>>Meneladani Akhlak Nabi


(ditulis oleh: al-Ustadz Muhammad Rijal Isnain, Lc.)
Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).”
Pada sebagian riwayat:
لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Islam adalah agama yang penuh keindahan. Ia dibangun di atas akidah tauhid yang bersih dari kesyirikan. Ia membebaskan manusia dari penghambaan kepada makhluk, hingga cinta dan peribadatan hanya untuk Allah Rabbul ‘Alamin. Allah l berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162—163)
Ibadahnya mudah, tidak membebani. Dengannya jiwa menjadi suci dan dada menjadi lapang. Muamalahnya adil dan jauh dari kezaliman, mewujudkan suasana bantu-membantu di atas takwa dan kebaikan. Demikian pula akhlak yang dibawa oleh Islam adalah akhlak yang agung dan menakjubkan.
Tentang keindahan Islam ini, asy-Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di t (wafat tahun 1376 H) mengatakan, “Islam memerintahkan segala amalan kebaikan, akhlak-akhlak mulia, dan seluruh kemaslahatan manusia. Islam mengajarkan keadilan, keutamaan, kasih sayang dan semua kebajikan. Sebaliknya, Islam melarang kezaliman, penyimpangan, dan akhlak-akhlak yang tercela. Tidak ada satu sisi kebaikan pun yang dibawa oleh para nabi dan rasul melainkan syariat Rasulullah n menetapkannya. Demikian pula, tidak ada satu maslahat pun baik duniawi maupun ukhrawi yang diseru oleh syariat nabi-nabi terdahulu melainkan syariat Muhammad n juga menyeru kepadanya. Demikian pula segala kerusakan, syariat Islam melarangnya dan memerintahkan agar dijauhi.” (ad-Durrah al-Mukhtasharah fi Mahasini ad-Dinil Islami)
Keindahan Islam demikian terang. Keagungannya tidak pernah sirna dan padam hingga akhir zaman. Namun, seperti disabdakan Rasulullah n, Islam akan menjadi asing sebagaimana dahulu datang pertama kali. Keindahan itu seolah-olah pudar, tidak lagi dikenal oleh kebanyakan manusia. Sesungguhnya banyak sebab yang melatarbelakangi pudarnya keindahan tersebut pada benak kebanyakan manusia, kecuali sedikit dari orang yang dirahmati oleh Allah l. Ironinya, di antara sebab-sebab itu justru muncul dari tubuh kaum muslimin.
Sebagian firqah (kelompok sempalan) dalam Islam bersikap ekstrem (ghuluw) dalam berdakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar. Mereka tidak berlaku hikmah dalam mengingkari kemungkaran, cenderung kepada kekerasan dan perusakan. Bahkan, sebagian mereka sangat mudah memberi vonis kekafiran, seperti yang muncul dari orang-orang yang berpaham Khawarij. Bukan kemungkaran yang hilang, melainkan yang muncul adalah kemungkaran yang lebih besar. Lihatlah misalnya sejarah Khawarij pada masa Utsman bin ‘Affan dan Ali c.1 Bukan kemungkaran yang mereka ingkari, namun kehormatan manusia terbaik saat itu dan persatuan kaum muslimin yang mereka nodai.
Di sisi lain, ada firqah yang meninggalkan penghidupan dunia hingga anak istri pun tidak terurus. Anehnya, mereka berdalih dengan tawakal. Hal ini seperti yang terjadi dalam firqah-firqah yang dibangun di atas akidah Sufi. Mereka meninggalkan ilmu Al-Kitab dan As-Sunnah, amar ma’ruf nahi mungkar, tidak peduli kesyirikan merajalela dengan alasan dakwah tauhid memecah-belah umat. Mereka pun tenggelam dalam kebid’ahan bahkan kesyirikan.
Lalu di manakah Islam yang sesuai dengan kehendak Allah l dan Rasul-Nya? Orang yang tidak mengerti akan bimbang menghadapi kenyataan yang ada, meskipun menara al-haq telah dipancangkan.
Keadaan semakin diperparah oleh propaganda musuh-musuh Islam yang terus berusaha merusak citra Islam dengan berbagai caci-maki dan tuduhan. Bahkan, mereka berusaha mengelabui manusia dengan memasukkan pemikiran sesat melalui institusi-institusi berlabel Islam. Tersebarlah imej bahwa Islam adalah agama yang tidak berakhlak, dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah yang keras dan tidak memiliki hikmah, atau tuduhan-tuduhan senada yang disandangkan kepada agama yang suci dan agung ini.
Kajian hadits berikut kami harapkan bermanfaat bagi kaum muslimin sehingga mereka bisa melihat kembali sebagian keindahan Islam yang dibawa oleh Rasulullah n, kesempurnaannya dan ketinggian akhlak yang beliau n ajarkan. Semoga Allah l membimbing kita untuk kembali pada akhlak Nabi n.
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/381), Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat (1/192), al-Bazzar dalam al-Musnad (no. 2740—Kasyful Astar), ath-Thahawi dalam Syarah Musykilul Atsar (no. 4432), al-Baihaqi dalam as-Sunan (10/191—192) dan Syu’abul Iman (no. 7977 dan 7978), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 273) dan at-Tarikhul Kabir (7/188), al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/613), al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihab (no. 1165), Ibnu Abi ad-Dunya dalam Makarimul Akhlaq (no. 13), serta Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid (24/333—334).
Semua meriwayatkan hadits ini melalui jalan Muhammad bin ‘Ajlan, dari al-Qa’qa’ bin Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah z.
Sebagian meriwayatkan dengan lafadz “shalihal akhlaq” sedangkan yang lainnya dengan lafadz “makarimal akhlaq.”
Hadits di atas adalah sahih, walhamdulillah. Perawi-perawinya tsiqah. Hadits ini juga memiliki syahid (penguat) dari hadits Mu’adz bin Jabal z dalam riwayat al-Bazzar (no. 1973) dan ath-Thabarani (20/120). Demikian juga syahid dari hadits Jabir bin Abdillah z yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 7979).
Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi mensahihkan hadits ini dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat al-Mustadrak (2/613).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (1/112) berkata, “Sanad hadits ini hasan … Ibnu Abdil Barr berkata dalam at-Tamhid (24/333—334) bahwa hadits ini shahih muttashil (bersambung sanadnya) hingga Rasul n, melalui jalan-jalan yang sahih dari Abu Hurairah z dan lainnya.”
Fiqih Hadits
Al-Munawi t berkata, “Sabda Rasulullah n ‘innama bu’itstu’ maknanya adalah aku dibangkitkan—yakni diutus menjadi rasul—tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik), karena sebagian riwayat menyebutkan ‘untuk menyempurnakan akhlak yang karimah (mulia)’ (yakni aku diutus untuk menyempurnakannya) yang sebelumnya kurang, dan aku (diutus untuk) mengumpulkan yang sebelumnya tercerai-berai ….” (Lihat Faidhul Qadir, 2/572))
Memaknai hadits Abu Hurairah z di atas, Ibnu Abdil Barr t mengatakan bahwa kebaikan, agama, keutamaan, muru’ah (kemuliaan), ihsan (perbuatan baik), dan keadilan, semuanya tercakup dalam makna hadits ini. Dengan semua kebaikan inilah Rasulullah n diutus untuk menyempurnakannya. (Lihat at-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, 24/332)
Dengan diutusnya Nabi n, Allah l menyempurnakan agama sebagaimana dalam firman-Nya:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Ayat ini merupakan dalil bahwa tidak ada satu kebaikan pun—baik amalan lahir maupun batin, akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak—melainkan telah diterangkan oleh Rasulullah n dengan sempurna. Demikian pula, tidak ada satu kejelekan pun melainkan Rasulullah n telah memperingatkan umat darinya.
Di antara ayat yang juga menunjukkan kesempurnaan Islam—sebagai agama yang mengajarkan semua kemuliaan dan akhlak yang baik, serta melarang segala kemungkaran dan akhlak yang buruk—adalah firman Allah l:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl: 90)
Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di t berkata, “Keadilan yang diperintahkan oleh Allah l dalam ayat ini mencakup adil dalam (memenuhi) hak Allah l dan adil dalam hak hamba-hamba-Nya. Adil adalah memenuhi perintah-perintah-Nya yang terkait dengan harta, badan, atau keduanya, baik terkait dengan hak Allah l maupun hak hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu, seorang pemimpin—apakah ia imam (khalifah), qadhi (hakim), atau wakil keduanya—wajib bergaul dengan manusia secara adil yang sempurna dengan menunaikan hak-hak orang yang di bawah tanggung jawabnya … Termasuk keadilan (yang diperintahkan) adalah adil dalam bermuamalah. Maka dari itu, seseorang wajib berlaku adil dalam muamalah jual-beli atau muamalah lainnya, dengan menunaikan semua kewajiban, tidak menahan hak-hak manusia, tidak menipu mereka, tidak mengelabui atau menzaliminya … Jadi, ayat ini mengumpulkan semua perintah dan larangan. Tidak ada satu masalah pun kecuali masuk dalam ayat ini.” (Taisir al-Karimir Rahman secara ringkas, 4/332—333)
Akhlak Rasulullah n
Sebagai Rasul yang diutus untuk menyempurnakan akhlak dan semua kebaikan, beliau n telah memberikan teladan kepada umatnya secara sempurna melalui sabda dan amal perbuatan. Seluruh sisi kehidupan dan ucapan beliau sesungguhnya merupakan teladan akan kesempurnaan akhlak dan kemuliaan amalan. Ketinggian akhlak itu tecermin dalam hadits Aisyah x:
كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak Rasulullah n adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Bahkan, Allah l memuji akhlak beliau dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Membicarakan akhlak Rasul n, ibarat seseorang yang menyeberang lautan tak bertepi, begitu luasnya. Meskipun demikian, marilah sejenak kita menyimak beberapa kisah dalam kehidupan Rasul n bersama umatnya yang dipenuhi keindahan akhlak dan keagungan budi pekerti.
Saudaraku, semoga Allah l merahmati Anda, beliau n adalah sosok yang sangat dekat dengan umatnya, apapun keadaan mereka. Kaya, miskin, bangsawan, atau budak. Beliau bergaul dengan umat dengan penuh kelembutan dan akhlak mulia.
Allah l menyanjung baiknya akhlak Rasul n ini dalam firman-Nya:
“Maka disebabkan oleh rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
Zahir, demikian nama seorang Arab badui. Meski memiliki bentuk dan wajah yang jelek namun Rasul n mencintainya. Zahir biasa datang ke Madinah mengunjungi Rasul n membawa hadiah dari desanya. Rasul n pun membalasnya dengan menyiapkan sesuatu sebelum Zahir pulang ke desa. Rasul n bersabda, “Zahir adalah badui kita, dan kita adalah orang kotanya dia (Zahir).”
Suatu hari Zahir berada di pasar kota Madinah menjual barang dagangan. Tanpa sepengetahuannya, Rasulullah n datang memeluknya dari belakang. Berkatalah Zahir, “Siapa ini? Lepaskan aku!”
Ketika Zahir menoleh, didapatinya ternyata Nabi n yang memeluknya. Ia pun membiarkan tubuhnya tetap bersatu dengan tubuh Rasul n.
Subhanallah, betapa indahnya pemandangan ini. Duhai, seandainya para bangsawan dan orang-orang yang merasa memiliki kemuliaan itu meneladani akhlak Rasul n dalam bergaul dengan saudara-saudaranya seiman meskipun miskin dan papa.
Tiba-tiba Rasul n bergurau dengan mengatakan, “Siapa yang mau membeli hamba ini (yakni Zahir)?”
Zahir segera menimpali, “Ya Rasulullah, berarti aku adalah orang yang tidak berharga?” Rasul n pun berkata, “Tidak demikian, sungguh engkau mahal di sisi Allah.” (Lihat kisah ini dalam asy-Syama’il al-Muhammadiyah karya at-Tirmidzi, disahihkan oleh al-Albani t dalam Mukhtashar asy-Syama’il no. 204)
Beliau n bukan orang yang berperilaku kasar atau berlisan tajam menyakitkan. Beliau n adalah sosok yang sangat lembut dan penuh kasih sayang. Terkadang beliau n bersenda gurau dengan para sahabatnya hingga mereka berkata, “Ya Rasulullah, engkau bersenda gurau dengan kami?” Beliau bersabda, “Ya, (aku bersenda gurau dengan kalian). Hanya saja, aku tidak pernah berkata selain yang benar.” (HR. at-Tirmidzi dalam asy-Syama’il no. 202 dari hadits Abu Hurairah z, disahihkan oleh al-Albani)
Pernah seorang sahabat datang kepada Rasul n meminta hewan tunggangan. Beliau n bersabda, “Kalau begitu sungguh aku akan naikkan engkau pada seekor anak unta!”
Rasulullah n bermaksud memberikan unta yang kuat, tetapi beliau n bahasakan dengan “anak unta” hingga sahabat ini menyangka bahwa “anak unta” yang beliau maksud adalah unta kecil yang tidak memiliki kekuatan. Demikianlah Rasul n bergurau.
Laki-laki ini pun berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta itu?”
Rasulullah n bersabda, “Bukankah semua unta (perkasa) adalah anak dari seekor unta betina?” (HR. al-Bukhari)
Subhanallah. Lihatlah gurauan Rasul n yang menyejukkan dan jauh dari kedustaan. Bukankah sepantasnya kita menyudahi banyak gurauan kita yang dipenuhi kedustaan dan cerita-cerita karangan? Ya Allah, berikan taufik kepada kami untuk mengikuti jalan Nabi-Mu.
Saudaraku, setelah kita melihat beberapa sisi kehidupan Rasulullah n yang diliputi kemuliaan akhlak, sejenak kita simak ucapan-ucapan beliau n tentang akhlakul karimah, yang Allah l utus beliau untuk menyempurnakannya.
Sabda Rasul n tentang Akhlak
Hadits-hadits Nabi n demikian beragam berbicara tentang akhlak. Terkadang berisi perintah dan anjuran untuk berhias dengan akhlak yang terpuji dalam bergaul dengan manusia. Ada kalanya beliau n menyebut besarnya pahala akhlak mulia dan beratnya pahala akhlak dalam timbangan. Pada kesempatan yang lain, beliau n memperingatkan manusia dari akhlak yang buruk dan tercela.
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash z meriwayatkan bahwa Rasul n pernah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا
“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. al-Bukhari, 10/378 dan Muslim no. 2321)
Dalam hadits lain, Rasul n berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari dan Mu’adz bin Jabal untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik dalam sabda beliau:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada. Iringilah kesalahanmu dengan kebaikan, niscaya ia dapat menghapusnya. Dan pergaulilah semua manusia dengan akhlak (budi pekerti) yang baik.”2 (HR. at-Tirmidzi no. 1987, beliau mengatakan, “Hadits ini hasan.” Dalam naskah lainnya dikatakan bahwa hadits ini hasan sahih.
Rasul n mengabarkan pula bahwa akhlak yang baik mampu mengejar amalan ahli ibadah. Dalam sebuah hadits Aisyah Ummul Mukminin berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik akan mencapai derajat orang yang selalu shalat dan berpuasa.” (HR. Abu Dawud no. 4798, disahihkan oleh al-Albani)
Ummu ad-Darda’ x meriwayatkan dari suaminya, Abu ad-Darda’ z, Rasulullah n pernah bersabda:
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam al-mizan (timbangan) daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud no. 4799, disahihkan oleh al-Albani)
Akhlak yang baik adalah sebab seseorang memperoleh derajat yang tinggi di jannah Allah k. Sebaliknya, akhlak yang buruk adalah sebab seseorang terhalangi dari kenikmatan jannah.
Dari Abu Umamah z, dia berkata, Rasulullah n bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسْطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tepi jannah bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berhak. Aku juga memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tengah jannah bagi yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam senda gurau. Aku juga menjanjikan sebuah rumah di jannah tertinggi bagi yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)
Dari al-Haritsah bin Wahb z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةْ الَجوَّاظُ، وَلَا الْجَعْظَرِيُّ
“Tidak akan masuk jannah orang yang kasar dan kaku.” (HR. at-Tirmidzi)
Alhasil, sabda-sabda Nabi n sangat banyak dan beragam dalam mengungkapkan kedudukan akhlakul karimah dan kemuliaannya. Karena pentingnya akhlak, ulama ahlul hadits berusaha mengumpulkan hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab mereka. Al-Bukhari menulis al-Adabul Mufrad, Abu Dawud membuat sebuah kitab tentang adab dalam as-Sunan, at-Tirmidzi membuat kitab al-Birr was-Shilah dalam Sunan-nya. Bahkan, at-Tirmidzi menulis sebuah kitab khusus tentang perikehidupan Rasul n dari segala sisi, yang beliau beri judul asy-Syamail al-Muhammadiyah. Demikian pula yang dilakukan oleh ulama-ulama ahlul hadits lainnya dalam kitab-kitab mereka.
Memohon Akhlak yang Baik dan Berlindung dari Akhlak yang Buruk
Doa adalah sebesar-besar pintu kebaikan karena Allah l telah berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Itulah pintu kebaikan yang seharusnya seluruh hamba mengetuknya.
Rasulullah n memberikan teladan kepada umatnya agar berdoa memohon akhlak yang terpuji dan berlindung dari akhlak yang tercela. Dalam sebuah hadits, Ibnu Mas’ud z berkata, Rasulullah n berdoa:
اللَّهُمَّ حَسَّنْتَ خَلْقِي فَحَسِّنْ خُلُقِي
“Ya Allah, sebagaimana Engkau baguskan badanku, perbaikilah akhlakku.” (HR. Ahmad, 1/403, Ibnu Hibban no. 959)
Doa ini bebas, bisa dibaca kapan saja seorang menghendaki dan tidak terikat dengan tempat atau keadaan. Doa ini bukan doa khusus saat bercermin. Memang benar, ada beberapa jalan dari hadits ini yang menjelaskan bahwa doa tersebut dibaca saat bercermin namun jalan-jalan itu sangat lemah.
Asy-Syaikh al-Albani t berkata setelah menyebutkan riwayat-riwayat hadits yang mengkhususkan doa tersebut saat bercermin, “Nyata sudah dari penjelasan yang telah lalu bahwa jalan-jalan ini semuanya lemah. Dan tidak mungkin dikatakan bahwa jalan-jalan itu saling menguatkan karena kelemahannya yang sangat. Oleh karena itu, tidak benar berdalil dengan hadits ini dalam hal disyariatkannya doa ini saat bercermin ….” (Irwa’ul Ghalil, 1/113—115)
Adapun isti’adzah (permohonan perlindungan) yang diajarkan oleh Rasul n disebutkan dalam riwayat berikut. Dari Ziyad bin ‘Ilaqah, dari pamannya3, ia berkata, “Adalah Rasulullah n selalu membaca doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak-akhlak yang mungkar, dari amalan-amalan yang mungkar, dan dari hawa nafsu yang menyimpang.” (HR. at-Tirmidzi no. 3591, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 3/473)
Hadits ini berisi permohonan perlindungan kepada Allah k dari tiga kemungkaran.
1. Berlindung dari akhlak yang mungkar, karena dari akhlak yang mungkar inilah kejelekan-kejelekan menimpa seseorang.
2. Berlindung dari amalan-amalan yang mungkar, yaitu dosa-dosa dan kemaksiatan.
3. Berlindung dari hawa nafsu yang mungkar.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kata “akhlak” dalam hadits ini artinya adalah amalan-amalan batin sedangkan “al-a’mal” adalah amalan-amalan lahir. Jadi, doa di atas isinya adalah meminta perlindungan kepada Allah l dari dosa-dosa yang lahir dan batin. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 10/50)
Kembali kepada Akhlak Nabi n
Orang-orang yang jujur dalam mencintai Allah l akan meneladani Rasulullah n dalam hal petunjuk dan akhlaknya. Allah l berfirman:
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita dan mendorong diri kita untuk berusaha mencari kecintaan Allah l dengan kembali pada akhlak Nabi n. Saya ingin mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Muqaddimah Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah, “Aku berharap dengan tulus kepada Allah l semoga kitab ini4 menjadi bimbingan bagi kaum muslimin untuk mengenal akhlak mulia pada diri Rasul n dan sifat-sifat agung yang beliau berhias dengannya, sehingga membawa mereka untuk mengikuti petunjuknya, berakhlak dengan akhlaknya, dan memetik secercah cahayanya.
Terlebih di zaman yang kaum muslimin hampir-hampir lupa dengan firman Allah l:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Apalagi di tengah-tengah muslimin ada dai yang merasa tidak butuh mengikuti Rasulullah n dalam banyak petunjuk dan adabnya, seperti sifat tawadhu dalam berpakaian, makan, minum, tidur, shalat, dan ibadah-ibadah beliau n. Bahkan, ada di antara mereka yang mengajari pengikutnya untuk merasa tidak membutuhkan beberapa petunjuk Rasul n, seperti ajaran Rasul n untuk makan dan minum dengan duduk, serta ajaran beliau untuk mengangkat kain di atas kedua mata kaki.
Mereka menganggap semua itu sebagai bentuk memaksakan diri dan sesuatu yang membuat lari manusia dari Islam. Engkau pun akan mendapati mereka tidak peduli menyeret bajunya menyentuh tanah dengan dalih bahwa ia melakukannya bukan karena sombong! Bahkan, ia berdalil dengan sabda Rasul n kepada Abu Bakr ash-Shiddiq:
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ خُيَلَاءً
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”
Mereka lalai akan perbedaan yang sangat jauh antara Abu Bakr z dan diri mereka. Abu Bakr z tidak menyengaja menjulurkan sebagian bajunya di bawah mata kaki sebagaimana sangat tampak pada ucapan beliau:
إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي
“Sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot (yakni tidak sengaja terjulur di bawah mata kaki, –pen.).”
Adapun mereka menyengaja memanjangkan dan menyeret baju mereka. Mereka juga bodoh atau pura-pura bodoh terhadap sifat (bentuk) baju Nabi n (yang tentu kita yakini sebagai sifat baju yang paling baik dan diridhai Allah l, –pen.) dalam sabda beliau:
هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَلَا حَقَّ لِلْإزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
“Di sinilah (pertengahan betis inilah –al-Albani) batas kain. Jika engkau tidak bisa maka di bawahnya. Jika tidak maka tidak ada hak sedikit pun bagi dua mata kaki (untuk ditutup kain).”
Dalam hadits lain beliau n bersabda:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فِي النَّارِ
“Apa yang di bawah dua mata kaki dari kain maka berada di neraka.”
Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar c, beliau berkata, “Suatu saat aku berpapasan dengan Rasul n, sementara kain yang kupakai menurun. Beliau bersabda, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kainmu!’ Aku pun menaikkannya. Beliau kembali bersabda, ‘Tambah lagi!’ Aku pun menambahnya. Semenjak itu, aku terus menjaga kainku (di batas yang ditentukan oleh Rasulullah n). Sebagian orang bertanya, “Wahai Ibnu Umar, sampai batas mana (Rasul memerintahkanmu mengangkat kain)?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan betis.”
Aku (al-Albani, -pen.) mengatakan, “Orang yang seperti Ibnu Umar saja—yang termasuk pemuka sahabat yang mulia dan yang paling bertakwa—Nabi n tidak mendiamkan dengan kainnya yang melorot. Beliau n memerintahkan Ibnu Umar z untuk mengangkatnya. Bukankah ini menunjukkan bahwa adab berpakaian di atas mata kaki tidak (hanya) dikaitkan dengan kesombongan?
(Jika Ibnu Umar z yang jauh dari kesombongan saja ditegur oleh Rasul), sungguh seandainya Rasulullah n melihat sebagian dai itu menyeret-nyeret kainnya pasti beliau mengingkarinya. Mereka tidak akan mampu mengelak dengan ucapan, “Kami tidak menyeretnya karena sombong!” (Tidak mungkin mereka mengelak,) karena Ibnu Umar yang zuhud lebih jujur daripada mereka mengatakan, “Aku tidak melakukannya karena sombong.” Meskipun (Ibnu Umar tidak melakukannya karena sombong), Rasul n tetap mengingkarinya. Ibnu Umar juga bersegera memenuhi seruan Rasul n. Masih adakah hari ini orang yang menerima seruan Rasul n?
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” (Qaf: 37)(Muqaddimah Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah, hlm. 10—11)
Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...