>>Jangan Lepaskan Tanganmu ...

“Jangan Lepaskan Tanganmu”
oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
Mungkin ada diantara kita yang pernah melihat sebagian orang yang sedang melaksanakan sholat dalam kondisi tangannya turun ke bawah, di samping kedua pahanya, tanpa meletakkannya pada dadanya.
Kebiasaan seperti ini biasa dilakukan oleh orang-orang Syi’ah-Rofidhoh, dan orang-orang yang bermadzhab Malikiyyah. Kesalahan ini timbul, karena mereka belum mengetahui sunnahnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Mungkin tahu, tapi ada sebab lain, seperti taqlid kepada ulama.
Model sholat seperti ini menyelisihi sunnah (petunjuk) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menjelaskan kepada kita bahwa sunnah seseorang saat ia berdiri sholat, ia meletakkan kedua tangannya di atas dada.
  • Sahl bin Sa’d -radhiyallahu anhu- berkata,
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلَاةِ
“Dulu manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya dalam sholat”.[HR. Al-Bukhoriy (no. 740)]
  •  Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إنا معشر الأنبياء أمرنا أن نؤخر سحورنا ، ونعجل فطرنا ، وأن نمسك بأيماننا على شمائلنا في صلاتنا
“Sesungguhnya kami ‘para nabi’ diperintahkan untuk mengakhirkan sahur kami, menyegerakan buka puasa kami, dan menahan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami dalam sholat kami”.[HR. Ibnu Hibban (no. 1767/Al-Ihsan)]
Dari dua hadits ini, maka jelaslah bagi kita kesalahan orang yang meng-irsal (melepas) tangannya tanpa meletakkannya di atas tangan yang lainnya, sebab meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri termasuk petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan para nabi sebelumnya. [Lihat Zaadul Ma'ad (1/202)]
Ulama Andalusia, Al-Hafizh Abu Ibnu Abdil Barr -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan sunnah meletakkan tangan di atas tangan lainnya, “Tidaklah ada suatu khilaf yang datang dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam perkara ini. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) sahabat, dan tabi’in. Pendapat itulah yang disebutkan oleh Malik dalam Al-Muwaththo’. Ibnul Mundzir dan lainnya tidak menyebutkan dari Malik selain pendapat ini. Ibnul Qosim menyebutkan dari Malik pendapat meng-irsal (melepas kedua tangan). Pendapat ini kemudian dipandang oleh kebanyakan pengikut Malik. Dari Malik juga ada pendapat lain, yaitu pembedaan antara sholat fardhu, dan sholat nafilah (sunnah). Diantara mereka (pengikut Malik), ada yang membenci al-imsak (meletakkan tangan di atas tangan lainnya). Ibnu Hajib menukil (penjelasan) bahwa hal itu (dilakukan) ketika seseorang bertumpu (dengan tangannya) untuk tujuan kelonggaran”. [Lihat Fathul Bari (2/224), dan Nailul Author (2/201)]
Orang-orang Malikiyyah ada yang menyebutkan dalam masalah sunnahnya meletakkan (tangan di atas tangan lainnya) bahwa pendapat itulah yang lebih kuat, karena manusia diperintahkan untuk melakukan hal itu (meletakkan tangan di atas tangan lainnya) di generasi pertama (jaman sahabat). [Lihat At-Taaj wa Al-Iklil(1/536), dan Al-Qowanin Al-Fiqhiyyah (hal. 65)]
Pendapat yang masyhur di dalam kitab orang-orang belakangan dari kalangan Malikiyyah bahwa meletakkan tangan di bawah dada, di atas pusar adalah mandub (dianjurkan) bagi orang mengerjakan sholat sunnah; demikian pula bagi yang mengerjakan sholat fardhu, jika ia menginginkan ittiba’ (mengikuti sunnah) dalam meletakkan tangan, atau ia tak memaksudkan sesuatu apapun. Adapun jika ia ingin bertumpu atau bersandar dengan tangannya, dengan cara meletakkannya, maka hal itu makruh.
Demikian itu, karena disebagian tempat ada yang sholat dengan menggunakan tongkat agar tak capek melaksanakan sholat, walaupun sholatnya tak panjang. Wallahu A’lam.
Abul Walid Al-Baji Al-Malikiy -rahimahullah- berkata, “Terkadang pendapat Malik tentang makruhnya menggenggam tangan dipahami bahwa beliau takut jika orang-orang awam meyakini bahwa hal itu adalah rukun diantara rukun-rukun sholat; sholat bisa batal karena meninggalkannya”.[Lihat Al-Qoul Al-Mubin fi Akhto' Al-Mushollin (hal. 106)]
Syaikh Masyhur Hasan Salman -hafizhohullah- berkata, “Barangkali orang yang memperhatikan seluruh pendapat-pendapat dalam masalah ini akan mengetahui pasti bahwa mereka semuanya mengakui bahwa sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah meletakkan kedua tangan di depan orang yang sholat, bukan melepaskannya di samping badannya, dan bahwa Imam Malik berpendapat bolehnya melepaskan tangan –jika hal ini betul dari beliau- demi memerangi amalan yang tidak disunnahkan, yaitu dengan maksud bersandar, atau memerangi keyakinan rusak, yaitu sangkaan orang awam tentang wajibnya hal itu. Walaupun sebenarnya –kalau kita mau periksa-, beliau sama sekali tak berpendapat bolehnya melepaskan tangan. Ini merupakan kesalahan atas nama beliau dalam memahami ungkapan kitab Al-Mudawwanah, dan menyelisihi pendapat yang ditegaskan oleh beliau dalam Al-Muwaththo’ , yaitu menggenggam tangan. Perkara ini telah diungkap oleh sejumlah ulama’ Malikiyyah dan lainnya dalam beberapa tulisan khusus yang menghampiri 30 buah kitab, selain pembahasan-pembahasan yang terdapat dalam syarah-syarah, dan kitab-kitab tebal. Selanjutnya, bukankah perkara yang layak setelah semua pembahasan yang lalu agar saudara-saudara kita dari kalangan Malikiyyah tidak lagi melepaskan kedua tangan mereka, karena mereka menyangka bahwa menjaga suatu sunnah. Lantaran itu, mereka bisa sepakat dengan saudara mereka kaum muslimin lainnya”. [Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal. 106-107)]
Diantara perkara yang disunnahkan saat seseorang berdiri melaksanakan sholat, meletakkan kedua tangan pada dada, dan meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan bawah.
Wa’il Hujr -radhiyallahu anhu- berkata,
“Aku betul-betul memperhatikan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, bagaimana beliau sholat” Lalu Wa’il berkata, “Aku memperhatikan beliau berdiri seraya bertakbir, dan mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya, pergelangannya, dan lengan bawahnya”. [HR. Ibnu Khuzaimah (no. 480), Abu Dawud (1/193), An-Nasa'iy (2/98), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Irwa' Al-Gholil (2/69)]
Maksudnya, terkadang beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, atau pergelangannya, atau lengan atasnya. [Lihat Nail Al-Author (2/200)]

Di dalam hadits yang lain juga diterangkan bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- terkadangmenggenggamkan tangan kanannya pada tangan kirinya.
  • Wa’il bin Hujr -radhiyallahu anhu- berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا كَانَ قَائِمًا فِى الصَّلاَةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ.
“Aku melihat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, jika beliau berdiri dalam sholat, maka beliau menggenggamkan tangan kanannya pada tangan kirinya”. [HR. An-Nasa'iy (no. 886), dan Ad-Daruthniy dalamSunan-nya (no. 1114). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shifah Ash-Sholah (hal. 88)]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini merupakan dalil bahwa di antara sunnah adalah menggenggam tangan. Di dalam hadits pertama (terdapat dalil tentang sunnahnya) meletakkantangan. Semua itu adalah sunnah. Adapun menggabungkan antara menggenggam dan meletakkan tangan yang dianggap baik oleh sebagian orang belakangan dari kalangan Hanafiyyah, maka itu adalah bid’ah. Caranya –sebagaimana mereka sebutkan-, seseorang meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya sambil menggenggam pergelangannya dengan anak jari, dan ibu jarinya, dan membentangkan tiga jari lainnya”. [Lihat Shifah Ash-Sholah (hal. 88/foot note: 3)]
Selain itu, ketika seseorang berdiri sholat, maka ia meletakkan tangan pada dadanya sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits Wa’il di atas, bahkan Sunnah telah menegaskan dan menentukan tempatnya, yaitu pada dada.
  • Hulb Ath-Tho’iy -radhiyallahu anhu- berkata,
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ وَرَأَيْتُهُ قَالَ يَضَعُ هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ وَصَفَّ يَحْيَى الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فَوْقَ الْمِفْصَلِ
“Aku pernah melihat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berbalik dari sebelah kanan, dan kirinya”. Aku (rawi) berkata, “Aku memandangnya berkata, “Beliau (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) meletakkan ini (yakni, tangannya) di atas dadanya”. Yahya (rawi hadits ini) menyusun tangan kanannya di tangan kirinya, di atas pergelangannya”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/226). Hadits ini dinyatakan hasan li ghoirih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ahkam Al-Jana'iz (hal.118)]
  •  Wa’il bin Hujr -radhiyallahu anhu- berkata,
أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يضع يمينه على شماله ثم وضعهما على صدره
“Bahwa ia pernah melihat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu meletakkan keduanya di atas dadanya”. [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya (no. 479), dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (2/30-31). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy ta'liq beliau terhadap Shohih Ibnu Khuzaimah (1/243)]
Hadits-hadits Wa’il yang menceritakan posisi tangan saat berdiri dalam sholat, terkadang disebutkan padanya bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- meletakkan kedua tangan di atas dadanya, atau di sisi dada. Sebagian orang memandang dari sisi ini bahwa hadits Wa’il yang menyebutkan posisi tangan di dada adalah hadits yang mudhtorib (goncang), sedang hadits mudhthorib adalah hadits dho’if (lemah).
Namun tidaklah demikian, bahkan hadits ini shohih dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Adapun perbedaan dan keragaman matan (redaksi hadits), bukan berarti hadits itu syadz atau mudhthorib.
Syaikh Dr Muhammad Dhiya’ Ar-Rahman Al-A’zhomiy (Pengajar di Islamic University of Madinah) -hafizhohullah- berkata, “Ini adalah perkara boleh dalam meriwayatkan hadits, karena seorang terkadang rawi terfokus suatu perkara, lalu ia pun menyebutnya, dan tidak terfokus pada perkara lain sehingga ia meringkas hadits. Orang yang tak ada pengetahuannya tentang hadits menyangka bahwa di dalam matannya terdapat idhthirob (kegoncangan), padahal itu bukanlah idhthirob”. [Lihat Tahqiq Fathul Ghofur  fi Wadh'il Aidi ala Ash-Shudur(hal. 46)]
Ada juga sebagian orang menyangka hadits ini adalah hadits yang syadz (ganjil), sedang hadits hadits syadzadalah dho’if (lemah), sebab menurut mereka bahwa hadits Wa’il diriwayatkan oleh para ahli hadits, tanpa tambahan kalimat, “pada dadanya”.
Hadits ini bukanlah hadits syadz, sebab tidak semua tambahan yang terdapat dalam suatu hadits menunjukkan hadits itu syadz dan menyelisihi. Jika tambahan itu dari seorang tsiqoh, dan riwayatnya masih bisa dikompromikan dengan riwayat tsiqoh lainnya, maka tambahan ini maqbulah (diterima). Demikian yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Mubarokfuri dalam Tuhfah Al-Ahwadziy (1/102-104), cet. Dar Ihya’ At-Turots Al-Arobi, 1422 H.
Oleh karenanya, Al-Hafizh Ibnu Hajar yang dikenal ketat dalam menilai hadits tidak menganggap hadits itu syadz(ganjil), bahkan beliau berdalil tentang letak posisi tangan saat berdiri dalam sholat dengan hadits Wa’il dan Hulb.
Al-Hafizh -rahimahullah- berkata, “Dia (Sahl bin Sa’d) juga tidak menyebutkan tempat kedua tangan dari jasad. Ibnu Khuzaimah sungguh telah meriwayatkan  dari hadits Wa’il bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- meletakkan keduanya pada dadanya, dan Al-Bazzar, “di sisi dadanya”. Di sisi Ahmad pada hadits Hulb Ath-Tho’iy terdapat semisalnya Di dalam Ziyadat Al-Musnad dari hadits Ali bahwa beliau meletakkan keduanya di bawah pusar, sedang sanadnya dho’if (lemah)”.[Lihat Al-Fath (2/290)]
Al-Allamah Al-Mubarokfuriy -rahimahullah- berkata dalam Ibkaar Al-Minan fi An-Naqd ala Atsar As-Sunan (hal. 196) saat mengomentari ucapan Al-Hafizh ibnu Hajar ini, “Yang nampak dari ucapan Al-Hafizh ini bahwa hadits Wa’il menurut beliau adalah shohih atau hasan, karena beliau menyebutkan disini tiga buah hadits untuk tujuan penentuan tempat meletakkan tangan: hadits Wa’il, Hadits Hulb, dan hadits Ali. Kemudian Al-Hafizh melemahkan hadits Ali seraya berkata, “Sanadnya dho’if (lemah)”. Beliau mendiamkan hadits Wa’il dan Hulb. Andaikan keduanya lemah menurutnya, maka beliau akan menjelaskan kelemahannya”. [Lihat Tahqiq Fathul Ghofur (hal. 47), cet. Maktabah Al-Ghuroba' Al-Atsariyyah, 1419 H]
Terakhir, kami nukilkan ucapan Al-Imam Muhammad Hayah As-Sindiy -rahimahullah- saat beliau berkata dalam kitabnya seusai membawakan riwayat dan atsar yang menjelaskan posisi tangan di dada ketika sholat. Beliau berkata, “Dari pembahasan yang lalu, maka nyatalah bahwa meletakkan tangan pada dada di dalam sholat memiliki asal  yang kuat, dan dalil yang mulia. Tak sepantasnya bagi orang-orang beriman menolaknya”. [LihatFath Al-Ghofur fi Wadh'il Aidi ala Ash-Shudur (hal. 66)]Sumber : http://pesantren-alihsan.org/jangan-lepaskan-tanganmu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...