>>>Makar-makar syaithon .....


Assalamu`alaikum Warrahmatullahi wabaarakatuh ....
Alhamdulillah bagi ikhwah yang tidak sempat taklim di masjid al Ikhtisom Jakarta, pada kajian Ustadz Muhammad Umar As Sewed dan ustadz Khidir Al Makasari Hari Sabtu, 28 September 2013, silahkan untuk mendownload rekamannya.
Baarakallahu fiikum.

Dipersilahkan untuk download dengan meng KLIK di bawah ini :



kajian di itishom.wav

>>Orang Meninggal Gak Di Adakan Tahlilan ??? Gak Diselameti ??? Gak Dikirimi Pahala ??? Hah !! Kayak ngubur Bangkai KUCING aja !!! Pernah denger celetukan model gitu ???

<<www.salafyciampeabogor.blogspot.com>>
Orang Meninggal Gak Di Adakan Tahlilan ??? Gak Diselameti ??? Gak Dikirimi Pahala ??? Hah !! Kayak ngubur Bangkai KUCING aja !!!


Pernah denger celetukan model gitu ???

Bagi mereka (pelaku tahlilan) : Adalah merupakan celaan yang besar
 jika seseorang meninggal lalu tidak diadakan ritual tahlilan. Sampai - sampai ada yang berkata :

"Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu yang meninggal ?? Seperti nanem (ngubur) bangkai kucing aja !!!"


Saudaraku.. Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah kehilangan banyak anggota keluarga, saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan beliau shallallahu alaihi wa sallam..

Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu 'anhum) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan (diadakan acara tahlilan) oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam..

Apakah berarti semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan bangkai kucing ????

Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan..

Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam..

Ada yang berani "membangkai kucingkan" istri, kerabat, ataupun para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ???

Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa' ar-Roosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), tidak seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia..

Begitu juga dengan para imam madzhab.. Tak ada satupun yang mengamalkan tahilan, selametan, atapun kirim pahala, gak ada !! Bahkan ketika para Imam tsb meninggalpun gak ada yang ngadain tahlilan untuk mereka..

Jadi.. Masih mau "Membangkai kucingkan" orang yang meninggal tanpa diadain tahilan ???

Maka.. Wahai pelaku tahilan, selametan, maupun kirim pahala.. RENUNGKAN INI BAIK-BAIK !!

Acara tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang bahkan bukan merupakan syari'at tatkala itu, apakah kemudian sekarang berubah statusnya menjadi syari'at yang sunnah untuk dilakukan ??!! Atau bahkan wajib ??!! Bahkan jika ditinggalkan maka dianggap menimbulkan celaan dan dosa ??!!

Mikir sebentarr.. Sambil menggerutu lalu berucap :

" TRUS AKU KI KUDU MELU SOPO ???? "

[Ide dan sebagian tulisan diambil dari : solusiislam.com]

>>>TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

www.salafyciampeabogor.blogspot.com
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6

>>Bagaimana Hukum Menerima Hadiah dari Kantor .... ???

www.salafyciampeabogor.blogspot.com
Tanya: 
(Iswar Rauf Pinrang) TIS-5 
Di kantor saya sudah menjadi kebijakan perusahaan untuk memberikan hadiah ulang tahun kepada karyawan baik berupa barang (mug, teko) atau voucher belanja di toko tertentu. Apa yang sebaiknya dilakukan dengan hadiah ini? Mengingat hadiah ini tidak bisa dikembalikan karena sudah dianggarkan oleh perusahaan. Jazakallah khayra.

 Jawab:Oleh Ustadz Askari hafizhahulloh Wa anta Jazakallahu khoiron, ulang tahun perusahaan.Ketika perusahaan memberi dan itu bukan sesuatu yang hubungannya dengan hadiah tersembunyi, hadiah terselubung, diketahui oleh pimpinan perusahaan, dan bahkan mereka yang memberikan, resmi, maka tidak mengapa insya Allah, tidak mengapa. Asal hukum pemberian hibah ataukah hadiah, asal hukumnya diperbolehkan. Wallahu ta'ala a'lamu bishawab. Download Audio disini

>>Sssttt….. Ada yang ingin Ku Katakan ” Saatnya Untuk Kita Menikah”

Oleh : Al-Ustadz Abu Abdillah bin Mudakir Al-Jakarty
Melihat prilaku menunda menikah tanpa alasan syar’i ditengah-tengah kaum muslimin baik dengan alasan menyelesaikan kuliah, karir atau alasan tidak syar’i lainnya menjadi salah satu sebab dari banyak sebab tersebarnya kemaksiatan onani, zina bahkan liwath (homo dan lesbi), Naudzubillah, dibarengi kemaksiatan buka aurat, ikhtilat tersebarnya pornografi membuat kerusakkan diatas kerusakkan, menambah tersebar luasnya kemaksiatan. Sebuah fenomena yang membuat lisan ini berucap semoga Allah menjaga kita semua. Sambil berfikir apa yang harus ku tulis disecarik kertas ini, sebagai nasehat untuk kaum muslimin. Ku coba awali dengan sebuah doa dengan berkata semoga Allah memberi hidayah dan menjaga kita semua…

Wahai kaum muslimin……..
Tidak tahukah kalian bahwa diantara penyebab kemaksiatan onani, perzinahan bahkan perbuatan liwat (homo dan lesbi) adalah akibat menunda nikah karena karir, kuliah atau tanpa alasan syari’i lainnya…
Tidak khwatirkah kalian terjatuh kedalamnya…
Karir apa yang kalian cari…, apakah dengan mempertaruhkan agama kau raih karirmu….!!!
Bukankah keselamatan agama dan menjaga keimanan hal yang sangat terpenting bagi kita…
Lalu apa yang menghalangi kalian untuk menikah, padahal dengan menikah dapat menjaga kita dari kemaksiatan….

Wahai kaum muslimin…….
Kuhadirkan perkataan seorang ulama yang menjelaskan hukum dan manfaat menikah sebagai hadiah dariku untuk kalian, Berkata Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-Utsaimin Rahimahullah : ” Dan berkata sebagian Ahlu Ilmi (ulama -penj) bahwasannya menikah hukummnya wajib secara mutlak karena asal perintah adalah wajib. Hal ini dikarenakan perkataan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ” Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu untuk menikah maka menikahlah ” Al-lam li ‘Amr pada asalnya di dalam ” ‘amr : perintah ” adalah wajib kecuali ada yang memalingkannya dari perintah wajib. Disamping itu bahwasannya meninggalkan menikah disertai kemampuan untuk menikah didalamnya terkandung tasyabuh (menyerupai) orang nasrani yang mereka meninggalkan menikah dengan tujuan untuk menjadi pendeta dan tasyabuh  dengan selain dari kaum muslimin haram hukumnya. Dimana terdapat didalam menikah dari kebaikan yang besar dan menolak kerusakkan yang banyak, bahwasannya dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan akan tetapi dengan adanya syarat mampu pada pendapat ini, dikarenakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengkaitkan yang demikian itu dengan kemampuan sebagaimana perkataannya ” barangsiapa diantara kalian mampu menikah ” dan dikarenakan didalam kaidah umum, setiap kewajiban disertai dengan syarat mampu. Pendapat wajibnya nikah dalam sisiku lebih mendekati kebenaran “. ( Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaq’ni, Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al Utsaimin, Kitab Nikah hal : 12 ).
Terlepas disana ada perbedaan pendapat tentang hukum menikah, akan tetapi ulama sepakat bahwa terdapat kemaslahatan yang banyak dengan menikah, diantaranya menjadi sebab terjaganya seseorang dari perbuatan maksiat.
<<<www.salafyciampeabogor.blogspot.com>>>
Wahai kaum muslim…..
Bagaimana jika…(semoga Allah menjaga kita semua)  dengan menundanya seseorang dari menikah tanpa alasan syar’i sebab terjatuh kedalam perbuatan zina, padahal Allah Ta’ala berfirman

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Artinya : ” Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra’ : 32)
Berkata Syaikh As-Sa’di Rahimahullah ” Larangan mendekati zina lebih mengena daripada sekedar larangan berbuat zina, dikarenakan yang demikian itu mencakup larangan dari segala muqadimah zina dan perkara yang mendekatkannya. ( Tafsir Ar Karimur Rahman, Syaikh As-Sa’di )
Allah Ta’ala juga berfirman pada ayat lain

وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

” Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan yang lain berserta  Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)…….. “ ( Qs. Al Furqan 67 – 68 )
Berkata Syaikh Sa’di Rahimahullah : ” Dan nash firman Allah Ta’ala tentang ketiga dosa ini merupakan dosa besar  yang paling besar, perbuatan syirik didalamnya terdapat merusak agama, membunuh didalamnya terdapat merusak badan dan zina didalamnya terdapat merusak kehormatan” ( Silahkan lihat Taisirul Karimur Rahman )
Apalagi jika sampai terjatuh kedalam perbuatan liwath, Naudzubillah. Sebuah dosa yang sangat besar, sebuah kekejian yang sangat keji. Sebagaimna Allah Ta’ala berfirman :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

” Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, ” mengapa kamu melakukan perbuatan keji (liwath), yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (didunia ini)“ ( Qs. Al A’raaf : 80 )
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Tidak ada yang paling aku takutkan daripada ketakutanku kepada kalian atas perbuatan kaum luth “ ( HR. Ahmad, tirmidzi dan dari Sahabat   Ibnu Abbas Radiyallahu ‘Anhu dishahihkan oleh Syaikh Al – Al Bani Rahimaullah)
Berkata Imam Adz-Zhahabi Rahimahullah : ” Liwath (homo/lesbi) lebih keji dan jelek dari perbuatan zina “ ( Al Kabaair Imam Adz Zhahabi )
Siapa yang menjamin kita akan selamat dari perbuatan maksiat….
Apakah karena karir kau pertaruhkan agamamu ….
Apakah karena mempriroritaskan kuliah dengan ikhtilat kau pertaruhkan kejernihan hatimu….
Apakah karena karir dikantor atau aktivitas profesimu dengan kemaksiatan ikhtilat atau kemaksiatan yang ada didalamnya kau ambil resiko yang membahayakan agamamu dengan menunda menikah…
Tidak inginkah kita hidup dengan  kehidupan sempurna sebagai seorang manusia dengan didampingi seorang istri sholehah atau ditemani seorang suami sholeh……..
Tidak inginkah kita merasakan hidup sakinah dengan ditemani seorang istri penyayang lagi penurut atau suami  penyabar lagi bijaksana….
Tidak inginkah kita bahagia sebagaimana kebahagian seorang suami istri yang menggandeng buah hatinya pergi kemajelis ilmu…..
Tidak inginkah kita bahagia sebagaimana kebahagian keluarga fulan yang bercanda dengan buah hatinya…..
Tidak inginkah kita bahagia ketika kening kita dikecup anak-anak kita sebagaimana kebahagian sepasang suami istri yang dikecup keningnya oleh buah hatinya sambil berkata : ” Ummi….. Abi… Abdurrahman berangkat dulu yah, sekarang ada setoran Juz Amma sama Ustadz…

Jawablah wahai kaum muslimin….
Kalau kalian ingin bahagia sebagaimana mereka bahagia, kalau kalian ingin menjaga agama kalian sebagaimana mereka menjaga agamanya, lalu apa yang menjadi alasan kalian untuk menunda nikah tanpa alasan syar’i. Apakah kalian merasa aman dengan kemaksiatan yang telah tersebar, yang banyak orang terjatuh kedalamnya. Tahukah kalian yang menjadi alasan kekhawatiran Nabi Ibrahim ‘Alaihissallam akan dirinya terjatuh kedalam perbuatan penyembahan berhala, sehingga beliau berdoa kepada Allah agar dijauhi dari penyembahan berhala, yaitu dikarenakan banyaknya orang yang terjatuh kedalam perbuatan tersebut. Bukankah Allah Ta’ala berfirman mengkabarkan tentang doa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأَصْنَامَ

” dan jauhkanlah aku berserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala ” ( Qs. Ibrahim : 35 ).
Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah : ” Ketika Nabi Ibrahim merasa takut terhadap dirinya, maka beliaupun berdoa kepada Rabbnya agar di teguhkan diatas agama tauhid dan agar tidak dipalingkan hatinya sebagaimana dipalingkannya mereka. Karena beliau adalah seorang manusia seperti mereka dan seorang manusia tidaklah merasa aman dari fitnah “ ( Durus Nawaqidul Islam, Syaikh Shaleh Al Fauzan : 37)

Wahai saudaraku fillah, semoga Allah menjaga kita semua.
Tak tahukah kalian, bahwa disana ada seorang akhwat yang  karena sangat takutnya terjatuh kedalam perbuatan maksiat atau karena khawatir terhadap keselamatan agamanya dia selalu berdoa ” Ya Allah jauhkanlah aku dari perbuatan maksiat dan karuniakanlah kepada diriku seorang suami sholeh “
Wahai ukhti fillah, tak tahukah kalian bahwa disana ada seorang ikhwan yang karena khawatir terjatuh kedalam perbuatan maksiat dia isi waktu terkabulnya doa dengan berdoa ” Ya Allah jauhkanlah aku dari perbuatan maksiat dan karuniakanlah kepada diriku seorang istri sholehah “
Wahai saudaraku fillah, bagaimana kalau ikhwan atau akhwat tersebut terjatuh kedalam perbuatan maksiat, lalu bagaimana kalau kita yang berada pada kondisi mereka. Bukankah kita merasa sedih kalau kita berbuat maksiat apakah kita tidak merasa sedih kalau saudara kita terjatuh kedalam perbuatan maksiat, lalu dimana ta’awun kita terhadap saudara kita, Bukankah Allah Ta’ala berfirman

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

” dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan.“ ( Qs. Maidah : 2 )
Bukankah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Dan Allah akan menolong hambanya apabila hambanya menolong saudaranya ” (HR. Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu )
Berkata Syaikh Shaleh Alu Syaikh Hafidzahullah :  ” Didalam hadist ini terdapat anjuran kepada seseorang untuk menolong saudaranya dengan sebesar – besar anjuran, anjuran bahwasannya seorang hamba apabila menolong saudaranya maka Allah akan menolongnya, apabila kamu membantu kebutuhan saudaramu, Allah akan membantu kebutuhanmu, jika kamu membantu kaum muslimin, dan suatu saat kamu butuh bantuan maka Allah akan membantumu dan ini keutamaan dan pahala yang sangat besar “ ( Syarh Arbain Nawawi, Syaikh Sholeh Alu Syaikh : 391 )
Wahai saudaraku adakah yang lebih besar dari ta’awun yang dengan sebab ta’awun kita dapat menjadi sebab selamatnya saudara kita dari kemaksiatan…..Jawablah wahai saudaraku fillah…..
Karena dengan menikahnya dirimu, maka engkau sedang ta’awun dengan istri atau suamimu, karena dengan menikahnya dirimu menjadi sebab terjaganya seorang istri atau suami kedalam perbuatan maksiat. Berkata Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-Utsaimin Rahimahullah : ” Diantara keutamaan menikah adalah dengan menikah dapat menjaga kemaluan dirinya dan istrinya dan menjaga pandangannya dan pandangan istrinya, kemudian setelah keutamaan itu lalu dalam rangka memenuhi kebutuhan syahwatnya ” ( Syarhul Mumti’ Jilid 12 hal : 10 )
Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah “  Wahai manusia bertaqwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa menikah terkandung didalamya kebaikkan yang sangat banyak, diantaranya kesucian suami istri dan terjaganya mereka dari terjatuh kedalam perbuatan maksiat, Rasullullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :  ” Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah  maka menikahlah dikarenakan  dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan  dan menjaga kemaluan  “ Al Hadist ( Khutbatul Mimbariyah Fil Munaasibaatil ‘Asriyah, Syaikh Shaleh Al Fauzan : 242 )
Mungkin diantara kalian ada yang berkata, saya belum mau menikah dan belum ada pikiran kearah sana,  maka saya katakan semoga Allah menjaga kita semua dan mengkaruniakan kepada kita pendamping yang sholehah…amin, wahai saudara ku fillah bahwa  disana ada pendapat dari ulama yang mengatakan hukumnya sunnah (dianjurkan) bukan sekedar mubah (boleh) bagi orang yang tidak berkeinginan untuk menikah atau melakukan hubungan suami istri, sementara dia mampu, dan ini pendapat yang benar dikarenakan beberapa hal, diantaranya dengan menikah dia dapat menjaga agama istrinya atau menjadi sebab istrinya terjaga dari perbuatan maksiat, begitu juga dikarenakan masuk kedalam keumuman dalil tentang diajurkannya menikah ”
Maka sudah saatnya untuk kita menikah, mencari pendamping sholehah, semanhaj, membina keluarga sakinah.
Maka sudah seharusnya kita ta’awun dengan menganjurkan orang untuk menikah dan membantunya sesuai dengan kemampuan kita.

Wahai kaum muslimin, semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua….
Tidak tahukah kalian  beberapa banyak dari pemuda kaum muslimin yang terjatuh kepada perbuatan zina, sebuah dosa  yang sangat besar  yang pelakunya berhak dihukum 100 kali cambukkan dan diasingkan dari negerinya, Adapun kalau sudah menikah dihukum dengan dirajam sampai mati.
Tidak tahukah kalian bahkan ada yang terjatuh pada sebuah dosa yang pelakunya berhak dikenai hukuman  dengan dilempar dari gedung  yang paling tinggi  kemudian dilempari batu, bahkan dosa liwath ini telah menyebar dinegeri ini. Naudzubillah
Tidak tahukah engkau bahwa  kemaksiatan onani, ponogarafi, buka aurat, pacaran dianggap sesuatu hal yang biasa…
Wahai kaum muslimin kalau seperti ini kondisi bangsa ini, lalu apa yang menjadikan alasan kita untuk menunda nikah…….
kalau seperti ini kondisi bangsa ini lalu apa yang menjadi alasan para orangtua tidak menganjurkan anaknya untuk menikah……
Kalau seperti ini kondisi bangsa ini lalu apa yang menjadi alasan para orang tua melarang anaknya untuk segera menikah, katakanlah kepada diriku wahai kaum muslimin.
Bukankah kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk diri kita….
Bukankah kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk keluarga kita…
Bukankah para orangtua menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk anak-anaknya…..
Bukankah kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk kaum muslimin…
Lantas apa yang menghalangi kita untuk menikah…..
Lantas apa yang menghalangi kita untuk menganjurkan orang untuk menikah…..
Lantas apa yang menghalangi kita untuk membantu saudara kita untuk menikah…..
Bukankah Allah Ta’ala dan Rasul Nya menganjurkan kita untuk menikah, Allah Ta’ala berfirman :

فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

” Maka nikahillah perempuan yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.“ ( Qs. An Nisa’ : 3 )
Rasullullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :  ” Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah  maka menikahlah dikarenakan  dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan  dan menjaga kemaluan  dan barangsiapa tidak mampu menikah maka baginya untuk berpuasa  hal itu sebagai tameng baginya  ( HR. Bukahri dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu )
Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah : ” Didalam hadist ini  terdapat anjuran dari Nabi Shallahu ‘Alaihi Wassalam untuk para pemuda, khususnya para pemuda kaum muslimin,  dikarenakan syahwat para pemuda lebih kuat  dan kebutuhan  untuk menikah disisi mereka  lebih banyak, karena inilah dianjurkan bagi mereka untuk menikah “ ( Tashiilul Ilmaam Bifiqhil Ahaadist Min Bulugil Maram, Jilid 4 Kitab Nikah, hal 304 )
Berkata Syaikh Abdullah Al Basam Rahimahullah :  ” Setiap pernikahan ini terkandung didalamnya manfaat yang agung, yang kemanfaatan tersebut kembali  kepada suami istri, anak – anak, perkumpulan (komunitas), dan agama dengan kebaikan yang banyak ” ( Taudihul Ahkam Min Bulugil Maram, Jlid 5 Kitab Nikah hal 209 )
Oleh karena itu ada yang ingin kukatakan ” Saatnya untuk kita menikah“, menjalankan perintah Allah dan Rasul Nya, membina rumah tangga sakinah semoga dengan itu Allah menjaga agama dan diri kita dari kemaksiatan.

<<www.salafyciampeabogor.blogspot.com>>
Abu Nasiim Mukhtar "iben" Rifai La Firlaz
 Dalam hikayat-hikayat lama, purnama mengambil tempat khusus di hati para pujangga. Seorang penyair tidak akan mau melewatkan momen purnama begitu saja. Ada sejuta inspirasi yang bisa ia peroleh dari hanya sekadar memandang purnama. Sampai dikatakan oleh sebagian orang ; orang bisu pun akan berdesis ketika menikmati cahaya purnama yang menyirami bumi.
Zaman dahulu…sebelum dikenal secara luas, apa yang dinamakan dengan kalender dan penanggalan. Purnama ditetapkan sebagai alat penghitung yang diandalkan. Seorang ibu yang ditinggal oleh putranya karena merantau akan bergumam," Sudah berapa purnama, engkau tinggalkan Ibumu, Nak?". Begitupun seorang istri yang ditinggal pergi suaminya berlayar menentang gelombang," Entah di purnama ke berapakah, ia kan kembali?". Bagi mereka, purnama tidak pernah menampakkan dusta.
Bagi seorang hamba yang gemar beribadah, apakah arti purnama baginya? Purnama adalah momen yang selalu dinanti-nanti. Sebab, ketika itu, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Pada malam ke tiga belas,empat belas dan lima belas.
Al Imam An Nasa'i (4/222) meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Dzar tentang hal ini. Oleh Syaikh Al Albani, hadits dimaksud dihasankan. As Sindi di dalam Hasyi-yah nya menyebutkan beberapa hikmah yang mungkin untuk dipahami dari sunnah ini." Tatkala cahaya menerangi malam, sangat pas sekali jika di siangnya diterangi oleh ibadah".
_____00000_____
Bagi seorang muslim, apakah arti dari sebuah purnama? Semestinya, purnama mengingatkan kita kepada Dzat yang telah menciptakan dan mengaturnya. Alasan inilah yang mendorong saya untuk menulis coretan ringan ini. Ya, seharusnya memang demikian! Sadar  akan kadar diri itu harus! Ternyata, kita hanyalah makhluk kecil yang seringkali lupa dan lalai untuk mengingat Nya.
Sore tadi, dari atas lantai tiga bangunan tempat kami bermukim. Nampak indah terlihat bulan yang sedang berproses menuju purnama. Ya, malam ini adalah malam ke-tiga belas Dzulqo'dah 1434 H. Adzan Maghrib membahana. Gemanya mengisi ruang-ruang jiwa. Langit diselimuti awan-awan tipis.
"Eh, Yusuf…Coba kau tengok di atas sana!", ujar saya dengan suara agak meninggi kepada salah seorang kawan.
Katanya," Subhaanallah! Indah sekali, Bang!"
Memang indah! Sudah berapa kali momen purnama yang kita lalui? Apakah momen tersebut lantas mengingatkan kita kepada Ar Rahman? Padahal, di dalam Al Qur'an Al Karim, Allah memberitakan tentangibaadur rahmaan.Mereka yang benar-benar menjadi hamba Ar Rahman! Apakah salah satu hal yang Allah sebutkan tentang mereka?
تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيرًا
Di dalam surat Al Furqan,sebelum memberitakan tentang ibaadur rahmaan,Allah memulainya dengan ayat di atas.
Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya. (QS. 25:61)

Allahumma, yaa Allah…ampunilah hamba yang terlalu sering melewatkan momen purnama tanpa berucap tasbih, tanpa menghadirkan rasa syukur pun tanpa membangkitkan rasa khauf kepada Mu.
_____00000_____
Bagi pelaku thalabul ilmi, apakah arti purnama untuknya? Purnama adalah motivasi besar untuknya. Purnama adalah semangat yang bisa membangkitkan dirinya dari rasa malas dan jenuh. Memandang purnama akan menyadarkan dirinya bahwa thalabul ilmi yang sedang ia tempuh adalah perjalanan suci dan mulia. Lalu, apa hubungannya, antara purnama dan thalabul ilmi?
Sebuah hadits dari Muadz bin Jabal dan dishahihkan Al Albani di dalam Al Misykah (212) merupakan jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas.
Rasulullah bersabda,
فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلَى سَاِئرِ الكَوَاكِبِ
"Keutamaan seorang alim jika dibandingkan seorang ahli ibadah seperti halnya purnama jika dibandingkan dengan seluruh bintang"
Subhaanallah! Ho..hoo…
Setelah membaca hadits di atas, masihkan kita ragu untuk berthalabul ilmi?
Bagi para ulama yang aktif berkarya dalam ujud kitab,apakah arti purnama bagi mereka?
Purnama menjadi salah satu pilihan untuk menentukan judul sebuah karya monumental. Al Imam Ibnul Mulaqqin (wafat tahun 804 H), misalnya. Beliau mentakhrij hadits dan atsar kitab As Syarhul Kabiir dan menamakannya Al Badrul Muniir (Purnama Bercahaya). Contoh lainnya adalah Al Badru At Thaali' karya Al Imam Asy Syaukani (wafat tahun 1250 H). Karya tulis yang menceritakan ulang biografi para ulama setelah abad ke tujuh sampai masa beliau, dinamakannya Purnama Bersinar (Al Badru At Thaali').
Bagi para pecinta dan pengejar Al Jannah (surga), apakah arti purnama untuk mereka?
Purnama adalah lambang harapan. Bagaimana tidak akan menjadi lambang harapan? Sedangkan Rasulullah pernah memberitakan bahwa penduduk surga berbeda-beda tingkatannya! Semua penduduk surga tidak sama derajatnya. Tentu sesuai bekal amalan yang telah dipersiapkan. Tahukah Anda, seperti apakah Rasulullah menggambarkan rombongan pertama yang masuk surga?
أَوَّلُ زُمْرَةٍ تَدْخُلُ الجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ
"Rombongan pertama yang akan masuk surga, seperti rembulan di malam purnama", sabda Rasulullah di dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri riwayat Tirmidzi (2522) dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Ash Shahihah (1736).
Ayo berlomba-lomba…bermusabaqah dan bermunafasah untuk menjadi bagian dari rombongan pertama ke dalam surga! Jika semangat beribadah sedang melemah, pandanglah purnama dan sadarkanlah diri bahwa hanya mereka yang bersungguh-sungguh saja…hanya mereka yang bermujahadah melawan hawa nafsu,yang akan masuk surga seperti rembulan di malam purnama!
_____00000_____
Bagi seorang Salafy, pengikut faham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, apakah arti purnama untuknya?
Purnama tentu mengingatkan dirinya dengan momen Rasulullah bersama para sahabatnya di sebuah saat, seribu empat ratusan tahun yang lalu. Tatkala itu, beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabat sambil memandang rembulan di kala purnama.(Bukhari 554 Muslim 633).
”Sesungguhnya kalian akan memandang Rabb kalian,sebagaimana kalian memandang bulan. Kalian tidak berdesakan ketika memandang Allah", sabda Rasulullah malam itu.
Hadits mutawatir semacam ini tentu menambah semangat untuk berkarya dalam ibadah! Siapa pula yang tidak bercita-cita untuk memandang wajah Allah? Jika seorang pengingkar hadits tidak dapat menerima berita dari Nabi Muhammad di atas,biarkan saja kelak ia tidak memandang wajah Allah!!! Bukankah ia sendiri tidak mempercayai?
Seorang Salafy? Imam Ahmad bin Hanbal (Ushulus Sunnah hal 23) pernah menerangkan tentang prinsip-prinsip Ahlus Sunnah." Beriman (bahwa kaum mu’minin) akan melihat (wajah Allah Ta’ala yang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih", adalah salah satunya.
Pastinya kita mesti selalu memohon dengan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah di dalam hadits Ammar bin Yasir riwayat An Nasa'i (1305) dan dishahihkan Al Albani di dalam Shifat Shalat Nabi (hal 165).
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ
”Aku meminta kepada Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah Mu,di akhirat kelak.Dan aku meminta kepada Mu kerinduan untuk bertemu dengan Mu”
_____00000_____
Bagi saya yang menulis, apakah arti purnama? Selain hal-hal penting di atas, tentu purnama menjadi setetes penawar rindu. Jika rindu mulai berkunjung menyapa, saya akan memandang purnama walau sesaat saja. Sebab, purnama di Yaman tentu sama dengan purnama di Solo. Di bawah purnama yang sama, seakan kami pun berada di dalam ruangan yang sama.
Bagaimana dengan Anda?

_Dzamar The Spirit Of Yemen_dalam malam bermandikan cahaya purnama_13 Dzulqo'dah 1434 H_18 SEPT 2013_

>>Permata Salaf ” Kehidupan Dunia Menurut Generasi Salaf “

www.salafyciampeabogor.blogspot.com
Al-Hasan al-Bashri rahimahumallah mengatakan,
“Semoga Allah merahmati seseorang yang mencari harta dengan cara yang baik, membelanjakannya dengan sederhana, dan memberikan sisanya.
Arahkanlah sisa harta ini sesuai dengan yang diarahkan oleh Allah. Letakkanlah di tempat yang diperintahkan oleh Allah. Sungguh, generasi sebelum kalian mengambil dunia sebatas yang mereka perlukan. Adapun yang lebih dari itu, mereka mendahulukan orang lain.
Ketahuilah, sesungguhnya kematian amat dekat dengan dunia hingga memperlihatkan berbagai keburukannya. Demi Allah, tidak seorang berakal pun yang merasa senang di dunia. Karena itu, berhati-hatilah kalian dari jalan-jalan yang bercabang ini, yang muaranya adalah kesesatan dan janjinya adalah neraka.
Aku menjumpai sekumpulan orang dari generasi awal umat ini. Apabila malam telah menurunkan tirai kegelapannya, mereka berdiri, lalu (bersujud) menghamparkan wajah mereka. Air mata mereka berlinangan di pipi. Mereka bermunajat kepada Maula (yakni Rabb) mereka agar memerdekakan hamba-Nya (dari neraka).
Apabila melakukan amal saleh, mereka gembira dan memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut. Sebaliknya, apabila melakukan kejelekan, mereka bersedih dan memohon kepada Allah agar mengampuni kesalahan tersebut.”
(Mawa’izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 41—42)

>>>C E R P E R (CERITA PERJALANAN)

www.salafyciampeabogor.blogspot.com
Oleh : Al Ustadz Abu Nasiim Mukhtar "iben" Rifai La Firlaz
Perjalanan indah hari ini! Seorang kawan dari 'Utmah (daerah asal Syaikh Utsman As Salimi) mengajak Ana untuk turut serta dalam acara silaturahmi ke 'Utmah. Sekitar 17 peserta lumayan ramai juga untuk ukuran mobil sekelas ELF yang kami pakai. Ada banyak pemandangan baru sepanjang perjalanan. Lumayan juga untuk refreshing. He…he…
Dalam perjalanan pulang…
Koordinator rombongan, Ahmad Al Ghanimi, berbagi banyak cerita untuk kami yang duduk manis mendengarkan di dalam mobil.
            Cerita pilihan versi Ana dari Ahmad Al Ghanimi adalah cerita singkat tentang nilai-nilai interaksi yang diajarkan oleh Islam.Hidup di dunia ini tidak akan terlepas dari proses Mu'amalah, bukan?
 Al Cerita :
Seorang pria datang menemui dokter untuk berkonsultasi. Kebetulan, dokter yang dipilih oleh pria tersebut adalah seorang dokter agamis. Sedikit banyak Al Qur'an dan As Sunnah pernah ia pelajari. Tidak salah pilih pria tersebut!
"Dok, tolong buatkan resep untuk istri saya. Dia mengalami gangguan pendengaran", pinta pria itu setelah mengeluhkan istrinya yang sulit diajak berkomunikasi.
Sang dokter sebelum memenuhi permintaan itu, malah menganjurkan si pria untuk melakukan trik-trik berikut ini.
Kata sang dokter," Begini, Saudaraku…Coba Anda mengambil jarak empat puluh langkah dari istri Anda, setelah itu mintalah istri Anda untuk melakukan sesuatu. Jika tidak ada reaksi, mendekatlah sepuluh langkah darinya dan ulangi lagi permintaan Anda. Jika masih belum juga ada reaksi, teruslah mendekat sepuluh langkah lagi dan seterusnya, lalu ucapkan permintaan Anda. Kira-kira bagaimana hasilnya?"

Pria itu menurut saja anjuran dari sang dokter.
Di rumah…
Kira-kira empat puluh langkah pria itu mengambil jarak dari istrinya,ia mengucapkan,"  Wahai istriku sayang, tolong siapkan makan malam untukku". Pria itu lalu menyebutkan beberapa menu tertentu.
Tidak ada reaksi dari istrinya.
Pria itu mendekat lagi sebanyak sepuluh langkah. Permintaan makan malam kembali diucapkan, namun tetap saja tidak ada reaksi dari istrinya.
Kembali sepuluh langkah ia mendekat, tetap juga tidak ada reaksi. Sampai akhirnya, pria itu berdiri tepat di belakang istrinya dan mengatakan permintaan makan malam.
Kira-kira, apa yang terjadi kemudian?
Kata istrinya," Wahai suamiku, sejak permintaanmu pertama tadi, aku sudah mengiyakan dan menyatakan siap!"
Loh…ternyata???? Ternyata pria itulah yang mengalami gangguan
pendengaran. Hmm….
Ahmad Al Ghanimi, koordinator perjalanan kami menyimpulkan,"Mumkin, qad khalalu min 'indik laa min 'indi ghairik!"
Kurang lebih artinya demikian," Barangkali, kekurangan itumalah ada pada dirimu,bukan pada orang lain!"
Cerita ini Ana tetapkan sebagai cerita pilihan dari sekian banyak cerita yang disampaikan Ahmad Al Ghanimi sore tadi. Ana lalu merenung, ternyata faktanya memang demikian. Bukankah terkadang (di dalam proses komunikasi) kita menilai orang lain yang salah? Padahal sesungguhnya diri kita-lah yang salah. Bukankah terkadang kita menuduh orang lain tidak bisa mengerti tentang kita? Padahal sebenarnya, kita-lah yang kurang bisa memahami maksudnya.
Cobalah memulai di dalam keluarga kita! Sudah marah-marah kepada anak karena menangis tidak juga berhenti.Kita sudah menyalahkannya. Kita sudah membentaknya. Bahkan mungkin kita sudah memukul anak tersebut. Ternyata anak tersebut memohon melalui tangisannya,"Abi…gendonglah aku! Abi…aku rindu padamu!Abi…aku ingin merasakan tenang dalam dekapanmu!...Abiiii…….".
Hanya saja anak membahasakan permintaannya dengan tangisan. Jika memang demikian arti tangisan anak, pasti ia akan semakin bersedih ketika si ayah kita malah mensikapinya dengan bentakan, amarah bahkan pukulan??? Ingin dipeluk, digendong dan disayang kok malah???
Demikianlah seharusnya sikap kita kepada istri,orangtua,sahabat,tetangga dan orang lain di dalam berinteraksi dan menjalin komunikasi. Apalagi sesama Salafiyyin,bukan? Jangan-jangan…jangan-jangan…selama ini…Hmmm.Astaghfirullah al adziim

Jum'at malam,selepas Isya',08 Dzulqa'dah,13 Sept 2013.
Akhukum : Abu Nasiim Mukhtar "iben" Rifai La Firlaz_republic of yemen_

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...