﻫﻞ ﻳﺘﺴﺎﻭﻯ ﺍﻷﻣﺮ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺳﺮﻳﺔ ﺃﻡ ﺟﻬﺮﻳﺔ ؟ ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻳﺘﻘﻦ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻳﺨﻄﺊ ﻛﺜﻴﺮًﺍ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻮﺍﻫﺎ؛ ﻓﻤﺎ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ؟
ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺇﺧﻼﻟﻪ ﺑﺎﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﻳﺨﻞ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ؛ ﻓﻬﺬﺍ ﻻ ﺗﺠﻮﺯ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺧﻠﻔﻪ ﺇﻻ ﻟﻤﻦ ﻫﻮ ﻣﺜﻠﻪ؛ ﻷﻥ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺭﻛﻦ ﻣﻦ ﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ؛ ﻓﻼ ﺗﺼﺢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺧﻠﻒ ﻣﻦ ﻳﻠﺤﻦ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﺤﻨًﺎ ﻳﺨﻞ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ؛ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﺮﺃ } ﺃَﻧﻌَﻤﺖَ ﻋَﻠَﻴﻬِﻢْ { : ( ﺃﻧﻌﻤﺖُ ) ؛ ﺑﺎﻟﻀﻢ ، ﺃﻭ : } ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ { : ( ﺍﻟﻌﺎﻟِﻤﻴﻦ ) ؛ ﺑﻜﺴﺮ ﺍﻟﻼﻡ؛ ﻫﺬﺍ ﻳﺨﻞ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ؛ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺧﻠﻒ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺣﺎﻟﻪ .
ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﺤﻦ ﻻ ﻳﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ؛ ﻓﻬﺬﺍ ﺃﻳﻀًﺎ ﻻ ﻳﺠﻌﻞ ﺇﻣﺎﻣًﺎ ﻭﻫﻨﺎﻙ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻨﻪ ﻗﺮﺍﺀﺓ .
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻠﺤﻦ ﻓﻲ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻮﺭ؛ ﻓﺘﺼﺢ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ . ﻟﻜﻦ ﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻠﻤﺴﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺘﺴﺎﻫﻞ ﻓﻲ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ، ﺑﻞ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺎﻹﺗﻘﺎﻥ ﻣﺎ ﺃﻣﻜﻦ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ، ﻭﻟﻜﻦ ﺻﻼﺗﻪ ﺻﺤﻴﺤﺔ ، ﻭﺻﻼﺓ ﻣﻦ ﺧﻠﻔﻪ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﺇﺫﺍ ﻟﺤﻦ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ . ﻟﻜﻦ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻨﻪ؛ ﻓﻼ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳُﺘَّﺨﺬ ﺇﻣﺎﻣًﺎ ، ﺑﻞ ﻳﺨﺘﺎﺭ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﺍﻷﺟﻮﺩ ﻗﺮﺍﺀﺓ؛ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ( ﻳﺆﻡ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺃﻗﺮﺃﻫﻢ ﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰَّ ﻭﺟﻞَّ ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺳﻮﺍﺀ؛ ﻓﺄﻋﻠﻤﻬﻢ ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ ) [ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ ( 1 / 465 ) ] .
ﻓﺘﺠﻮﻳﺪ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﺇﺗﻘﺎﻧﻬﺎ ﺃﻣﺮ ﻣﻄﻠﻮﺏ ، ﻭﻻ ﻓﺮﻕ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﺴﺮﻳﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﺮﻳﺔ . . . ﺍﻟﻜﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻜﻢ .
” ﺍﻫـ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﺘﻘﻰ ﻑ 134
ﺳُﺌﻞ ﺍﻟﻌﻼَّﻣﺔ ﺍﻟﻔﻮﺯﺍﻥ – ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ – : ” ﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺭﺍﺀ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺘﻘﻦ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ؟ ﻭﻫﻞ ﻳﺘﺴﺎﻭﻯ ﺍﻷﻣﺮ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺳﺮﻳﺔ ﺃﻡ ﺟﻬﺮﻳﺔ ؟ ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻳﺘﻘﻦ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻳﺨﻄﺊ ﻛﺜﻴﺮًﺍ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻮﺍﻫﺎ؛ ﻓﻤﺎ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ؟
ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺇﺧﻼﻟﻪ ﺑﺎﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﻳﺨﻞ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ؛ ﻓﻬﺬﺍ ﻻ ﺗﺠﻮﺯ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺧﻠﻔﻪ ﺇﻻ ﻟﻤﻦ ﻫﻮ ﻣﺜﻠﻪ؛ ﻷﻥ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺭﻛﻦ ﻣﻦ ﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ؛ ﻓﻼ ﺗﺼﺢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺧﻠﻒ ﻣﻦ ﻳﻠﺤﻦ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﺤﻨًﺎ ﻳﺨﻞ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ؛ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﺮﺃ } ﺃَﻧﻌَﻤﺖَ ﻋَﻠَﻴﻬِﻢْ { : ( ﺃﻧﻌﻤﺖُ ) ؛ ﺑﺎﻟﻀﻢ ، ﺃﻭ : } ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ { : ( ﺍﻟﻌﺎﻟِﻤﻴﻦ ) ؛ ﺑﻜﺴﺮ ﺍﻟﻼﻡ؛ ﻫﺬﺍ ﻳﺨﻞ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ؛ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺧﻠﻒ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺣﺎﻟﻪ .
ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﺤﻦ ﻻ ﻳﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ؛ ﻓﻬﺬﺍ ﺃﻳﻀًﺎ ﻻ ﻳﺠﻌﻞ ﺇﻣﺎﻣًﺎ ﻭﻫﻨﺎﻙ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻨﻪ ﻗﺮﺍﺀﺓ .
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻠﺤﻦ ﻓﻲ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻮﺭ؛ ﻓﺘﺼﺢ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ . ﻟﻜﻦ ﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻠﻤﺴﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺘﺴﺎﻫﻞ ﻓﻲ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ، ﺑﻞ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺎﻹﺗﻘﺎﻥ ﻣﺎ ﺃﻣﻜﻦ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ، ﻭﻟﻜﻦ ﺻﻼﺗﻪ ﺻﺤﻴﺤﺔ ، ﻭﺻﻼﺓ ﻣﻦ ﺧﻠﻔﻪ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﺇﺫﺍ ﻟﺤﻦ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ . ﻟﻜﻦ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻨﻪ؛ ﻓﻼ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳُﺘَّﺨﺬ ﺇﻣﺎﻣًﺎ ، ﺑﻞ ﻳﺨﺘﺎﺭ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﺍﻷﺟﻮﺩ ﻗﺮﺍﺀﺓ؛ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ( ﻳﺆﻡ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺃﻗﺮﺃﻫﻢ ﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰَّ ﻭﺟﻞَّ ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺳﻮﺍﺀ؛ ﻓﺄﻋﻠﻤﻬﻢ ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ ) [ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ ( 1 / 465 ) ] .
ﻓﺘﺠﻮﻳﺪ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﺇﺗﻘﺎﻧﻬﺎ ﺃﻣﺮ ﻣﻄﻠﻮﺏ ، ﻭﻻ ﻓﺮﻕ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﺴﺮﻳﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﺮﻳﺔ . . . ﺍﻟﻜﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻜﻢ .
” ﺍﻫـ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﺘﻘﻰ ﻑ 134
http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=764
Sumber dari : http://salafy.or.id/blog/2016/11/09/apabila-imam-sholat-salah-melafalkan-alfatihah/
tlgrm.me/hikmahfatwaislam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar