![]() |
[www.salafyciampeabogor.blogspot.com] |
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Adapun tentang perkara ini maka tidak ada perbedaan antara rumah
seorang muslim dengan rumah orang kafir, dari mulai bentuk rumah, warna rumah
atau bahan bangunan rumah, dalam hal ini ada persamaan, dan bukan merupakan tasyabbuh yang diharamkan karena hal ini
sudah bersifat umum. Namun jikalau bangunan rumahnya berbentuk seperti
candi-candi atau tempat peribadahan orang kafir dan musyrik maka dilarang,
karena termasuk dalam tasyabbuh terhadap perkara yang menjadi kekhususan
mereka. Dan bahaya tasyabbuh dengan mereka adalah akan membawa hati kita ke
arah tumbuhnya rasa cinta dengan mereka, sedangkan cinta macam ini
adalah sebuah cinta yang diharamkan dalam agama kita bahkan kalau cinta
tersebut disebabkan karena membanggakan agama mereka maka akan menjatuhkan ke
dalam salah satu pembatal-pembatal agama islam.
Yang menjadi pembeda antara rumah orang kafir dengan rumah
seorang muslim adalah keadaan yang ada di dalamnya, dari
adab-adab dan akhlak-akhlak islami yang mulia yang dimiliki keluarga muslim
dari agamanya, yang akan menjunjung derajat mereka dengannya di dunia ini dan
membedakan mereka dengan seekor binatang yang tidak memiliki peradaban, seperti
keadaan orang-orang kafir yang tidak memiliki peradaban dan akhlak-akhlak mulia
pada rumah-rumah mereka.
Walaupun
demikian kita tidak boleh bermudah-mudahan dengan terus meniru setiap apa yang
datang dari mereka, karena hal itu lambat laun akan menimbulkan rasa dalam hati
kita berupa kecintaan kepada mereka, dan akhirnya selalu terpaut dengan setiap
model yang datang dari mereka dan meninggalkan sedikit demi sedikit rasa
percaya diri kita sebagai seorang muslim. Sehingga kita harus membedakan diri
kita dengan mereka dalam setiap urusan mereka. Dalam hal ini rumah seorang muslim
harus menghindari segala perlengkapan yang sifatnya bermewah-mewahan,
yang mana hal itu menghilangkan karakteristik seorang muslim yang mendambakan
hidup mulia di surga Allah subhanahu wa ta’ala.
Disebutkan
dalam hadits bahwa kesederhanaan adalah bagian dari iman. Nabi shalallahu
alaihi wasallam bersabda:
أَلَا
تَسْمَعُونَ إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ، إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ
الْإِيمَانِ
“Dengarkanlah sesungguhnya kesederhanaan sebagian dari iman,
sesungguhnya kesederhanaan sebagian dari iman.“ (Shahih,
HR. Abu Dawud)
Bila seseorang senantiasa berusaha melengkapi peralatan yang
sifatnya bermewah-mewahan, maka hal ini menjadi cerminan akan kecintaannya
dengan kehidupan dunia, yang lalai dengan tujuannya, karena kemewahan itu akan
membuatnya lupa tujuan, timbullah saling merendahkan
antar sesama, sifat ujub, sombong dan angkuhpun mengikutinya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan keadaan manusia
yang lalai dengan tujuannya untuk apa dia diciptakan di dunia ini dengan firman-Nya:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ. حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ. كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ. ثُمَّ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ. كَلا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ. ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. janganlah begitu, kelak kamu akan
mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan
janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. janganlah
begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat
neraka Jahiim, dan Sesungguhnya
kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada
hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At
Takaatsur: 1-8)
Maka
sebagai seorang muslim kita harus selalu mengingat tujuan kita di dunia
ini, yaitu menjadikan dunia ini sebagai ladang amal bukan untuk hidup
selama-lamanya, supaya tidak terombang-ambing dengan keadaan apalagi sampai
menjadikan orang-orang kafir sebagai tauladan. Kita harus memiliki
karakteristik muslim dengan senantiasa mengikuti petunjuk agama kita, baik
dalam gaya hidup, sifat, dan yang lainnya dalam segala aspek kehidupan.
Sebuah Kenyataan atau Khurafat?
Terjadi
pada sebagian tempat, masyarakat memiliki keyakinan sebaiknya rumah tidak
menghadap ke timur atau ke barat, tapi menghadap ke selatan atau ke
utara. Mereka berkeyakinan, jika rumah itu menghadap ke timur atau barat akan
terjadi dengan apa yang diistilahkan dengan bahasa jawa “ora
becik, seret rejekine“ yaitu tidak bagus, susah rezekinya.
Apakah ini keyakinan yang benar atau sekedar khurafat? Lantas Bagaimana
tinjauan syari’at Islam terhadap hal tersebut?
Jawab :
Hal
tersebut bukan merupakan keyakinan yang benar, melainkan khurafat dan kerjaan
para dukun yang sedang menawarkan dagangan mereka untuk mencari uang.
Adapun
ditinjau dari kaca mata syariat, hal itu menyelisihi ajaran Islam yang
mengajarkan pemeluknya untuk meyakini bahwasanya hanya Allah subhanahu wa
ta’ala satu-satu Dzat yang mampu untuk memberi manfaat dan menolak mudharat
kepada hamba-hamba-Nya. Begitu pula masalah rezeki dan lain sebagainya.
Demikian
juga hal tersebut seakan-akan mereka mengetahui hal yang ghaib (tersembunyi),
karena keyakinan mereka bahwasanya posisi rumah yang demikian akan menyulitkan
datangnya rezeki atau yang lainnya, dimana tidak ada yang mengetahui hal yang
ghaib kecuali Allah k saja .
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُهُمْ وَلا يَضُرُّهُمْ وَكَانَ الْكَافِرُ عَلَى رَبِّهِ ظَهِيرًا
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak memberi
manfaat kepada mereka dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka. adalah
orang-orang kafir itu penolong (syaitan untuk berbuat durhaka) terhadap Rabbnya. (Al-Furqaan:
55)
Dan
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali-Imran:
128)
Nabi n
saja ditiadakan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib, lantas bagaimana
dengan yang lainnya?
Allah k
berfirman memerintahkan kepada nabi-Nya:
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ
“Katakanlah: “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.” (An-Naml:
65)
Sesajen dari manakah hal itu?
Kita
dapati pula adat sebagian penduduk setelah menaikkan kayu atas rumah atau
istilah Jawa (wuwungan), mereka memberi sesajen berupa seikat
gabah, setandan pisang, selembar kain (merah-putih) dan lain
sebagainya dengan anggapan hal tersebut akan memberi barokah sebuah rumah atau
sebagai penghormatan terhadap penunggu desa tersebut . Benarkah perbuatan ini
menurut syari’at Islam?
Jawab :
Tidak
benar, dan hal ini bukan dari tuntunan agama Islam, karena dalam agama
Islam tidak mengajarkan hal-hal tersebut. Kalau seandainya hal itu
benar, tentunya sudah dicontohkan oleh Nabi kita n, supaya dicontoh oleh
umatnya. Ini adalah budaya-budaya non muslim yang diserap oleh kaum muslimin
yang jauh dari agamanya, lalu mereka mengikutinya, dan kemudian oleh
sebagian para dukun dibumbui dengan perkara-perkara mistis untuk menakut-nakuti
seorang muslim yang imannya lemah, sehingga terjatuhlah mereka dalam
kesyirikan.
Dari
sisi lain, disebutkan dalam hadits bahwa makanan saudara kita dari bangsa jin
adalah tulang–belulang yang disebut padanya nama Allah l ketika menyembelih,
bukan seperti yang mereka sangka dan mereka lakukan itu dengan mempersembahkan
sesajen-sesajen kepada para syaitan. Karena ini adalah perbuatan syirik yang
diharamkan dalam agama Islam.
Dari
Abdullah bin Mas’ud a bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
قَدِمَ
وَفْدُ الْجِنِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا : يَا مُحَمَّدُ
انْهَ أُمَّتَكَ أَنْ يَسْتَنْجُوا بِعَظْمٍ أَوْ رَوْثَةٍ أَوْ حُمَمَةٍ ،
فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ لَنَا فِيهَا رِزْقًا. قَالَ فَنَهَى
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم
“Datang utusan dari jin kepada Rasulullah n lalu berkata: “Wahai
Muhammad! laranglah umatmu dari beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan
tulang dan kotoran hewan atau arang kayu (dan sesuatu yang telah terbakar dari
kayu atau tulang) karena Allah l menjadikannya rejeki (makanan) untuk kami”. Lalu berkata (Abdullah Ibnu Mas’ud): “Maka
Nabi n melarangnya.“ (Shahih, HR.
Abu Dawud, Baihaqi, dll)
عَنْ
عَلْقَمَةَ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ مَسْعُودٍ هَلْ صَحِبَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْجِنِّ مِنْكُمْ أَحَدٌ فَقَالَ مَا
صَحِبَهُ مِنَّا أَحَدٌ وَلَكِنَّا قَدْ فَقَدْنَاهُ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقُلْنَا
اغْتِيلَ اسْتُطِيرَ مَا فَعَلَ قَالَ فَبِتْنَا بِشَرِّ لَيْلَةٍ بَاتَ بِهَا
قَوْمٌ فَلَمَّا كَانَ فِي وَجْهِ الصُّبْحِ أَوْ قَالَ فِي السَّحَرِ إِذَا
نَحْنُ بِهِ يَجِيءُ مِنْ قِبَلِ حِرَاءَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَذَكَرُوا الَّذِي كَانُوا فِيهِ فَقَالَ إِنَّهُ أَتَانِي دَاعِي الْجِنِّ
فَأَتَيْتُهُمْ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِمْ قَالَ فَانْطَلَقَ بِنَا فَأَرَانِي
آثَارَهُمْ وَآثَارَ نِيرَانِهِمْ قَالَ قَالَ ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ
قَالَ عَامِرٌ فَسَأَلُوهُ لَيْلَتَئِذٍ الزَّادَ وَكَانُوا مِنْ جِنِّ
الْجَزِيرَةِ فَقَالَ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِي
أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا كَانَ عَلَيْهِ لَحْمًا وَكُلُّ بَعْرَةٍ أَوْ رَوْثَةٍ
عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ فَلَا تَسْتَنْجُوا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا زَادُ
إِخْوَانِكُمْ مِنْ الْجِنِّ
“Dari Alqomah a berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud a,
apakah ada dari kalian yang menemani Rasulullah n pada
malam jin (pembacaan Al-Qur’an kepada jin), dia menjawab: “Tidak menemaninya
seseorang dari kami, akan tetapi kami kehilangan beliau pada suatu
malam, kamipun berseru: “Beliau hilang dan lenyap, apa yang beliau
kerjakan?”. Maka kamipun tidur dengan sejelek-jelek malam, yang bermalam
padanya suatu kaum. Ketika pagi hari tiba atau pada waktu sahur, serentak
beliau mendatangi kami dari arah Gua Hira .
Kami berseru: “Ya Rasulullah..!“ Lalu menyebutkan kisah mereka.
Lantas beliau n menjawab:
“Mendatangiku da’i dari jin, lalu akupun menemui mereka dan menbacakan
untuk mereka Al-Qur’an.” Kemudian
beliau mengajak kami dan menunjukkan bekas-bekas mereka dan bekas api mereka.
Berkata Ibnu Abi Zaidah dari ‘Amir: “Mereka meminta Rasululloh n bekal
dan mereka para jin dari Jazirah.”
Lalu beliau n berkata:
“Untuk kalian setiap tulang yang disebut padanya nama Allah, (tulang tersebut)
akan penuh dengan daging apabila sudah ditangan kalian, dan setiap
kotoran hewan itu akan menjadi makanan untuk hewan kalian.
Maka janganlah kalian beristinja’ dengan keduanya karena
keduanya itu adalah bekal untuk saudara kalian dari para jin.” (HR.
Ahmad, Baihaqi, dll. Berkata
Asy-Syaikh Syuaib Al-Arnaud Al-Hindiy: ”Sanadnya shahih dengan syarat
Muslim, para perawinya adalah perawi shahihain, selain Dawud bin
Abi Hindi, perawinya Imam
Muslim.“)
Dengan demikian, masihkah kita sebagai seorang muslim
percaya dengan hal-hal tersebut yang tidak jelas asal muasalnya dan dari mana datangnya, melainkan
hanya ucapan: “Katanya dan katanya, atau
kata orang tua dulu.” Lebih tua orang tua mereka atau Nabi kita?
Bangunlah
dari tidur kalian wahai kaum muslimin, pelajari
agama kalian dan tinggalkanlah
budaya-budaya kesyirikan ini.
Letak rumah
1) Dianjurkan bagi
seorang muslim untuk mencari rumah atau membangun rumah yang dekat dengan masjid
Hal ini dimaksudkan agar memudahkan
baginya untuk menunaikan shalat berjama’ah
dan ibadah yang lainnya di masjid.
Walaupun
yang lebih utama adalah jauh dari masjid, karena setiap langkahnya akan
dihitung pahala. Tapi, karena mengingat lemahnya iman pada umat Islam dan
pengaruh lingkungan yang banyak sekali kemaksiatan pada zaman sekarang,
dekat dengan masjid lebih utama untuk menjaga diri dan keimanan seseorang.
Wallahu a’lam bisshawab.
2) Mencari rumah
atau membangun rumah yang jauh dari lingkungan maksiat atau tetangga yang buruk.
Lingkungan
yang dekat dengan kemaksiatan atau tetangga yang buruk memiliki pengaruh yang
luar biasa pada sebuah keluarga. Sebagaimana kisah yang panjang, yaitu
kisah perjalanan taubatnya seseorang yang telah membunuh 100 orang, padanya
disebutkan:
اِنْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا , فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ, فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ, فَإِنَّهَا أَرْضُ سُوْءٍ
“Pergilah engkau ke sebuah negeri seperti ini dan
seperti ini (yang disifatkan padanya negeri tersebut), karena sesungguhnya di
dalamnya terdapat kaum yang beribadah kepada Allah Ta’ala, beribadahlah bersama mereka
dan jangan kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negri yang jelek (banyak kemaksiatannya). (HR. Muttafaqun ‘alaih No : 2766 dari Abu
Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu)
3) Memperhatikan
hal-hal yang mendukung kesehatan pada sebuah rumah.
Di
antaranya dengan menjauhi membangun rumah di tempat-tempat yang kotor,
seperti dekat tempat-tempat pembuangan sampah, dekat genangan-genangan air,
dll. Karena kebersihan dan kesucian adalah sebagian dari iman, maka wajib
bagi seorang muslim untuk memperhatikan kebersihan dan kesucian tempat
tinggalnya, lingkungannya, serta dirinya, karena lingkungan juga menunjukkan
pribadi si penghuninya. Zhahir dari sesuatu adalah cerminan bagi
batinnya.
Dari
Abu Malik Al-Asy’ariy radhiallahu’anhu bahwasanya Nabi shalallahu
alaihi wasallam bersabda:
الطّهُورُ شَطْرُ الإِيمَان
“Kesucian adalah sebagian dari iman.“ (HR.
Muslim)
Sebagaimana
makanan, lingkunganpun bisa mempengaruhi tabi’at manusia, dimana disyari’atkan
untuk tidak makan daging hewan yang kebiasaannya memakan kotoran sebelum
dikurung/dikarantina tiga hari atau lebih, atau kita dilarang untuk memakan
hewan yang bertaring karena ditakutkan tabi’at hewan tersebut akan ditiru oleh
pemakannya, karena daging yang tumbuh pada manusia itu dari binatang tadi.
Nabi shalallahu
alaihi wasallam bersabda:
وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَصْحَابِ الْإِبِلِ وَالسَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ
“Keangkuhan dan kesombongan ada pada penggembala onta,
ketenangan dan kewibawaan ada pada penggembala kambing“. (HR.
Muslim)
Dalam
hadits ini memberikan faidah bahwasanya kebersamaan akan saling mempengaruhi
sebagaimana penggembala onta yang setiap hari bersamanya, jadilah dia seorang
yang sombong dan keras kepala dan tinggi hati seperti keadaan onta yang mencari
makan pada ujung-ujung pohon. Begitu pula keadaan penggembala kambing,
ketenangan yang dimiliki kambing mempengaruhi penggembalanya tanpa perlu berteriak-teriak,
tidak seperti halnya penggembala onta.
Contoh
hadits lainnya adalah sebagaimana sabda nabi shalallahu alaihi wasallam
yang melarang duduk di atas kulit macam agar tidak tertular memiliki tabiat
macan yang buas. Disebutkan dalam sebuah hadits:
نهى عن
الركوب على جلود النمار
“Beliau shalallahu alaihi wasallam melarang untuk
duduk di atas kulit macan“. (Shahih.
Lihat Jami’ Ash-shahih no. 6881, Asy-Syaikh Al-Bani)
Perkara
lainnya yang mendukung kesehatan pada sebuah rumah adalah memperhatikan fisik
dari bangunan rumah, di antaranya menjadikan rumahnya segar dengan memasang
jendela, lubang-lubang ventilasi angin, serta tempat masuknya sinar matahari ke
dalam rumah untuk kesegaran dan sirkulasi udara, dll.
( Di
salin dari buku Baitiy Jannatiy (Rumahku Surgaku) halaman 30-39, Penulis
al-Ustadz Abul Hasan al-Wonogiriy )
Perhatian : Dilarang mengubah artikel ini ke dalam file lain berupa
e-book, chm, pdf ataupun file yang lainnya, serta di larang mengprint artikel
ini tanpa seizin dari Maktabah Almuwahhidiin. Adapun untuk di copy paste ke
blog ataupun website dipersilahkan dengan tetap mencantumkan sumbernya tanpa
menambah ataupun mengurangi isi artikel.
Bagi pembaca yang ingin ta’awun (bekerjasama) untuk mencetak
artikel di website ini menjadi sebuah buku, silahkan menghubungi ke nomor 0857
1552 1845
Sumber : http://www.almuwahhidiin.com/susunan-rumah-dan-tata-letaknya-menurut-syariat-islam.html#comment-10178
Tidak ada komentar:
Posting Komentar