[BAGUS]>>Kesimpulan Pembahasan Tentang Qunut Witr

[www.salafyciampeabogor.blogspot.com]

asy-Syaikh DR. Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah
Unduh PDF kitabnya di sini :
adobe-pdf
1. Bahwa ucapan sebagain para imam, “Tidak shahih  satu hadits pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah qunut witr sebelum rukuk ataupun setelahnya”, demikian pula ucapan Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah : “Tidak shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qunut witr satu hadits musnad pun” pernyataan ini perlu ditinjau ulang, dan tidak bisa diterima. Telah pasti riwayat hadits musnad tentang qunut witr, hadits dari shahabat al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma, hadits Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, wallahu a’lam.
Sebagaimana telah pasti pula dari para shahabat, seperti ‘Umar bin al-Khaththab, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’b, dan lainnya. Yang seperti ini tidak ada tempat untuk ra’yu dan ijtihad, karena maqamnya adalah maqam ibadah, hukum asal penilaian dalam maqam ini adalahtauqif (dilakukan berdasarkan keterangan dalil dari Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kalau seandainya mereka tidak memiliki tauqif (keterangan dalil dari RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam) niscaya mereka tidak akan mengerjakannya.
2. Qunut witr disyari’at dilakukan sepanjang tahun. Praktek sunnah adalah: kadang-kadang mengerjakannya, dan kadang-kadang meninggalkannya. Hal ini berdasarkan dalil keterangan yang datang berupa perbedaan riwayat dalam hal disyari’atkannya sepanjang tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu terkadang mengerjakannya dan terkadang meninggalkannya.
Ditekankan untuk terus mengerjakan qunut witr pada separo terakhir bulan Ramadhan, sejak malam ke-16 Ramadhan. Disyari’atkan untuk meninggalkan qunut witr pada separo pertama Ramadhan kalau dia shalat sebagai imam. Ini termasuk sunnah yang banyak ditinggalkan, bahkan tidak diketahui. Walaupun kalau dia berqunut pada awal dan akhir Ramadhan, boleh.
3. Qunut witr boleh dikerjakan sebelum rukuk, boleh pula setelah rukuk. Yang afdhal (lebih utama) adalah sebelum rukuk.
4. Di antara sunnah yang banyak ditinggalkanpada masa ini, dalam qunut witr dilakukan takbir sebelum qunut dan setelahnya, apabila qunut tersebut dilakukan sebelum rukuk.
5. Termasuk praktek sunnah, imam mengeraskan bacaan doa qunut witr, dan para makmum mengaminkan.
6. Praktek sunnah dalam doa qunut adalah tidak dipanjangkan. Kalau mencukupkan pada doa yang terdapat dalam riwayat, maka itu afdhal (lebih utama). Kalau terkadang dipanjangkan sesuai kadar doa-doa yang ada dalam riwayat, maka itu boleh.
7. Lafazh-lafazh doa qunut tidak ada sesuatu yang harus. Boleh dikerjakan dengan bacaan doa apapun. Namun yang afdhal (lebih utama) membatasi pada bacaan doa yang terdapat dalam riwayat.
8. Termasuk praktek sunnah, seorang imam apabila shalat witr berjama’ah pada bulan Ramadhan, dia tidak berqunut pada separo pertama Ramadhan. Baru berqunut pada separo kedua Ramadhan, dan diiringi doa kecelakaan untuk orang-orang kafir.
9. Disyari’atkan untuk mengangkat tangan dalam qunut witr, disyariatkan pula tidak mengangkat tangan. Disyari’atkan pula untuk mengangkat tangan pada awalnya dan meluruskan tangan pada akhirnya. Semuanya boleh.
10. Tidak disyari’atkan mengusap wajah dengan kedua tengan ketika selesai doa qunut.
11. Disyari’atkan pula membaca shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa qunut.
12. Dilakukan sujud sahwi bagi barangsiapa yang terbiasa melakukan qunut witr namun terlupa darinya. Adapun orang yang tidak memiliki kebiasaan melakukan qunut, atau seorang yang sengaja meninggalkannya, maka tidak perlu sujud sahwi.
13. Bahwa shahabat Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhuma adalah di antara shahabat yang paling banyak dinukilkan dari mereka hukum-hukum qunut witr.
14. bahwa shalat yang paling mirip dengan shalat witr adalah shalat Maghrib, karena memang Maghrib berkedudukan sebagai witr siang hari. Maka apa yang terdapat dalam qunut Nazilah pada shalat maghrib, apa itu juga ada pada qunut witr. Yang menguatkan hal ini adalah, apa yang berlaku dalam shalat fardhu berlaku pula untuk shalat nafilah, kecuali berdasarkan dalil.
15. Mayorits hukum-hukum qunut witr ditetapkan berdasarkan perbuatan para shahabat Nabi – ridhwanullah ‘alahim - . Maqam ini termasuk yang tidak ada tempat untuk ra’yu dan ijtihad padanya, karena perbuatan seperti itu tidak mungkin dilakukan berdasarkan ra’yu semata. Sehingga riwayat-riwayat dari para shahabat tersebut berstatur marfu’ (sampai kepada NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam). Perbedaan pendapat di kalangan mereka termasuk dalam jenis perbedaan tanawwu’ (variatif), selama bisa dipadukan. Wallahul Muwaffiq.Sumber:http://miratsul-anbiya.net/2014/07/16/kesimpulan-pembahasan-tentang-qunut-witr/


(dari Kitab al-Ahadits wa al-Aatsar al-Waridah fi Qunut al-Witr : riwayatan wa dirayatanasy-Syaikh DR. Muhammad Bazmul, hal. 86-88)

>>Kelemahan Hadits-hadits Yang Menyebutkan Bacaan Basmalah Secara Jahr


KELEMAHAN HADITS-HADITS YANG MENYEBUTKAN BACAAN BASMALAH SECARA JAHR
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahberkata:
“Ulama yang mendalam pengetahuannya terhadap hadits telah bersepakat, tidak ada satu pun hadits (sahih, pen.) yang tegas menyebutkan pembacaan basmalah secara jahr. Demikian pula, tidak diketahui ada salah satu kitab sunan yang masyhur—seperti Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i—yang membawakan periwayatan basmalah secara jahr. Periwayatan yang menyebutkan secara jahr hanya didapatkan dalam hadits-hadits maudhu’ah (palsu) yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dan Al-Mawardi—dalam Tafsir—dan yang serupa dengan beliau berdua, atau disebutkan di beberapa kitab fuqaha yang tidak membedakan antara riwayat yang palsu dan yang tidak.
Ketika Al-Imam Ad-Daraquthni  datang ke Mesir, beliau pernah diminta mengumpulkan hadits-hadits yang menyebutkan pembacaan basmalah secara jahr. Beliau pun melakukannya. Ketika beliau ditanya, adakah yang sahih dari hadits-hadits tersebut? Beliau menyatakan, “Adapun dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak didapatkan, sedangkan atsar dari sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam ada yang sahih dan ada pula yang dhaif (lemah).” (Majmu’ Fatawa, 22/416,417)
Beliau juga berkata, “Sebenarnya, banyak beredar kedustaan dalam hadits-hadits yang menyebutkan pembacaan basmalah secara jahr karena orang-orang Syi’ah berpendapat bacaan basmalah dijahrkan, padahal mereka dikenal oleh kaum muslimin sebagai kelompok yang paling pendusta di antara kelompok-kelompok sempalan dalam Islam. Mereka memalsukan hadits-hadits dan membuat rancu agama mereka dengan hadits-hadits tersebut.
Oleh karena itu, didapatkan ucapan imam Ahlus Sunnah dari penduduk Kufah, seperti Sufyan ats-Tsauri, yang menyatakan bahwa termasuk sunnah adalah mengusap kedua khuf dan meninggalkan membaca basmalah secara jahr. Sebagian mereka juga menyebutkan bahwa Abu Bakr dan Umar lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama dan lebih mulia daripada para sahabat yang lainnya, dan ucapan-ucapan yang semisalnya, karena hal-hal tersebut—yaitu tidak mau mengusap khuf, membaca basmalah secara jahr, menganggap ada yang lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama, dan lebih mulia daripada Abu Bakr dan Umar—merupakan syiar Rafidhah. Ada pula seorang imam mazhab Syafi’i, Abu Ali ibnu Abi Hurairah, yang meninggalkan jahr ketika membaca basmalah. Ketika ditanya sebabnya, beliau t berkata, “Karena membaca basmalah secara jahr telah menjadi syiar orang-orang yang menyelisihi agama.”(Majmu’ Fatawa, 22/424)
Hadits yang menyebutkan secara tegas bahwa basmalah diucapkan dengan jahr diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (hadits no. 145), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/233), dan Al-Baihaqi dalam Sunan-nya (2/47), dari jalan Abdullah bin Utsman bin Khutsaim, dari Abu Bakr bin Hafsh bin Umar, dari Anas bin Malik, bahwasanya Mu’awiyah  pernah mengimami shalat di Madinah dan menjahrkan bacaan Al-Qur’an, membaca basmalah sebelum membaca Al-Fatihah, dan tidak membaca basmalah sebelum surah yang dibaca setelah Al-Fatihah sampai selesai bacaan tersebut. Beliau z tidak bertakbir ketika turun sujud hingga selesai shalat. Setelah mengucapkan salam dari shalatnya, para sahabat Muhajirin yang mendengar hal tersebut menyerunya dari setiap tempat, “Wahai Mu’awiyah, apakah engkau mencuri shalat, ataukah engkau lupa?” Setelah peristiwa itu, bila shalat mengimami manusia, Mu’awiyah membaca basmalah sebelum surah yang dibaca setelah Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan bertakbir ketika turun sujud.
Hadits yang lain diriwayatkan dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim, dari Ismail bin Ubaid bin Rifa’ah, dari bapaknya, bahwasanya Mu’awiyah pernah mengimami penduduk Madinah tanpa membaca basmalah dan tanpa bertakbir ketika melakukan gerakan turun dan naik dalam shalat. Beliau ditegur oleh para sahabat Muhajirin dan Anshar, kemudian disebutkanlah hadits yang semakna dengan hadits di atas. (Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i no. 146)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, hadits ini dhaif ditinjau dari beberapa sisi.
1. Riwayat yang sahih dan masyhur menyebutkan secara jelas penyelisihan dari Anas z terhadap riwayat di atas.
2. Poros sanad dalam kedua hadits tadi dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim. Ia dilemahkan sekelompok ahlul hadits. Mereka memandang hadits ini mudhtharib/goncang periwayatannya, baik secara sanad maupun matan. Ini menjelaskan bahwa hadits tersebut ghairu mahfuzh (mungkar).
3. Pada sanadnya tidak ada kesinambungan mendengarnya seorang perawi dari perawi yang lain. Bahkan, dalam sanad itu ada kelemahan dan kegoncangan yang dikhawatirkan menyebabkan inqitha’ (terputusnya sanad), juga jeleknya hafalan perawinya.
4. Anas tinggal di Bashrah, sedangkan ketika Mu’awiyah z di Madinah, tidak ada seorang ulama ahli sejarah pun yang menyebutkan Anas bersamanya. Bahkan, secara zahir Anas tidak bersama Mu’awiyah.
5. Kalaupun benar terjadi di Madinah dan perawinya adalah Anas, tentu murid-murid beliau yang terkenal menemani beliau—demikian juga penduduk Madinah—akan meriwayatkan hadits tersebut dari beliau. Akan tetapi, tidak didapatkan salah seorang dari mereka yang meriwayatkan dari Anas, bahkan yang dinukil dari mereka justru sebaliknya.
6. Bila benar Mu’awiyah membaca basmalah dengan jahr, ini menyelisihi kebiasaan beliau yang dikenal oleh penduduk Syam yang menemani beliau, sementara tidak ada seorang pun dari mereka yang menukilkan bahwa Mu’awiyah membaca basmalah dengan jahr. Bahkan, seluruh penduduk Syam, baik pemimpin maupun ulamanya, berpendapat tidak menjahrkan bacaan basmalah. Dalam hal ini Al-Imam Al-Auza’i sendiri—yang dikenal sebagai imam negeri Syam—bermazhab seperti mazhab Al-Imam Malik, yaitu tidak membaca basmalah sama sekali, baik sirr ataupun jahr.
Dengan demikian, orang yang berilmu (para muhaddits) yang melihat beberapa sisi ini akan memastikan bahwa hadits ini batil, tidak ada hakikatnya, atau telah diubah dari yang sebenarnya. Adapun yang membawakan hadits ini, telah sampai kepadanya (hadits tersebut) dari jalan yang tidak sahih, sehingga menimbulkan cacat berupa terputusnya sanad.
Kalaupun hadits ini selamat, dia tetap syadz (ganjil), karena menyelisihi periwayatan perawi yang banyak dan lebih kokoh (hafalannya) yang meriwayatkan dari Anas bahkan menyelisihi periwayatan penduduk Madinah serta Syam. Sumber : dari www.forumsalafy.net
[Majmu’ Fatawa, 22/431—433]


>>>DAURAH ILMIAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH “MIRATSUL ANBIYA” Ke-10 1435 H/2014 M

<<<www.salafyciampeabogor.blogspot.com>>>


Alhamdulillah, dengan pertolongan dan taufik dari Allah,
insya Allah akan hadir kembali…
 DAURAH ILMIAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH 

“MIRATSUL ANBIYA” Ke-10 1435 H/2014 M
dengan tema
“URGENSI ULAMA DI TENGAH UMAT KETIKA FITNAH 

MELANDA”,
Dengan pembicara:
✔ Asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri (Kuwait)
✔ Asy-Syaikh Badr bin Muqbil azh Zhafiri (Arab Saudi)
✔ Asy-Syaikh Usamah bin Sa’ud al-’Amri (Arab Saudi)
Kajian umum insya Allah diselenggarakan :
di Masjid Agung Manunggal, Bantul pada tanggal Sabtu-Ahad, 13-14 Syawal\ 1435 H (9-10 Agustus 2014);
Daurah asatidzah insya Allah diselenggarakan  :
di Ma’had al Anshar, Kamis-Sabtu, 11-20 Syawal 1435 H (7-16 Agustus 2014).

Kajian ini insya Allah bisa diikuti melalui:
Radio Rasyid
Radio Miratsul-Anbiya
Radio Salafy.or.id

✔ Info Tambahan
Insya Allah akan ada taushiyyah al-Walid al-’Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-

Madkhali hafizhahullah [ teleconference]


Bagi yang ingin bertaawun dana untuk  Dauroh ilmiyah ahlussunah wal jama’ah miratsul anbiya ke 10 , bisa melalui:
✔ Rek. Bank MANDIRI no rek 9000002394642 a.n. LUWIH AGUS TRIYONO,
  
MANDIRI KALIURANG
✔ Rek BCA atas nama BUSONO SUPRAPTO 8610124705 BCA KCP KALIURANG
Konfirmasi pengiriman dana ke no. 0858-6812-9542,  +62 823-2940-6754
Laporan dana yang sudah masuk akan di tampilkan Di salafy.or.id dan miratsul-anbiya.net

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...