(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Faruq Ayip Syafrudin)
Sebuah ‘agama’ baru telah lahir di
Indonesia. Nabinya orang Indonesia, kitabnya juga berbahasa Indonesia.
Yang bikin bingung, namanya berbau Islam namun ajarannya Kristen. Sebuah
upaya pemurtadan?
Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah sebuah
gerakan yang memiliki pemahaman bahwa kini telah ada orang yang diutus
sebagai rasul Allah. Orang yang dimaksud, menurut kelompok ini, adalah
Al-Masih Al-Maw’ud. Dia dilantik menjadi rasul Allah pada 23 Juli 2006
di Gunung Bunder (Bogor, Jawa Barat). Itu terjadi setelah sebelumnya
Al-Masih Al-Maw’ud bertahannuts dan pada malam ketigapuluh tujuh, tiga
hari menjelang hari keempatpuluh bertahannuts, dirinya bermimpi dilantik
dan diangkat menjadi rasul Allah disaksikan para sahabatnya. Katanya,
“Aku Al-Masih Al-Maw’ud menjadi syahid Allah bagi kalian, orang-orang
yang mengimaniku… Selanjutnya bagi kaum mukmin yang mengimaniku agar
menjadi syahid tentang kerasulanku kepada seluruh umat manusia di bumi
Allah ini, seperti halnya murid-murid Yesus, tatkalah Yesus berbicara
kepada murid-muridnya maka murid-muridnya itu segera melaksanakan
perintahnya.” (Ruhul Qudus yang turun kepada Al-Masih Al-Maw’ud, edisi
I, Februari 2007, oleh Michael Muhdats, hal. 178)
Selain itu, kelompok ini memiliki
pemahaman tidak ada ketentuan untuk menunaikan shalat wajib lima waktu.
Orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dinyatakan sebagai
orang-orang musyrik. Mereka menolak hadits-hadits shahih yang berasal
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencukupkan diri hanya
pada Al-Qur`an. Itupun dengan penafsiran (pada ayat-ayat Al-Qur`an
tersebut) berdasar ra`yu (akal) mereka, terutama akal Al-Masih
Al-Maw’ud. Tanpa kaidah-kaidah penafsiran yang baku sebagaimana dipahami
para ulama dari kalangan salafush shalih. Mereka memiliki lafadz
syahadatain tidak seperti yang diikrarkan dan diyakini kaum muslimin.
Lafadznya berbunyi: “Aku bersaksi bahwa tiada yang hak untuk diibadahi
kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa anda Al-Masih Al-Maw’ud adalah
utusan Allah.” (idem, hal. 191)
Bila seseorang melakukan ibadah tanpa
mengikuti rasul setelah Muhammad, yaitu Al-Masih Al-Maw’ud, maka tidak
akan diterima ibadahnya. (idem, hal. 175)
Bagi mereka, Islam yang sekarang ini
sudah tidak sempurna. Mereka berkeyakinan bahwa ajaran yang dibawa
Moses, Yesus, dan Ahmad adalah sama karena memiliki sumber ajaran yang
sama pula (dari Allah). Bahkan kata mereka, di dalam ajaran Islam ada
konsep trinitas sebagaimana dalam ajaran Kristen. Mereka tidak
segan-segan untuk menyatakan: “Sebetulnya ajaran Yesus sama dengan
ajaran Islam.” Para anggota kelompoknya pun diberi atribut nama yang
berbau Kristen, seperti asal namanya Muhammad, lalu ditambahi dengan
nama Kristen menjadi Muhammad Joseph.
Dalam sejarah perkembangan Islam, adanya
orang yang mengaku dirinya sebagai utusan Allah Subhanahuwata’ala atau
nabi, tidak satu atau dua kali saja. Tidak pula terjadi pada masa kini
saja. Semenjak para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih
hidup, orang yang mengaku sebagai nabi juga ada. Sebut misalnya,
Al-Aswad Al-‘Ansi di Yaman dan Musailamah Al-Kadzdzab di Yamamah. Sudah
sepantasnya bila Ibnu Katsir t dalam Tasfir-nya menegaskan bahwa
siapapun yang mengaku sebagai seorang nabi yang diutus Allah
Subhanahuwata’ala kepada umat ini, layak baginya untuk disebut pendusta.
Kata Ibnu Katsir t, “Allah tabaraka wa ta’ala sungguh telah mengabarkan
dalam Kitab-Nya dan Rasul-Nya n dalam As-Sunnah Al-Mutawatirah
tentangnya, (bahwa) ‘Sesungguhnya tidak ada nabi setelah Muhammad n’.
Sungguh kalian telah mengetahui pula, bahwa setiap yang mengaku
berkedudukan (sebagai nabi) ini setelah Muhammad n, maka dia itu
pendusta, pembohong, dajjal, sesat menyesatkan.” (Tafsir Al-Qur`anil
‘Azhim, Ibnu Katsir t, 3/599)
Saat memberi tafsir terhadap ayat:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari t mengungkapkan bahwa khatamun nabiyyin (penutup para nabi)
adalah yang menutup nubuwah (kenabian). Maka telah ditentukan tabiat
atas kenabian bahwa tidak dibuka bagi seorang pun (menjadi seorang nabi,
pen.) setelah kenabian Muhammad n hingga hari kiamat. (Tafsir
Ath-Thabari, 19/121)
Sedangkan menurut Ibnul ‘Arabi t dalam
Ahkamul Qur`an (3/473) dan Al-Imam Asy-Syaukani t dalam Fathul Qadir
(4/376), bahwa khatamun nabiyyin adalah akhir mereka (para nabi, pen.).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin t, saat menjelaskan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
t tentang i’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah yang beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
kebangkitan setelah kematian dan qadar-Nya yang baik dan yang buruk,
menyatakan bahwa akhir mereka (para rasul, pen) adalah Muhammad n,
berdasarkan firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Dan akan tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (Al-Ahzab: 40)
“Dan akan tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (Al-Ahzab: 40)
tidak dikatakan ‘wa khatama al-mursalin’
(penutup para rasul, pen.) karena sesungguhnya apabila (disebutkan,
pen.) ‘khatama an-nubuwah’ (penutup kenabian) tentu ‘khatama ar-risalah’
(penutup kerasulan) lebih utama. Jika dipermasalahkan, bagaimana dengan
Isa q yang akan turun di akhir zaman, bukankah dia seorang rasul? Maka
jawabnya, Isa q tidak akan turun membawa syariat baru. Dia akan berhukum
dengan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . (Syarh Al-‘Aqidah
Al-Wasithiyyah, hal. 42-43)
Juga disebutkan oleh Ibnu Katsir t bahwa firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
dan firman-Nya:
“Allah Subhanahuwata’alaebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An’am: 124)
Juga disebutkan oleh Ibnu Katsir t bahwa firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
dan firman-Nya:
“Allah Subhanahuwata’alaebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An’am: 124)
Ini merupakan ayat yang menjadi nash
bahwa sesungguhnya tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad n. Jika
tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad n, maka tidak ada lagi rasul
setelah beliau n merupakan sesuatu hal yang lebih utama dan pantas.
Sebab, kedudukan kerasulan (ar-risalah) lebih khusus daripada kedudukan
kenabian (an-nubuwwah). Maka setiap rasul adalah nabi, namun tidak
setiap nabi adalah rasul. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad dari Ubai bin
Ka’b z, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
مَثَلِي
فِي النَّبِيِّيْنَ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا فَأَحْسَنَهَا
وَأَكْمَلَهَا وَتَرَكَ فِيْهَا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ لَمْ يَضَعْهَا فَجَعَلَ
النَّاسُ يَطُوفُونَ بِالْبُنْيَانِ وَيَعْجِوُنَ مِنْهُ وَيَقُولُونَ:
لَوْ تَمَّ مَوْضِعَ هَذِهِ اللَّبِنَةِ! فَأَنَا فِي النَّبِيِّيْنَ
مَوْضِعُ تِلْكَ اللَّبِنَةِ
“Perumpamaan aku di kalangan para nabi
seperti seorang yang membangun rumah. Maka dia membaguskan dan
menyempurnakan semaksimal mungkin. (Namun) ternyata ada satu batu bata
yang tertinggal, belum terpasang pada bangunan tersebut. Maka
orang-orang pun mengelilingi bangunan tersebut dan merasakan keheranan
melihat hal itu. Mereka berucap, ‘Andai satu batu bata itu terpasang,
sempurnalah (bangunan itu).’ Maka akulah, di kalangan para nabi, yang
menjadi sebuah batu bata yang dipasangkan tersebut.” (HR. At-Tirmidzi,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t) [Lihat
Mukhtashar Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim Al-Musamma ‘Umdatut Tafsir ‘an
Al-Hafizh Ibnu Katsir, Ahmad Muhammad Syakir t, hal. 55)
Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala
telah memilih Muhammad n dengan nubuwah-Nya, bahkan secara khusus dengan
risalah-Nya. Maka Allah Subhanahuwata’ala menurunkan Al-Qur`an
kepadanya dan memerintahkannya agar menjelaskan isi Al-Qur`an itu kepada
segenap manusia. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“…Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Karena itu, untuk memahami Al-Qur`an
sangat diperlukan sekali Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Melalui beliau n, pesan-pesan Al-Qur`an bisa ditangkap secara
tepat arah dan maksudnya. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t
memberikan ilustrasi radhiyallahu anhu ontoh yang radhiyallahu anhu
emerlang sekali tentang betapa urgennya kedudukan As-Sunnah dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur`an. Beliau t memberikan radhiyallahu anhu
ontoh sebagai berikut:
Firman Allah Subhanahuwata’ala:
Firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Ma`idah: 38)
Maka, terkait perihal pencuri masih bersifat mutlak. Demikian haln
Maka, terkait perihal pencuri masih bersifat mutlak. Demikian haln
ya dengan kata tangan. Dalam hal ini,
As-Sunnah al-qauliyyah (berupa ucapan) menjelaskan tentang ketentuan
(kaidah) nilai barang yang dicuri sehingga menjadikan pelakunya dipotong
tangan. Berdasarkan As-Sunnah, pencurian senilai seperempat dinar atau
lebih terkena hukum potong tangan, berdasarkan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam :
لَا قَطْعَ إِلاَّ فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
“Tidak ada pemotongan (tangan) kecuali (atas kasus pencurian) seperempat dinar atau lebih.” (Muttafaqun alalih)
As-Sunnah menjelaskan pula melalui
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat serta
melalui taqrir (persetujuan) beliau n, bahwa pemotongan tangan seorang
pencuri adalah pada pergelangan tangan.
Demikian pula firman Allah Subhanahuwata’ala:
Demikian pula firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu.” (Al-Ma`idah: 6)
Yang dimaksud tangan di sini adalah telapak tangan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
التَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ
“Tayammum itu sekali tepukan ke wajah dan dua telapak tangan.” (HR.
Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan selainnya dari hadits ‘Ammar bin Yasir
radhiyallahu anhu )
Contoh lain adalah firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Pada saat itu, para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memahami ayat tersebut dengan kedzaliman
yang bersifat umum, yang meliputi semua jenis kedzaliman, meski hanya
kecil saja. Akibatnya mereka mempertanyakan ayat ini kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa
di antara kami yang tidak mencampuradukkan imannya dengan kedzaliman?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
menjawab, “Bukan seperti itu. Sesungguhnya yang dimaksud ayat itu
adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (Luqman: 13) [HR. Al-Bukhari dan Muslim serta selainnya]
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (Luqman: 13) [HR. Al-Bukhari dan Muslim serta selainnya]
Dari apa yang telah dijelaskan di depan,
maka betapa teramat sangat pentingnya As-Sunnah dalam syariat Islam.
Dengan memerhatikan radhiyallahu anhu ontoh-contoh di muka, dan banyak
lagi radhiyallahu anhu ontoh perkara yang tidak bisa disebutkan di sini,
sampailah pada keyakinan bahwa tidak ada jalan ke pemahaman Al-Qur`an
yang benar-benar shahih kecuali dengan menyertakan As-Sunnah. (Manzilatu
As-Sunnah fil Islam wa Bayanu Annahu La Yustaghna ‘anha bil Qur`an,
Muhammad Nashiruddin Al-Albani t, hal. 7-9)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam mukadimah Tafsir-nya menyatakan tentang kaidah menafsirkan Al-Qur`an. Kata beliau:
1. Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Metodologi ini merupakan yang paling shahih (valid).
2. Menafsirkan Al-Qur`an dengan As-Sunnah. Karena As-Sunnah merupakan pensyarah dan menjelaskan Al-Qur`an.
3. Menafsirkan Al-Qur`an dengan perkataan para sahabat.
Menurut Ibnu Katsir t, bila tidak didapati tafsir dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, kami merujuk kepada pernyataan para sahabat. Karena mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui sekaligus sebagai saksi dari berbagai fenomena dan situasi yang terjadi.
4. Bila tidak didapati radhiyallahu anhu ara menafsirkan dengan ketiga metode di atas, maka menafsirkan Al-Qur`an dengan pemahaman yang dimiliki para tabi’in (murid-murid para sahabat). Sufyan Ats-Tsauri t berkata, “Jika tafsir itu datang dari Mujahid, maka jadikanlah sebagai pegangan.” Mujahid t adalah seorang tabi’in.
1. Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Metodologi ini merupakan yang paling shahih (valid).
2. Menafsirkan Al-Qur`an dengan As-Sunnah. Karena As-Sunnah merupakan pensyarah dan menjelaskan Al-Qur`an.
3. Menafsirkan Al-Qur`an dengan perkataan para sahabat.
Menurut Ibnu Katsir t, bila tidak didapati tafsir dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, kami merujuk kepada pernyataan para sahabat. Karena mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui sekaligus sebagai saksi dari berbagai fenomena dan situasi yang terjadi.
4. Bila tidak didapati radhiyallahu anhu ara menafsirkan dengan ketiga metode di atas, maka menafsirkan Al-Qur`an dengan pemahaman yang dimiliki para tabi’in (murid-murid para sahabat). Sufyan Ats-Tsauri t berkata, “Jika tafsir itu datang dari Mujahid, maka jadikanlah sebagai pegangan.” Mujahid t adalah seorang tabi’in.
Fenomena memberikan interpretasi
terhadap ayat-ayat Allah Subhanahuwata’ala tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah yang berlaku sebagaimana dipahami salafush shalih, kini
nampak mulai marak. Ini sebagaimana diungkap Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani t: “Didapati pada sebagian penafsir dan penulis
dewasa ini yang membolehkan makan daging binatang buas atau memakai emas
dan sutera (bagi laki-laki) dengan semata bersandar kepada Al-Qur`an.
Bahkan dewasa ini didapati sekelompok orang yang hanya mencukupkan
dengan Al-Qur`an saja (Al-Qur`aniyyun). Mereka menafsirkan Al-Qur`an
dengan hawa nafsu dan akal mereka, tanpa dibantu dengan As-Sunnah yang
shahih.” (Manzilatu As-Sunnah fil Islam, hal. 11)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu telah memberi peringatan:
“Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur`an dengan ra`yu (akal) nya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, Ibnul Qayyim t, hal. 54)
Wallahu a’lam.
“Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur`an dengan ra`yu (akal) nya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, Ibnul Qayyim t, hal. 54)
Wallahu a’lam.
Sumber : http://salafy.or.id/blog/2016/01/15/rasul-baru-tersebut-al-masih-al-mawud-menyingkap-kesesatan-al-qiyadah-al-islamiyahgavatar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar