>>Tabligh Bingung, Salafi Menjawab (2)


Oleh: Al-Ustadz Abul Fadhel Al-Bughisiy
إرشاد النبيه إلى بطلان تقولات جماعة التبليغ
على أهل السنة والجماعة
  • Benarkah Salafy Mirip Iblis??!
Makar Bang Lubis (Pengedit QVS) tidak hanya sampai disitu dengan menuduh salafiyyun sebagai pengacau dan penyebab kontroversi diantara kaum beriman, bahkah ia melangkah jauh dalam menyamakan salafiyyun dengan Iblis[1]. Dimana letak kesamaannya?! Nah dengarkan Bang Lubis berkata,
“Jadi bukan pengakuan atau klaim dengan menyebut diri atau kelompok salafy, sebab nanti akan ada tuduhan atau stigma bahwa kelompok lain atau individu lain adalah bukansalafy. Inilah keangkuhan intelektual yang sangat dibenci Allah. Karena mirip-mirip dengan gaya bahasa Iblis ketika menolak diperintah sujud kepada Adam:
Ana khoirun minhu, kholaqtanii minnaari wa kholaqtahu minthiin
“Aku lebih baik dari dia (Adam a.s.), Engkau jadikan aku dari api dan (sedangkan dia Adam) Engkau ciptakan dari tanah”. [Lihat QVS (hal. 27-28)]
Ucapan kasar dari Bang Lubis ini bisa ditanggapi dari beberapa sisi:
1.       Menyebut diri sebagai salafy adalah perkara yang masyru’ (disyari’atkan) sebagaimana halnya seorang disyari’atkan untuk menyatakan diri sebagai muslim, sebab kata salafy artinya adalah muslim hakiki yang mengikuti para salafush shalih.[2]
2.      Menyatakan diri sebagai salafy –jika memang benar di atas manhaj salaf- bukanlah perkara yang tercela, apalagi dianggap mirip dengan gaya bahasa Iblis. Iblis ketika mengaku lebih baik dari Adam, ia bangun ucapannya di atas persangkaan yang salah dan batil; di atas qiyas (analogi) yang batil. Adapun Ahlus Sunnah dan alias salafy saat menyatakan diri di atas kebenaran, maka memang peryantaan mereka  sesuai dengan realita. Aqidah, ibadah, dan akhlaq mereka terbangun di atas minhaj nubuwwah.Oleh karena itu, tak ada sebuah kelompok pun yang mampu mendatangkan penyimpangan Ahlus Sunnah alias Salafy dalam perkara aqidah, ibadah, dan akhlaq. Hanya saja, pernyataan seperti ini membuat Jama’ah Tabligh berang sehingga tak mau mengakui hal itu. Tapi biarkan mereka demikian; yang jelas kita beragama bukan karena mencari perhatian di hadapan mereka. Tapi kita tampakkan keberagamaan kita di hadapan Allah -Azza wa Jalla-.
Ini merupakan keikhlasan yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya,
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah : 5)
Perlu Pembaca ketahui bahwa bagaimanapun keshalihan anda, anda tak akan dianggap oleh Jama’ah Tabligh sebagai orang yang baik dan shalih, sampai kalian mau mengikuti program khurujmereka yang bid’ah dan menyalahi Sunnah. Ini rahasia yang perlu kami jelaskan agar para Pembaca mengetahui sebab kebencian Jama’ah Tabligh kepada orang lain di luar kelompoknya –khususnya Salafiyyun-. Jadi, bagaimanapun baiknya agama anda, tapi anda tak khuruj dan tasykil bersama mereka, maka anda tak ada nilainya di hadapan mereka, anda termasuk orang yang sesat dan bingung, perlu dituntun ke “jalan yang benar”.
3.      Seorang yang menyatakan dirinya sebagai salafy, bukanlah merupakan keangkuhan intelektual, dan bukan pula penyucian diri yang tercela. Bahkan hal itu merupakan konsekuensi aqidah salaf, yakni seorang menyatakan dirinya salafy alias Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, para imam dan ulama dari zaman ke zaman telah menyatakan diri mereka sebagai Ahlus Sunnah. Jika ada disana ada Ahlus Sunnah, maka otomatis disana ada ahli bid’ah. Jika disana terdapat muslim, pasti disana juga terdapat kafir. Nah apakah orang yang menyatakan dirinya sebagai Ahlus Sunnah atau muslim adalah tercela? Tentunya tidak tercela!! Nah apa bedanya antara pengakuan sebagai Ahlus Sunnah dengan pengakuan sebagai Salafy??! Jelas tak ada bedanya!!! Apalaa ta’qiluun.
4.      Analogi (qiyas) yang dibuat oleh Bang Lubis adalah analogi batil, seperti analogi yang dilakukan oleh Iblis; yakni adalah analogi yang batil!! Jelas batil karena akan meniadakan perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan ahli bid’ah.
  • Sebuah Contoh Kebingungan Bang Lubis
Seperti lazimnya Jama’ah Tabligh, Bang Lubis (Pengedit QVS) termasuk orang-orang yang bingung dalam membedakan bid’ah dengan sunnah. Bahkan kami khawatirkan Pengedit dan Penulis QVStermasuk pengusung dan pejuang bid’ah hasanah[3] yang menganggap semua bid’ah adalah sunnah. Di sisi para pejuang bid’ah hasanah, tak kata bid’ah, semuanya boleh.[4] Jelas ini menyelisihi dalil yang terdapat di dalam hadits-hadits.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Semua bid’ah adalah kesesatan”.[HR. Muslim dalam Kitab Al-Jum'ah (no. 867)]
Diantara bid’ah yang dianggap baik oleh Bang Lubis Dzikir Jama’ah dan khuruj ala JT. Dengarkan ia berkata,
“Begitu juga, mereka marah-marah kepada ahli dzikir[5], mereka sebut bid’ah, gak ada dalilnya. Orang-orang yang keluar di jalan Allah mendakwahkan agama dan berniat memperbaiki diri juga mereka bilang sesat, tak ada dalilnya. Tanpa mau melihat dan terjun langsung untuk mengambil pengetahuan tentangnya. Akhirnya mereka sibuk membicarakan , membahas, dan menseminarkan aib-aib orang , namun mereka tak pernah memberi contoh tentang kebaikan-kebaikan yang sesungguhnya. Bukankah dakwah Rasulullah sawhanya sedikit yang verbal, kalau boleh dikatakan tak ada”. [Lihat QVS (hal. 29)]
Ucapan Bang Lubis, sang Pengedit, perlu kita cermati dan koreksi agar ia berpikir ketika menorehkan tintanya di atas kertas:
1.       Salafiyyun marah kepada orang-orang yang berdzikir secara berjama’ah, karena perbuatan itu tak ada tuntunannya alias bid’ah. Mereka marah karena Allah -Azza wa Jalla-, bukan marah karena melihat orang yang berdzikir, tapi marah karena melihat caranya yang salah, tak ada contohnya!!
2.      Salafiyyun hari ini bukanlah orang-orang yang pertama kali menyatakan bid’ahnya dzikir jama’ah. Bahkan yang menyatakan hal itu adalah para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Hal ini juga tampak dari kisah Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- yang masyhur bersama para pelaku dzikir jama’ah, ketika beliau mengingkari mereka di salah satu masjid Kufah.
‘Amer bin Salamah bin Al-Harits -rahimahullah- bercerita,
كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ قُلْنَا لَا فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلَّا خَيْرًا قَالَ فَمَا هُوَ فَقَالَ إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ قَالَ رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِي أَيْدِيهِمْ حَصًى فَيَقُولُ كَبِّرُوا مِائَةً فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً فَيَقُولُ هَلِّلُوا مِائَةً فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً وَيَقُولُ سَبِّحُوا مِائَةً فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً قَالَ فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ قَالَ مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ قَالَ أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ قَالُوا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ قَالَ فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ قَالُوا وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ قَالَ وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ
“Kami pernah duduk-duduk di depan pintu rumah ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum sholat Shubuh. Jika beliau keluar, kami akan berjalan bersamanya ke mesjid.  Lalu Abu Musa Al-Asy’ary mendatangi kami seraya berkata : “Apakah Abu ‘Abdirrahman[6]sudah keluar kepada kalian?”Jawab kami : “Belum”. Kemudian diapun duduk bersama kami sampai beliau keluar. Tatkala beliau keluar, kami semuanya berdiri menuju kepadanya. Lalu Abu Musa berkata kepadanya : “Wahai Abu ‘Abdirrahman sesungguhnya baru saja saya melihat di mesjid suatu perkara yang saya ingkari dan saya tidak berprasangka –alhamdulillah- kecuali kebaikan”. Beliau berkata : “Apa perkara itu?” Dia menjawab : “Kalau engkau masih hidup maka engkau akan melihatnya. Saya melihat di mesjid ada sekelompok orang duduk-duduk dalam beberapa halaqoh (majelis) sambil menunggu sholat. Di setiap halaqoh ada seorang lelaki (yang memimpin) -Sementara di tangan mereka ada batu-batu kecil-. Lalu orang (pimpinan) itu berkata : “Bertakbirlah kalian sebanyak 100 kali”. Merekapun bertakbir 100 kali. Orang itu berkata lagi : “Bertahlillah kalian sebanyak 100 kali”, maka merekapun bertahlil 100 kali, orang itu berkata lagi : “Bertasbihlah kalian sebanyak 100 kali”, maka merekapun bertasbih 100 kali. Beliau berkata : “Apa yang engkau katakan kepada mereka?”.Dia (Abu Musa) menjawab : “Saya tidak mengatakan sesuatu apapun kepada mereka karena menunggu pendapat dan perintahmu”. Maka beliau berkata : “Tidakkah engkau perintahkan kepada mereka agar mereka menghitung kejelekan-kejelekan mereka dan kamu beri jaminan kepada mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan ada yang sia-sia?!”. Kemudian beliau pergi dan kami pun pergi bersamanya sampai beliau mendatangi satu halaqoh diantara halaqoh-halaqoh tadi seraya berdiri di depan mereka dan berkata : “Perbuatan apa ini yang saya melihat kalian melakukannya?!”. Mereka menjawab : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, ini adalah kerikil-kerikil yang kami (pakai) menghitung takbir, tahlil dan tasbih dengannya”. Maka beliau berkata : “Hitunglah kejelekan-kejelekan kalian dan saya jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan sia-sia. Betapa kasihannya kalian wahai ummat Muhammad, begitu cepatnya kehancuran kalian. Ini, mereka para sahabat Nabi kalian -Shollallahu ‘alaihi wasallam- masih banyak bertebaran. Ini pakaian beliau (Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-) belum usang. Bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian betul-betul berada di atas suatu agama yang lebih berpetunjuk daripada agama Muhammad atau kalian sedang membuka pintu kesesatan?!”. Mereka berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, demi Allah kami tidak menginginkan kecuali kebaikan”. Beliaupun berkata : “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi dia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah menceritakan kepada kami tentang suatu kaum, mereka membaca Al-Qur`an akan tetapi (bacaan mereka) tidak melampaui tenggorokan mereka. Demi Allah, saya tidak tahu barangkali kebanyakan mereka adalah dari kalian”. Kemudian beliau meninggalkan mereka. Amr bin Salamah berkata : “Kami telah melihat kebanyakan orang-orang di halaqoh itu adalah orang-orang yang menyerang kami bersama Khawarij pada perang Nahrawan”..(HR. Ad-Darimy dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 2005)
Perhatikanlah kisah ini baik-baik –semoga Allah merahmatimu-, niscaya engkau akan mendapatkan suatu harta yang lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Lihat sahabat Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhumenghukumi perbuatan mereka sebagai suatu bid’ah dan kesesatan tanpa memandang sedikitpun kepada jenis amalan yang mereka perbuat dan tidak pula memandang sedikitpun kepada maksud dan niat mereka melakukannya.[7] Karena sekali lagi, suatu perbuatan walaupun asalnya adalah ibadah dan dikerjakan dengan niat yang baik dan penuh keikhlasan, akan tetapi bila pelaksanaannya tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maka semuanya tetap tertolak dan dianggap sebagai suatu kesesatan. Lalu bagamana lagi bila amalan bid’ah itu asalnya bukan ibadah dan tidak dikerjakan dengan keikhlasan?!
3.      Kali ini Bang Lubis berusaha melegitimasi khuruj bid’ah yang dilakukan oleh Jama’ah Tabligh. Demi membantah bid’ah ini, kami katakan bahwa berdakwah di jalan Allah adalah perkara yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Namun dakwah yang kita lakukan haruslah dilandasi dengan dua syarat, karena dakwah adalah ibadah. Dua syarat itu adalah ikhlash danmutaba’ah (mencontoh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-).
Adapun dakwah Jama’ah Tabligh –dalam hal ini khuruj-, maka anggaplah dakwah mereka ikhlash karena Allah, tapi khuruj mereka tidak terpenuhi padanya syarat mutaba’ah (yakni, tak ada contohnya) dari beberapa sisi berikut:
- Mereka dalam kegiatan khuruj tersebut tidak memperhatikan orang yang diutus, entah ia alim atau jahil. Bahkan kebanyakan orang-orang JT yang pernah kami temui langsung dalam khuruj-nya, mereka adalah orang-orang jahil.[8] Sekarang, mana sunnah (petunjuk) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang menerangkan kepada kita bahwa mereka pernah mengutus orang-orang jahil, apalagi preman yang baru bertobat?! Jawabannya, mustahil ada!!!
- Ketika khuruj, mereka meninggalkan keluarga yang menjadi tanggungan mereka. Perlu diketahui bahwa menghidupi dan memenuhi kebutuhan anak istri atau orang tua adalah fardhu ain, sedang dakwah hukumnya adalah fardhu kifayah!! Tentunya fardhu ain lebih didahulukan atas fardhu kifayah.[9]
- Diantara mereka ada yang lalai –karena khuruj- dari melayani dan berbakti kepada orang tuanya. Bahkan terkadang mereka durhaka kepada keduanya.[10]
- Pekerjaan dan niaga para Jama’ah Tabligh banyak yang terbengkalai gara-gara khuruj. Bagaimana tidak terbengkalai kalau dibiarkan, tak diurusi dengan baik. Seorang tak boleh berdalih bahwa saya tinggalkan dengan modal tawakkal.
- Para pengikut Jama’ah Tabligh, kalau ditanya tentang khuruj dan kenapa meninggalkan anak dan istri? Mereka bilang, “Kami tinggalkan demi Allah. Nantilah Allah yang urusi, kami cukup tawakkal kepada Allah”.
Ini jelas menyelisihi prinsip tawakkal di sisi Ahlus Sunnah. Tawakkal menurut Ahlus Sunnah memiliki dua sayap: Melakukan usaha dan Bersandar kepada Allah dalam hal hasil dan akhir usaha tersebut.
Seorang yang mau anak, maka harus menikah, dan berhubungan badan dengan istri sambil bersandar dan berserah diri kepada Allah -Azza wa Jalla- dalam urusan itu.
- Banyak pegawai dan karyawan yang terfitnah dengan dakwah Jama’ah Tabligh telah melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan pemerintah, seperti biasa meninggalkan pekerjaan alias alfa, tanpa berita dan udzur yang dibolehkan. Ini merupakan sikap yang menggambarkan kurangnya sifat amanah mereka saat diberi tugas oleh pemerintah. Demi khuruj yang bid’ah, siap meninggalkan amanah. Na’udzu billah minal bida’ wa ahliha.
- Selain itu, pelanggaran yang terbesar, khuruj merupakan bid’ah yang disusupkan dalam agama. Mereka membuat syari’at yang menyalahi agama. Padahal Allah dan Rasul-Nya menetapkan bahwa dakwah harus didasari ilmu syar’iy, sedang Jama’ah Tabligh menyatakan bahwa boleh khuruj (keluar) untuk dakwah, walaupun tanpa ilmu.
- Di dalam khuruj, mereka buat program jaulah (keliling) sekitar kampung yang mereka tempati khuruj. Saat jaulah, mereka membagi anggota khuruj menjadi dua bagian: satu kelompok yang melakukan jaulahdan satu lagi tinggal di masjid berdzikir dengan maksud agar kelompok yang berdzikir di masjid dapat membantu melancarkan dakwah mereka yang jaulah dengan berkat kekuatan dzikir mereka. Ini keyakinan dan amalan yang tak ada tuntunannya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan termasuk darinya, maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)
Dalam suatu riwayat di sisi Imam Muslim : “Siapa saja yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak”.
Imam Asy-Syaukany -rahimahullah- berkata dalam Nailul Autho(2/69) : “Hadits ini termasuk bagian dari kaidah-kaidah agama karena di dalamnya masuk berbagai macam hukum tanpa ada pengecualian. Betapa jelas menunjukkan batilnya pendapat sebagian fuqoha` (para ahli fiqhi) yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis dan mengkhususkan tertolaknya bid’ah hanya pada sebagian bentuknya tanpa ada dalil naql (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang mengkhususkannya dan tidak pula dalil akal”.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab -hafizhohullah- berkata dalam Al-Qaulul Mufid (hal. 72) dalam menjelaskan sabda beliau “fahuwa roddun” : “Yakni tertolak. Beliau tidak mengatakan “sesuai dengan niat pelakunya”. Bahkan beliau menghukumi semua bid’ah  tertolak”.
4.      Adapun sangkaan Bang Lubis bahwa orang-orang yang khuruj (keluar) di jalan Allah untuk mendakwahkan agama dan berniat memperbaiki diri, maka ini adalah sangkaan batil dan salah, sebab seorang yang mau memperbaiki diri, ia harus belajar dan duduk di depan para ulama dan ustadz agar ia mengetahui kebaikan dan keburukan sehingga ia dapat mengamalkan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Adapun jika jika kita malas belajar, tapi langsung sibuk dakwah, maka tentunya keliru dan sembrono. Bukankah seorang yang mau renang demi menyelamatkan orang lain, harus belajar renang dahulu sebelum terjun ke air??! Apalaa ta’qiluun???!!!!
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إنما العلم بالتعلم
“Ilmu itu (hanyalah didapatkan) dengan belajar”. [HR. Ibnul Jauziy dalam Al-Ilal Al-Mutanahiyah (1/76), Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (9/127)][11]
5.      Dalam ucapan Bang Lubis (Pengedit QVS) di atas terdapat anggapan bahwa orang-orang selain mereka tidak pernah terjun langsung ke medan dakwah demi menyebarkan agama. Kita katakan, Orang-orang selain JT juga pergi berdakwah, tapi bukan dengan cara sembrono, seperti khuruj yang kalian lakukan.[12]
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (QS. An-Najm : 32)
Para dai dan muballigh dari berbagai organisasi telah melakukan dakwah kemana-mana demi menyebarkan agama. Lantas kenapa Bang Lubis dan JT mengingkari jasa mereka, dan seakan-akan hanya JT-lah berdakwah dengan baik. Ini merupakan kesombongan dan keangkuhan intelektual, dengan meminjam istilah Bang Lubis.
Para pembaca yang arif, sebenarnya Jama’ah Tabligh akan mengakui dakwah orang jika ia ikut bersama JT. Jika tidak ikut, maka dakwah kita tidak dianggap bernilai, walaupun kita berdakwah seumur hidup dan berceramah ke seluruh dunia serta punya pengalaman dakwah yang banyak!!
6.      Adapun ucapan Bang Lubis, “Akhirnya mereka sibuk membicarakan , membahas, dan menseminarkan aib-aib orang , namun mereka tak pernah memberi contoh tentang kebaikan-kebaikan yang sesungguhnya”, maka yang dimaksud oleh Bang Lubis disini adalah Ahlus Sunnah yang ia istilahkan dengan salafiyyun.
Ucapan Bang Lubis ini perlu kita waspadai dan cermati, karena ia telah melakukan talbis (tipu daya) di dalamnya. Ahlus Sunnah tidaklah pernah membicarakan aib orang, kecuali jika berupa penyimpangan dalam beragama, maka mereka jelaskan kepada umat demi menyelamatkan umat dari kubang penyimpangan dan kesesatan. Semua itu mereka lakukan, karena sayangnya mereka kepada kaum muslimin.
Sejak dahulu para ulama’ kita telah menjelaskan penyimpangan para ahli bid’ah, dan kaum kuffar. Berikut ini kami akan bawakan beberapa atsar salafiyyah[13] yang menjelaskan bahwa para Ahlus Sunnah sejak zaman salaf telah menjelaskan penyimpangan pelaku kebatilan dan ahli bid’ah, bahkan para salaf biasa membid’ahkan orang yang layak dibid’ahkan dan dijauhi:
Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- berkata, “Aku telah menjumpai sebaik-baik manusia; mereka semuanya adalah ahlis sunnah. Mereka melarang dari ahli bid’ah”. [Lihat Syarh Al-I'tiqod (267) karya Al-Lalika'iy]
Jadi, menjauhi ahli bid’ah dan menjelaskan penyimpangan mereka merupakan perkara yang sudah disepakati oleh para salaf. Sedang ini bukan tashnif yang tercela !! Bahkan mereka melarang duduk bersama ahli bid’ah, atau mendebatnya secara tatap muka, atau mendengarkan sesuatu dari mereka.
Ibnu Sirin -rahimahullah- berkata, “Janganlah engkau duduk bersama ahli bid’ah, jangan mendebatnya, dan jangan mendengarkan (sesuatu) dari mereka”. [HR. Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (401)]
Lihatlah Sufyan Ats-Tsauriy bagaimana ia menjauhi seorang Khawarij dengan cara yang “kasar” dan “tak beradab” menurut hizbiyyun hari.
Abu Nu’aim -rahimahullah- berkata, “Sufyan Ats-Tsauriy pernah masuk pada hari jum’at, tiba-tiba ada Al-Hasan bin Sholih bin Hayyin sedang sholat. Maka Sufyan berkata, “Kami berlindung kepada Allah dari Khusyu’ kemunafiqan, dan beliaupun mengambil sandalnya lalu berpindah”. [Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (7/363)]
Abu Nu’aim juga berkata, ” Al-Hasan bin Sholih  pernah disebutkan di sisi Ats-Tsauriy, maka beliau berkata, “Itu adalah laki-laki yang memandang (bolehnya) memerangi ummat Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yakni, ia Khawarij.-pent)”. [HR. Ibnul Ja'd dalam Al-Musnad (2142)]
Seorang salaf -khusus- duduk untuk men-tahdzir ahli bid’ah, dan orang-orang yang menyimpang. Ini mereka tidak anggap ghibah sebagaimana yang dituduhkan oleh hizbiyyun.
Bisyr bin Al-Harits Al-Hafiy -rahimahullah- berkata, “Dahulu Za’idah duduk di masjid untuk men-tahdzir (mengingatkan bahaya) Ibnu Hayyin, dan pengikutnya. Beliau berkata, “Mereka memandang (bolehnya) memerangi (kaum muslimin)”. [Lihat Tahdzib Al-Kamal (6/182) dan Siyar A'lam An-Nubala' (7/363)]
Abdullah bin Ahmad -rahimahullah- berkata, “Aku Bertanya kepada Abu Tsaur Ibrahim bin Kholid Al-Kalbiy tentang Husain Al-Karobisiy, maka beliau membicarakannya dengan ucapan yang jelek lagi buruk”.[Lihat As-Sunnah (187)]
Imam Ahmad -rahimahullah- berkata saat menjelaskan penyimpangan dan jati diri Al-Karobisiy, “Bisyr Al-Marisiy mati, dan digantikan oleh Husain Al-Karobisiy”. [Lihat Tarikh Baghdad (8/66)]
Ada seorang laki-laki yang berkata kepada Ibnu Sirin -rahimahullah- , “Sesungguhnya si fulan mau datang kepadamu, dan ia tak berbicara sesuatu apapun. Ibnu Sirin berkata, “Katakan kepada Fulan,”Tidak!”,tak usah ia datang, karena hati anak Adam itu lemah, dan aku khawatir kalau aku mendengar suatu kalimat, lantas hatiku tak kembali sebagaimana adanya”.[HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah 'an Syari'ah Al-Firqoh An-Najiyah (399)]
Jika ada seorang dai salafy yang melarang manusia untuk datang ke halaqoh kaum hizbiyyun dan ahli bid’ah yang menyebar syubhat yang bisa merusak agama, maka tak ada salahnya.
Dengarkan Al-Firyabiy -rahimahullah- berkata, “Dulu Sufyan melarang aku duduk bersama fulan, yakni seorang dari kalangan ahli bid’ah”. [Lihat Al-Ibanah (454)]
Men-tahdzir kitab-kitab yang memiliki penyimpangan adalah jalan para salaf. Hal itu tidak mereka anggap sebagai caci-makian yang mengantarkan kepada tashnif.
Al-Imam An-Naqid Abu Zur’ah Ar-Roziy -rahimahullah- pernah ditanya tentang Al-Harits Al-Muhasibiy, dan kitab-kitabnya[14], maka beliau menjawab, “Waspadalah kau terhadap kitab ini. Ini adalah kitab-kitab bid’ah dan kesesatan. Berpeganglah kau dengan atsar, karena kau akan mendapatkan sesuatu di dalamnya yang akan mencukupimu dari kitab-kitab ini”. Beliau ditanya lagi, “Dalam kitab-kitab ini terdapat ibroh”. Beliau menjawab, “Barang Siapa yang tak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, maka ia tak akan mendapatkan ibroh dalam kitab-kitab ini”. Kemudian beliau berkata, “Alangkah cepatnya manusia menuju bid’ah”.[Lihat Su'alat Al-Bardza'iy (561)]
Jika seorang dikenal telah menyimpang karena melakukan bid’ah, maka tak perlu seorang salafiy bertanya langsung kepada si pelaku bid’ah tentang bid’ah yang ia lakukan dan ia bela dengan alasan mau “tatsabbut” (mengecek)[15].
Sallam bi Abi Muthi’ -rahimahullah- berkata, “Seorang dari kalangan ahli bid’ah berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyaniy,”Wahai Abu Bakr, Aku mau bertanya kepadamu tentang sebuah kalimat”. Ayyub berpaling, sedang beliau berkata, “Tidak, walaupun separuh kalimat. Tidak, walaupun separuh kalimat”. Beliau berisyarat dengan jarinya-dengan kelingking kanannya-”. [Lihat As-Sunnah (101) karya Abdullah bin Ahmad]
Ketika ada seorang ahli bid’ah menampakkan kekhusyu’an dalam beribadah, maka kita jangan tertipu dengan ibadahnya; jangan tertipu dengan “air mata buaya” mereka, walaupun sampai pingsang. Tapi tetap harus waspada dan jauh darinya.
Sa’id Al-Asyaj -rahimahullah- berkata, Aku pernah mendengarkan Abdullah bin Idris, dan disebutkan kepada beliau tentang pingsangnya Al-Hasan bin Sholih. Maka Abdullah bin Idris berkata, “Senyumnya Sufyan (seorang ulama’ salaf, -pent) lebih aku cintai dibandingkan pingsangnya Al-Hasan bin Sholih (seorang ahli bid’ah, -pent)”.[Lihat Tahdzib Al-Kamal (6/182), dan At-Tahdzib (2/249)]
Apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Sufyan ini sesuai dengan hadits dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda,
يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
“Akan keluar diantara kalian suatu kaum yang kalian akan menganggap remeh sholat kalian dibandingka sholat mereka, puasa kalian dibandingkan puasa mereka, dan amalan kalian dibandingkan amal mereka. Mereka membaca Al-Qur’an sedang bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dar sasaran”.[HR. Al-Bukhoriy (4771) dan Muslim]
Para ulama’ dalam mengingatkan bahaya suatu kitab, itu tidak dianggap sebagai celaan. Bahkan sebagai nasihat bagi ummat agar jangan tertipu olehnya.
Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman Alusy Syaikh -rahimahullah- berkata tentang kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghozaliy, “Sungguh para ulama’ telah men-tahdzir (mengingatkan bahaya) memandang dan menelaah kitab Ihya’, yang samar, maupun yang nampak. Bahkan para Ulama’ Maghrib yang dikenal dengan Sunnah telah mengeluarkan fatwa agar membakarnya, dan dinamai oleh kebanyakan diantara mereka dengan “Imatah Ulumiddin” (Mematikan Ilmu Agama)[16]…”. [Lihat Ad-Duror As-Saniyyah (3/346)]
Meninggalkan seorang ahli bid’ah dan kitabnya karena khawatir terpengaruh dengan syubhatnya adalah suatu perkara yang telah diamalkan oleh Salaf.
Yahya bin Ubaid -rahimahullah- berkata, “Seorang Mu’tazilah pernah menemui aku. Lalu ia berdiri, dan akupun berdiri. Maka aku katakan, “Entah kau yang pergi, atau aku yang pergi, karena jika aku berjalan bersama seorang nasrani, itu lebih aku cintai dibandingkan berjalan bersamamu”. [Lihat Al-Bida' wan Nahyu anha (59) oleh Ibnu Wadhdhoh]
Membicarakan kondisi seorang rawi dalam rangka membersihkan agama kita dari hadits yang lemah yang akan mengotorinya adalah perkara yang dianjurkan sebagaimana halnya membantah dan menyebutkan nama orang-orang yang menyimpang dalam rangka membersihkan agama dan ummat dari kotoran pemikirannya adalah perkara yang dianjurkan.
Lihat saja Al-Imam Ahmad dalam atsar berikut bagaimana pandangan beliau tentang membicarakan aib seorang rowi, apakah itu dianggap ghibah atau nasihat ?!:
Abdullah bin Ahmad -rahimahullah- berkata, “Abu Turob An-Nakhsyabiy –yaitu, ‘Askar bin Al-Hushoin- kepada bapakku. Maka bapakku pu mulai berkata, “Si Fulan dho’if (lemah), si Fulan tsiqoh (terpercaya). Maka Abu Turob berkata, “Wahai Syaikh, janganlah kau mengghibah ulama’. Kata Abdullah, “Bapakku menoleh kepadanya seraya berkata, “Celaka engkau, ini adalah nasihat, bukan ghibah!!”. [LihatThobaqot Al-Hanabilah (1/249)]
Para Pembaca yang arif dan budiman, kami mohon maaf  jika penukilan ini terlalu panjang.Tapi demikianlah kami lakukan agar Bang Lubis dan bala tentaranya dari kalangan Jama’ah Tabligh bisa sadar bahwa menjelaskan penyimpangan ahli bid’ah adalah perkara yang disyari’atkan menurut taqrir(ketetapan) para salaf dalam nukilan-nukilan tadi. Hal itu bukan ghibah yang haram, bahkan merupakan pembelaan dan penjagaan terhadap kesucian agama dari tangan-tangan kotor lagi jahil para ahli bid’ah dan pelaku kebatilan.
7.      Para salaf dan pengikut mereka yang dikenal dengan salafiyyun adalah kaum yang memiliki semangat kuat dalam menyebarkan agama Allah dan mengamalkannya pada diri pribadi dan keluarga mereka. Mereka bukanlah suatu kaum yang menyerupai Yahudi (punya ilmu, tapi tak diamalkan), dan tidak pula menyerupai kaum Nashoro (tidak berilmu, tapi berani beramal).[17]
8.      Bang Lubis tadi berkata di atas, “Bukankah dakwah Rasulullah saw hanya sedikit yang verbal, kalau boleh dikatakan tak ada”. [Lihat QVS (hal. 29)]
Ini merupakan kebingungan dan kejahilan dari Bang Lubis. Bahkan dakwah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- banyak yang verbal (melalui ucapan)[18]. Beliau menjelaskan syari’at Allah dengan sabda dan ucapan beliau. Oleh karena itu, para ulama kita telah membukukan ucapan-ucapan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam kitab-kitab hadits, seperti Shohih Al-Bukhoriy, Shohih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzidy, Sunan An-Nasa’iy, Sunan Ibnu Majah Al-Qozwiniy, Musnad Ahmad, Sunan Ad-Darimiy, Muwaththo’ Malik, dan lainnya.
Saya tak tahu kenapa Bang Lubis buta dari kitab-kitab tersebut yang telah mencatat dan mendokumentasikan dakwah verbal dan ucapan-ucapan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kami khawatir jika Bang Lubis tak pernah belajar, tapi langsung dakwah sehingga akhirnya ia mengucapkan sesuatu yang tak masuk akal. Padahal Jama’ah Tabligh yang ia tergila-gila padanya, juga dakwahnya kebanyakan dakwah verbal. Begitulah jika seorang bingung, ibarat orang buta.
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.(QS. Al-Hajj : 46)

  • Benarkah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tak pernah Membuat Kecaman?!
Berbicara tanpa ilmu terkadang menyebabkan orang binasa dan menyerupai orang yang tak berakal. Inilah yang menimpa Suadara kita, Bang Lubis (Pengedit QVS) saat ia berkata,
“Jadi, orang salafy nampaknya menjadikan ilmu sebagai “pedang” tanpa lebih dulu mendalami “seni bela diri.” Sehingga tanpa seni silat mereka menebas setiap “leher” orang Islam. Padahal dengan “seni silat” pemegang pedang dapat menyulap “lawan” menjadi “teman.” Rasulullah tak pernah membuat kecaman dan hujatan kepada kafir sekalipun, apalagi kepada orang yang pernah mengucapkan kalimah Thoyyibah, namun dakwahnya berhasil karena dengan hikmah yang sempurna. Kalau tanpa menunjukkan kesalahan, seseorang dapat beranjak dari kesalahannya, lantas berubah baik, kenapa tidak?
Padahal, jika kita selalu menunjukkan kesalahan orang lain, biasanya diawali mengintip dan mencari kesalahan. Pada hal mengintip dan mencari kesalahan besar yang dilarang khusus oleh Allah karena berakibat negatif”. [Lihat QVS (29-30)]
Ucapan ini mengandung syubhat yang berbisa; dapat melumpuhkan dan mematikan hati. Oleh karena itu, kami perlu membabat habis syubhat ini –bi aunillah- agar syubhat itu tidak menjangkiti hati kaum muslimin dengan memberikan jawaban dan catatan berikut ini:
1.       Perumpamaan yang dibuat oleh Bang Lubis di atas merupakan perumpamaan yang salah. Bahkan perumpamaan itu menjadi bumerang yang menjadi senjata makan tuan Lubis. Perumpamaan itu sebenarnya lebih layak diarahkan kepada JT, sebab merekalah yang terjun menggunakan pedang dakwah, sebelum mereka mempelajari “ilmu silat” berupa cara berdakwah di jalan Allah, dan juga syari’at yang dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat. Akhirnya, Jama’ah Tabligh ngawur dalam berdakwah. Sebagai contoh –bukan pembatasan-, JT jika menjumpai salafiyyun, mereka tidak bersabar sampai memukul karena tidak sepaham menurutnya. Padahal seorang muballigh, harus memiliki kesabaran yang tinggi; jika tidak sepaham dengan orang, yah jangan main pukul dan main keroyok. Ini bukan memperbaiki (bukan dakwah), bahkan emosi yang akan merusak nama baik Jama’ah Tabligh.[19] Ini tentunya bukan hikmah !!
Contoh lain, mereka saat mendakwahi kaum pendosa, maka mereka tak pernah menegur dosa-dosa mereka, tapi dibiarkan di dalam dosa. Oleh karena itu, banyak dari kalangan mereka yang dahulu pendosa (minum khomer, merokok, berbuat syirik, tukang pukul), yah tetap melakukan dosa-dosa itu. Sebabnya? Karena tidak diberitahu dan ditegur dengan hikmah tentang perbuatan mereka tersebut.Selain itu, karena kurangnya ilmu. Akhirnya, saudara dijadikan lawan dan sasaran tinju. Na’udzu billah minal-jahl wa ahlih. Beginikah hikmah?!
2.      Bang Lubis kali ini bingung lagi sehingga ia menyangka bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-tidak pernah mengecam dan menghujat orang kafir, apalagi kepada seorang muslim yang telah bersyahadat.
Ini tentu merupakan sangkaan salah, sebab Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengecam, baik orang kafir, maupun orang Islam sebagaimana yang tersebut dalam ayat-ayat dan hadits-hadits.
Seorang yang jahil harus dikecam atas kejahilannya; seorang pendosa harus dikecam atas dosanya. Ini adalah perkara yang masyhur, dan telah diketahui dalil-dalilnya oleh setiap orang yang berilmu. Tapi tak ada salahnya, kalau kami bawakan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah menghujat.
Allah -Ta’ala- berfirman mengecam dan menghujat kaum Nashoro,
“Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam”, padahal Al masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”. (QS. Al-Maa’idah : 72-73).
Allah -Ta’ala- mengancam Ahli Kitab jika mereka tak beriman sekaligus mengecam mereka,
“Hai orang-orang yang Telah diberi Al kitab, berimanlah kamu kepada apa yang Telah kami turunkan (Al Quran) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum kami mengubah muka (mu), lalu kami putarkan ke belakang atau kami kutuki mereka sebagaimana kami Telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An-Nisaa’ :47-48)
Allah berfirman dalam mengecam Ahli Kitab yang ghuluw dalam beragama,
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari Ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi Pemelihara”. (QS. An-Nisaa’ : 171)
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengecam para sahabat yang ingin membentak laki-laki badui yang jahil, sebab ia kencing di masjid. Dengarkan penuturan Anas bin Malik -radhiyallahu anhu-,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَلَا تُزْرِمُوهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ
 “Ada seorang laki-laki badui pernah kencing di masjid. Maka sebagian manusia pun (yakni, para sahabat) bangkit menuju orang itu. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Biarkan orang itu, dan jangan putuskan kencingnya”. Dia (Anas) berkata, “Tatkala orang itu usai kencing, maka beliau meminta setimba air, lalu menyirami kencing itu”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Adab (no. 6025), dan Muslim dalam Kitab Ath-Thoharoh (no. 657)][20]
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengecam A’isyah, sebab ia membeli bantal bergambar makhluk hidup. Dengarkan penuturan A’isyah -radhiyallahu anha-
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : أَنَّهَا اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فِيهَا تَصَاوِيرُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ فَقُلْتُ أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مِمَّا أَذْنَبْتُ قَالَ مَا هَذِهِ النُّمْرُقَةُ قُلْتُ لِتَجْلِسَ عَلَيْهَا وَتَوَسَّدَهَا قَالَ إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّورَةُ
“Dia (A’isyah) pernah membeli sebuah bantal yang bergambar. Kemudian Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berhenti di pintu, dan tak mau masuk. Lalu aku (A’isyah) berkata, “Aku bertobat kepada Allah dari dosa yang aku lakukan”. Beliau bersabda, “Bantal apakah ini?!” Aku katakan, “(Bantal yang aku beli) agar Anda bisa duduk di atasnya, dan engkau jadikan bantal tidur”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya pembuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat seraya dikatakan kepadanya, “Hidupkanlah sesuatu (gambar) yang kalian ciptakan”; sesungguhnya para malaikat tak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar. [HR. Al-Bokhoriy dalam Kitab Al-Buyu' (no. 2105), dan Muslim dalam Kitab Al-Libas wa Az-Zinah (no. 5499)][21]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- juga pernah mengecam orang-orang yang tidak mau menghadiri sholat jama’ah. Dengarkan Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- menceritakan kisahnya,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدَ نَاسًا فِي بَعْضِ الصَّلَوَاتِ فَقَالَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْهَا فَآمُرَ بِهِمْ فَيُحَرِّقُوا عَلَيْهِمْ بِحُزَمِ الْحَطَبِ بُيُوتَهُمْ وَلَوْ عَلِمَ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَظْمًا سَمِينًا لَشَهِدَهَا يَعْنِي صَلَاةَ الْعِشَاءِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah kehilangan beberapa orang pada sebagian waktu-waktu sholat. Karena itu, beliau beliau bersabda, “Sungguh aku amat berkeinginan untuk memerintahkan seseorang untuk memimpin manusia melaksanakan sholat, lalu aku pergi kepada orang-orang yang tertinggal sholat tersebut. Kenmudian aku perintahkan (manusia) untuk membakar mereka, lalu merekapun membakar rumahnya dengan beberapa ikat kayu bakar. Andaikan salah satu diantara mereka (yang tertinggal) mengetahui bahwa ia mendapatkan tulang yang berdaging (jika menghadiri sholat jama’ah, pen.), maka pasti ia mendatangi sholat Isya’”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Masajid (no. 1479)][22]
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengecam Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu anhu- saat ia memimpin manusia sholat dalam waktu yang lama.
كَانَ مُعَاذٌ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ فَصَلَّى لَيْلَةً مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى قَوْمَهُ فَأَمَّهُمْ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَانْحَرَفَ رَجُلٌ فَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى وَحْدَهُ وَانْصَرَفَ فَقَالُوا لَهُ أَنَافَقْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا وَاللَّهِ وَلَآتِيَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَأُخْبِرَنَّهُ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا أَصْحَابُ نَوَاضِحَ نَعْمَلُ بِالنَّهَارِ وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى مَعَكَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُعَاذٍ فَقَالَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ اقْرَأْ بِكَذَا وَاقْرَأْ بِكَذَا
“Dahulu Mu’adz sholat bersama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, lalu ia datang(pulang ke kaumnya), dan memimpin kaumnya melaksanakan sholat. Pada suatu malam, dia pernah sholat Isya bersama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Setelah itu, ia datang ke kaumnya dan memimpin mereka sholat. Maka Mu’adz memulai dengan Surat Al-Baqoroh. Akhirnya, ada seorang laki-laki yang menyingkir, lalu memberi salam. Kemudian ia sholat sendirian, dan pulang ke rumahnya. Mereka berkata, “Apakah engkau telah menjadi munafiq wahai fulan?” Laki-laki itu berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan mendatangi Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk mengabarkan hal ini. Kemudian ia pun datang kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata, “Wahai Rasulullah, “Sesungguhnya kami adalah pemilik ternak yang bekerja di siang hari. Sesungguhnya Mu’adz telah sholat Isya’ bersama Anda. Kemudian ia datang (memimpin kami sholat, pen.). Maka ia pun memulai sholatnya dengan Surat Al-Baqoroh”. Maka Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- menghadap kepada Mu’adz seraya bersabda, “Wahai Mu’adz, apakah engkau orang yang suka bikin gara-gara?! Bacalah begini dan begini”.[23] [HR. Muslim dalam Kitab Ash-Sholah (no. 1040)][24]
Para Pembaca yang bijak, semua hadits ini menunjukkan bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- terkadang mengecam sebagian orang yang melakukan pelanggaran demi meluruskannya, bukan malah membiarkannya terus di atas pelanggarannya. Jadi, hadits-hadits ini meruntuhkan persangkaan Bang Lubis yang menyangka secara batil bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak pernah mengecam orang.
3.      Bang Lubis dalam ucapannya di atas seakan menyatakan bahwa mengecam seseorang atas dosanya dan menunjukkan dosa-dosanya merupakan perkara yang bukan termasuk hikmah. Bahkan hikmah menurutnya adalah membiarkan mereka di atas kemungkaran. Ini jelas menyalahi hikmah yang Allah tetapkan di dalam Kitab-Nya saat ia berfirman,
“Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.  Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”. (QS. Al-Maa’idah : 78-79)
Para Pembaca yang mulia, hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Jadi, seorang dai tidak hanya memerintahkan yang ma’ruf, tapi ia juga harus melarang dan mencegah dari yang mungkar; atau sebaliknya. Adapun seorang dai hanya memerintahkan yang ma’ruf, lalu tidak melarang perbuatan mungkar pada diri kaum muslimin, maka ini bukan hikmah sebab menyalahi petunjuk Allah, dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam perkara amar ma’ruf nahi mungkar. Dai semodel ini tidak menempatkan dan merealisasikan ayat dan hadits pada tempatnya. Sebab mereka tidak lagi melakukannahi munkar (melarang kemungkaran). Padahal jika nahi munkar telah ditinggalkan, maka tunggulah kehancuran umat. Inilah yang pernah disinyalir oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang tegak di atas batasan-batasan Allah[25], dan orang yang melanggar batasannya [26], ibarat kaum yang membagi tempat dalam perahu. Sebagian mereka mendapatkan bagian atasnya, dan lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah jika mereka mau mengambil air, maka mereka melewati orang-orang yang ada di atas [27]. Mereka (orang-orang bawah) berkata, “Kami akan melubangi saja bagian kami ini sehingga tidak mengganggu orang-orang yang di atas. Jika mereka (orang-orang yang di atas) membiarkannya dan apa yang mereka inginkan, maka mereka semuanya akan binasa. Tapi jika mereka mencegah perbuatan orang-orang itu, maka mereka (bagian atas) akan selamat, dan juga mereka (bagian bawah) semuanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Asy-Syahadat (no. 2686)][28]
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy -hafizhohullah- berkata, “Hukuman membiarkan kemungkaran bukan hanya kembali kepada pelakunya, bahkan kembali kepada seluruh masyarakat, sebab masyarakat banyak akan di-adzab (disiksa) dengan sebab dosa-dosa sebagian orang, jika mereka tidak mengingkari kemungkaran. Karena kehancuran suatu masyarakat disebabkan oleh dibiarkannya para pelaku kemungkaran bebas melakukan kerusakan di atas permukaan bumi”.[29]
Oleh karenanya, hendaknya Jama’ah Tabligh takut kepada siksa Allah saat mereka membiarkan bid’ah, penyimpangan, dan maksiat di kalangan mereka, dengan dalih menjaga kemaslahatan anggota!!Seorang berdakwah bukanlah hanya sekedar mencari pengikut, tapi untuk menyampaikan hujjah Allah kepada makhluk-Nya. Janganlah kalian berdakwah karena mencari pengikut sebanyak-banyaknya dan berbangga dengan jumlah banyak tersebut sehingga kalian lupa, bahkan sengaja tidak melakukan nahi munkar!!! Ini adalah jalan yang menyalahi dakwah para anbiya’.
Para nabi dan rasul telah menegakkan amar ma’ruf-nahi munkar sampai ada diantara mereka yang tidak memiliki pengikut. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menceritakan hal itu dalam sabdanya,
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ, فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ, وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Umat-umat telah diperlihatkan kepadaku; aku melihat seorang nabi dan bersamanya sekelompok kecil pengikutnya; seorang nabi lagi bersama satu-dua orang (dari kalangan pengikutnya), dan seorang nabi lagi yang tak ada seorangpun bersamanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3410, 5705, 5752, 6472, & 6541), dan Muslim dalam Shohih-nya (220)]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang gamblang bahwa banyak-sedikitnya pengikut bukanlah barometer untuk mengenal bahwa seorang dai berada di atas kebenaran atau kebatilan. Para nabi tersebut –walaupun dakwah dan agama mereka sama-, tapi mereka berbeda dari banyak-sedikitnya pengikut mereka sampai ada diantara mereka yang tidak dibenarkan (tidak didukung), kecuali oleh seorang saja, bahkan ada nabi yang tidak ada orang yang mengikutinya. Maka di dalam hal ini terdapat ibrah (pelajaran) yang mendalam bagi para dai dan masyarakat di zaman ini. Jadi, seorang dai harus mengingat hakikat perkara ini, dan meneruskan langkahnya di jalan dakwah menuju Allah -Ta’ala-, hendaknya tak usah peduli dengan sedikitnya orang-orang yang menerimanya, karena tak ada tanggung jawab atas seorang dai, selain memberikan penyampaian yang jelas. Bagi para dai ada contoh yang baik pada diri para nabi yang terdahulu; tak ada pengikut bersama mereka, kecuali satu-dua orang saja!!
Masyarakat hendaknya jangan merasa risih karena sedikitnya orang-orang yang menyambut seorang dai, dan menjadikan hal sebagai jalan untuk ragu terhadap dakwah yang haq, serta tak mau beriman dengannya. Apalagi menjadikan hal itu sebagai bukti kebatilan dakwah seorang dai, dengan dalih “Tak ada orang yang mengikutinya, atau ia hanyalah diikuti oleh kaum minoritas. Andaikan dakwahnya benar, niscaya dakwahnya akan diikuti oleh oleh mayoritas orang”. Padahal Allah -Azza wa Jalla- berfirman…”.[Lihat Ash-Shohihah (1/755-756)]
Kemudian Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- membawakan firman Allah,
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, -walaupun engkau sangat menginginkannya-”. (QS. Yusuf : 103)
Di dalam ayat lain, Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka. Dan mereka tidak lain hanyalah berdusta”.(Al-An’am :116)
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam As-Sa’diy -rahimahullah- berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa banyaknya pengikut tidak bisa menjadi dalil kebenaran. Sebaliknya, sedikitnya pengikut tidak bisa dijadikan dalil bahwa itulah yang batil. Bahkan kenyataan menunjukkan kebalikannya, pelaku kebenaran sedikit jumlahnya, namun mereka besar kadar dan pahalanya di sisi Allah. Bahkan yang wajib dijadikan dalil untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan adalah jalan-jalan yang bisa mengantar kepada hal itu (yakni, Al-Qur’an). [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal 233)]
Jadi, berdakwah bukanlah tujuannya mencari pengikut sebanyak-banyaknya sampai kita mengikuti selera masyarakat yang mayoritasnya membenci kebenaran. Semoga ini menjadi bahan renungan bagi Bang Lubis dan Jama’ah-nya agar lebih memperbaiki cara berdakwah, dan jangan takut dengan celaan manusia. Laranglah manusia dari perbuatan mungkar sebagaimana kalian memerintahkan yang ma’ruf kepada mereka!! Inilah dakwah yang hikmah dan bijak.
4.      Menjelaskan kesalahan dan penyimpangan seseorang atau suatu kaum adalah perkara yang disyari’atkan agar selain mereka tidak terjerembab dalam kubang kesalahan yang sama. Menjelaskan penyimpangan dan kebatilan suatu kaum tidak mesti kita mengorek, mengintip dan mencari, sebab terkadang penyimpangan dan kebatilan itu muncul sendiri di hadapan kita, bahkan disebarkan oleh para pengusungnya, seperti buku Quo Vadis Salafy yang sedang kita sanggah. Buku ini dijajakan di toko-toko buku. Ketika kita melihat dan membuka buku yang menyimpang, maka tanggung jawab seorang yang berilmu adalah menjelaskan kebatilan yang terdapat di dalamnya. Salafiyyun tidaklah pernah mengorek, apalagi mengintip orang lain demi mengetahui penyimpangannya, sebab umur itu pendek, masih banyak yang perlu kita kerjakan.[30]
5.      Selain itu, perlu diketahui bahwa jika penyimpangan suatu kaum sudah tersebar luas ke publik, maka pengingkaran terhadap penyimpangan itu juga harus secara terbuka dan meluas ke publik. Sedang ini bukanlah perkara yang dicela oleh Allah dalam ayat yang dibawakan oleh Bang Lubis dalam Surat Al-Hujuraat, ayat 12.
Lantas kenapa Ustadz Abdurrahman Lubis dan kawan-kawan menulis QVS  demi membuka “aib” dan “kesalahan” salafiyyun. Nah, jujur saja senjata makan tuan.
6.      Membongkar penyimpangan bukanlah perkara yang membawa dampak negative, bahkan ia merupakan maslahat yang besar dalam menjaga kesucian agama, dan menyelamatkan umat dari syubhat para pelaku kebatilan.
  • Salafy Sering Berselisih? Tidak!!
Buku Quo Vadis Salafy yang ada di hadapan kita ini merupakan kita yang berisi dengan syubhat-syubhat yang banyak. Halaman demi halaman, mayoritasnya berisi syubhat batil yang harus kita kritik. Demikianlah kondisinya jika yang berbicara adalah orang bingung.
Kita dengarkan syubhat berikutnya yang akan dimuntahkan oleh Bang Lubis saat ia berkata,
“Karena itu, Allah akan menutup hatinya dari melihat kebaikan orang. Akhirnya, sering membuat blunder di tengah komunitas muslim lain, khususnya di luar kelompok mereka. Bahkan tak cuma di luar, di kalangan mereka sendiri tak jarang terjadi perselisihan, saling mengklaim kebenaran, mengkafirkan dan membid’ahkan sesama”. [Lihat QVS (hal.30)
Menjawab kerancuan Bang Lubis, kami katakan,
1.       Alhamdulillah, salafiyyun alias Ahlus Sunnah dari dulu sampai sekarang telah dikenal sebagaisuatu kaum yang menjaga persatuan kaum muslimin di atas kebenaran. Apabila mereka melihat kaum muslimin meninggalkan aqidah salaf, maka mereka mencegahnya dan menunjukkan letak kekeliruan seseorang atau kelompok agar ia kembali kepada prinsip aqidah. Ini semua demi menjaga keutuhan umat di atas Al-Kitab dan Sunnah.
Allah -Ta'ala- berfirman memerintahkan bersatu di atas al-haq,
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Kitab) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kalian orang-orang yang bersaudara karena nikmat Allah; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk". (QS. Ali Imraan : 103)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata saat menafsiri ayat di atas, "Allah -Ta'ala- memerintahkan mereka untuk bersatu (di atas al-haq), dan melarang mereka dari perpecahan. Sungguh telah datang beberapa yang melarang dari perpecahan, dan memerintahkan untuk bersatu".[31]
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah meridhoi tiga hal bagi kalian, dan membenci tiga hal bagi kalian. Maka Allah meridhoi bagi kalian kalau kalian menyembahnya, dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya; kalian berpegang teguh dengan tali (Kitab) Allah, dan jangan berpecah. Dia membenci bagi kalian qiila wa qoola (gossip), banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta”.[HR. Muslim dalam Kitab Al-Aqdhiyah (no. 4456)][32]
2.      Adapun ahli bid’ah –seperti JT- maka mereka adalah kaum yang telah memecah belah umat dalam aqidah dan ajaran yang menyelisihi aqidah dan ajaran salaf.[33]
3.      Perselisihan dan khilaf jika terjadi karena perkara aqidah dan prinsip, maka yang berada di atas kebatilan, ia yang dicela oleh Allah; sedang yang berada di atas kebenaran, ia akan dipuji oleh Allah.
4.      Perselisihan dan khilaf ada dua macam: khilaf tanawwu’, dan khilaf tadhoodKhilaf tanawwu’tidaklah tercela, sedang khilaf tadhood adalah tercela. Nah, kami bertanya kepada Bang Lubis, “Khilaf apa yang terjadi di antara salafiyyun. Khilaf tadhood??!” Tak mungkin, sebab jika terjadi, maka pasti yang satunya tidaklah disebut lagi dengan salafy, tapi ia adalah ahli bid’ah, atau bahkan ia mungkin kafir, jika khilafnya besar.
5.      Bila seorang yang berada di atas al-haq berdasarkan ilmu yang ia ketahui -bukan dengan kejahilan dan kebingungan-, maka ia harus yakin bahwa ia adalah pengikut al-haq. Seorang tak boleh ragu dalam menyatakan kebenaran aqidah salaf yang ia yakini selama ini, tak boleh ragu dan bimbang. Sebaliknya, ia yakin bahwa aqidah lain yang menyelisihi aqidah salaf adalah aqidah batil. Ini bukan sekedar klaim kebenaran, tanpa hujjah, bahkan meyakini aqidah salaf, tanpa keraguan. Jangan seperti Bang Lubis yang belum bisa menyatakan bahwa aqidahku adalah aqidah yang benar, sebab ia masih bingung dengan kebenaran itu sendiri. Nas’alullahal afiyah was salamah minal jahl wa ahlih.
6.      Di akhir ucapan di atas, Bang Lubis berdusta atas Ahlus Sunnah alias salafiyyun bahwa mereka suka mengkafirkan dan membid’ahkan sesama. Jelas ini kebohongan. Kapan salafiyyun mengkafirkan sesama kaum muslimin. Jika mereka mengkafirkan orang –dan ini jarang sekali-, maka mereka mengkafirkan dengan hujjah, sebab mengkafirkan orang islam adalah besar di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Oleh karenanya, Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah menetapkan syarat-syarat pengkafiran, dan menjelaskan penghalang-penghalangnya. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kaum yang amat takut dalam mengkafirkan seorang muslim.[34] Ambil saja sebagai contoh, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang dikenal dengan keluasan ilmunya, ternyata beliau adalah orang yang paling takut mengkafirkan seorang yang telah bersyahadat. Karenanya, jika kita menelaah semua karya tulis beliau, maka kita tak akan menemukan nama orang-orang yang beliau kafirkan, kecuali segelintir orang. Seingat kami, beliau hanya mengkafirkan Ibnu Arobi Ath-Tho’iy, Al-Hallaj, dan Ibnu Sab’in. Hanya bilangan jari saja.[35]
Jadi, tuduhan bahwa salafiyyun suka mengkafirkan adalah perkara dusta. Kedustaan akan dipertanggungjawabkan oleh Bang Lubis di hadapan Allah -Azza wa Jalla-, pada hari tidak lagi bermanfaat harta dan anak.
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. (QS. Al-Ahzaab : 58)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dakam menjelaskan makna ayat di atas, “Maksudnya, mereka (yang menuduh) melontarkan kepada mereka (yang tertuduh) sesuatu yang mereka berlepas diri darinya, sesuatu mereka tak pernah mereka lakukan dan kerjakan…Inilah kedustaan yang nyata, seorang menceritakan atau menukil dari kaum mukminin dan mukminat sesuatu yang tak pernah mereka kerjakan dalam rangka mencela dan merendahkan mereka” .[36]
Ayat ini merupakan pukulan berat bagi Bang Lubis dan Penulis QVS yang telah menulis QVS dengan berisi kedustaan-kedustaan, mulai dari tuduhan bahwa salafiyyun adalah kaki tangan Zionis, pengikut paham batil Mujassimah/Musyabbihah, Tabligh juga menyesatkan ulama (semisal, Ath-Thohawiy, Syaikhul Islam, Adz-Dzahabiy, Ibnul Qoyyim, Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Albaniy). Selain itu, Penggarap QVS ini juga menuduh bahwa Salafiyyun adalah golongan sesat Hasyawiyyah, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab belajar kepada Orinetalis bernama Hempher, ta’ashshub (fanatic buta), tuduhan menghina Imam Ghozaliy.
Penulis QVS juga menuduh salafiyyun bahwa mereka melarang ziarah kubur, menghina kuburan orang-orang shalih, mudah menuduh sesat. Kata Penulis QVS bahwa salafiyyun juga menuduh sahabat sebagai munafiq –na’udzu billah-, melakukan pembantaian di Jazirah Arab, dan masih banyak lagi tuduhan keji Penulis Quo Vadis Salafy yang tak sempat kami sebutkan. Bagi Anda yang mau mengetahuinya, baca tuduhan-tuduhan keji dan dusta ini dalam QVS dari (hal. 86-281)
Semua itu adalah tuduhan-tuduhan dusta atas salafiyyun yang akan menjadi penyesalan besar bagi Bang Lubis (Sang Editor “Ulung”), dan Kedua Penulis QVS, sekaligus menjadi pembersih dosa orang-orang yang mereka tuduh secara keji dan dusta. Inilah yang disinyalir oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa itu orang bangkrut? Mereka (para sahabat) menjawab, “Orang bangkrut di antara kami adalah orang yang tak memiliki dirham, dan tak pula barang-barang”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut diantara umatku akan datang pada hari kiamat membawa pahala sholat, puasa, dan zakat. Dia datang sedang ia telah mencela si ini, menuduh si ini, memakan harta si ini, menumpahkan darah si ini, memukul si ini. Maka si ini dan si ini akan diberikan pahala kebaikan si bangkrut. Jika kebaikan si bangkrut telah habis sebelum dibereskan urusannya, maka akan diambilkan dari dosa-dosa mereka, lalu diberikan kepada si bangkrut seraya dijebloskan ke neraka”. [HR. Muslim dalam Al-Birr wa Ash-Shilah (no. 6522)] [37]
7.      Adapun masalah membid’ahkan orang-orang yang pantas dibid’ahkan karena memiliki penyimpangan aqidah, maka ini merupakan perkara yang masyhur di kalangan ulama salaf. Karenanya, para salaf menyebutkan pribadi, maupun kelompok yang dianggap ahli bid’ah. Dari kalangan pribadi -misalnya- mereka membid’ahkan Washil bin Atho’, Amer bin Ubaid, Al-Ja’d bin Dirham, Ahmad bin Abi Du’ad, Bisyr Al-Marisiy, Abu Manshur Al-Maturidiy, Abdur Rahman bin Muljam, Al-Karobisiy, Al-Muhasibiy, dan lainnya. Masalah pembid’ahan para person ini, kalian bisa lihat dalam kitab-kitab aqidah,Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ahAs-Sunnah,[38]Asy-Syari’ah, Al-Ibanah Al-Kubro, Al-Ibanah Ash-Shughro, Naqd Bisyr Al-Marisiy, dan lainnya.
Demikian pula mereka membid’ahkan kelompok yang menyimpang dari jalan Salaf, seperti, Jahmiyyah, Khowarij, Mu’tazilah, Syi’ah, Shufiyyah, Murji’ah, Qodariyyah, Jabriyyah, dan Nawashib.
Para ulama salaf sejak dahulu telah membid’ahkan mereka. Ini menunjukkan kepada kita bahwa membid’ahkan orang yang pantas dibid’ahkan adalah perkara yang disyari’atkan.


[1] Ini adalah sebuah bukti kuat bahwa Pengedit dan Penulis Quo Vadis Salafy adalah para penghujat yang memiliki mulut yang lancang. Walaupun mereka berusaha membela diri di (hal. 8) bahwa mereka bukan penghujat. Tapi pengakuan tak cukup, tanpa ada bukti konkrit. Mereka sebenarnya lempar batu sembunyi tangan.
[2] Pembahasan masalah ini telah berlalu sebelumnya; tak perlu kami ulangi. Silakan dirujuk!!
[3] Bantahan tentang bid’ah hasanah akan datang, Insya Allah -Ta’ala-.
[4] Ini tampak jelas ketika membicarakan jenis dan contoh bid’ah. Tak ada bid’ah yang ia sebutkan kecuali ia beri komentar di catatan kaki sebagai pembenaran terhadap bid’ah-bid’ah yang disebutkan oleh para ulama kita. [Lihat QVS (hal.1-7)]
Adanya bid’ah hasanah, juga diperkuat oleh dua Penulis Quo Vadis Salafy. Na’udzu billahi minal jahli wa ahlih. [Lihat QVS (hal. 198-199)]
[5] Ahli dzikir maksudnya adalah orang-orang yang berdzikir secara berjama’ah, atau mereka adalah kelompok yang berdzikir di masjid saat JT melakukan jaulah. Tapi tampaknya yang pertama lebih kuat sebagaimana ia jelaskan sebelumnya. [Lihat QVS (hal. 3/footnote: 5)]
[6] Abu Abdir Rahman: Sapaan bagi Abdullah bin Mas’ud. Abu Abdirrahman, artinya: Bapaknya Abdur Rahman. Hal ini juga berlaku di negeri kita sebagai sapaan penghormatan.
[7] Ini membantah alasan Bang Lubis saat ia membolehkan dzikir jama’ah dengan alasan bahwa dengan suara tertentu ketika berdzikir dapat menimbulkan kekhusyu’an dan tawajjuh. Padahal seorang tak mungkin akan khusyu’ dan tawajjuh jika menyelisihi Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam berdzikir. Hanya saja seorang terkadang merasa khusyu’, tapi sebenarnya itu bukan khusyu’, bahkan ia adalah bisikan dan peluluan dari setan. Nas’alullahal afiyah was salamah.
[8] Parahnya lagi, preman-preman yang baru tobat sehari-dua hari, eh malah disuruh khuruj dan berdakwah. Akhirnya, jika mereka menemui orang-orang yang tak sepaham dengan mereka, dan kehabisan hujjah ketika ditanya dan dialog, maka tidak ada lagi hujjah, kecuali pukulan dan tinju. Ini bukan ikromul muslimin (memuliakan kaum muslimin), tapi isaa’atul muslimin (menyakiti kaum muslimin). Oleh karenanya, saya nasihatkan kepada para pemimpin Jama’ah Tabligh –diantaranya Ustadz Bang Lubis- agar mendidik dan mengajari mereka ilmu agama yang akan meluruskan akhlaq mereka (preman), jangan disuruh khuruj (keluar berdakwah). Akhirnya, bukan memperbaiki, malah merusak.
Ketika terjadi pemukulan-pemukulan terhadap masyarakat diberbagai daerah yang dilakoni oleh para mantan preman dari kalangan JT, maka pasti alasan mereka bahwa hal itu dimaklumi saja karena mereka preman. Ini alasan Jama’ah Tabligh. Tapi apakah alasan ini bisa diterima begitu saja??! Tentu tidak, yang harus kita pikirkan adalah solusinya agar mereka tidak melakukan hal itu. Solusinya adalah belajar dan menuntut ilmu dari para ulama atau ustadz-ustadz yang juga berakhlaq agar ia bisa duduk memperhatikan, hidup mencontoh kehidupan mereka dalam bermu’amalah.
[9] Ini membantah logika batil yang diutarakan oleh seorang Penulis Jama’ah Tabligh, Dody Sumantri El Cibitungi saat ia berkata, “Seorang supir di rumah bersama anak istrinya tetapi ketika pergi kerja jadi supir, adakah bawa istri ?? bawa anak ?? tentu TIDAK !!Kenapa? Karena badan supir itu hanya satu…Jadi salahkah orang yang keluar di jalan Alloh atas perintah Alloh telah tinggalkan anak istrinya di rumah ?? Sedangkan badannya Cuma satu, kalaulah badannya dua pastilah satu pergi khuruj dan satu lagi di rumah”. [Lihat Mengapa Saya Tinggalkan anak Istri untuk Khuruj fi Sabilillah (hal. 43-44) oleh Dody Sumantri El Cibitungi Abdan Syakuro]
Menjawab Dody Sumantri At-Tablighiy ini, kami katakan, “Jelas cara kalian salah!! Sebab telah meninggalkan tanggungan kewajiban yang sifatnya fardhu ain untuk ditunaikan. Adapun dakwah, maka ia fardhu kifayah; jika sudah ada yang melakukannya, maka kewajiban dakwah telah gugur dari yang lainnya. Makanya para sahabat tidak semuanya diutus pergi berdakwah. Berapa banyak sahabat yang tidak pernah keluar berdakwah!!”.
Adapun Bang Dody berdalih bahwa dakwah itu diperintahkan Allah, ya memang Allah perintahkan, tapi bukan kepada setiap orang, tapi kepada orang-orang yang berhak mengembannya.
Bang Dody juga berdalih dengan kisah Ibrahim saat meninggalkan anak dan istrinya di Makkah. Padahal itu tak bisa dijadikan hujjah oleh Tabligh. Ibrahim beda dengan kalian wahai JT. Ibrahim berangkat karena perintah dan titah langsung yang di arahkan secara khusus kepada Ibrahim. Nah, apakah JT juga menerima wahyu berisi perintah dan titah khusus ?! Tentu tak ada, kecuali kalau diantara JT ada yang mengaku nabi.
[10] Seorang bapak tua pernah didurhakai anaknya yang terlibat dalam kegiatan khuruj JT. Pasalnya, si bapak mencari anaknya dalam jarak ratusan kilometer. Ketika bertemu, si bapak memerintahkan anaknya pulang ke rumah karena ibunya sedang sakit, dan tak ada yang merawatnya jika si bapak keluar cari nafkah. Ternyata sang anak menolak perintah si bapak, dan tetap bersikukuh meneruskan program khuruj-nya, walapun ia harus mendurhakai orang tuanya. Akhirnya, si bapak pulang dengan hati sedih dan perasaan remuk. Oh, alangkah durhakanya sang anak yang terlibat dalam kegiatan Jama’ah Tabligh (JT). Kisah ini bukanlah fiktif untuk menyudutkan Tabligh, tapi kisah nyata yang kami menjadi salah satu saksinya.
[11] Lihat As-Silsilah Ash-Shohihah (no. 342) karya Syaikh Al-Albaniy.
[12] Alhamdulillah, kami juga sering keluar berdakwah kemana-mana setelah kami belajar di depan para ulama di Al-Madinah An-Nabawiyyah dan Makkah Al-Mukarromah. Kami biasa dakwah ke daerah-daerah, dan beberapa propinsi. Tak perlu kami sebutkan nama daerah propinsinya, karena terlalu banyak jika disebut satu persatu.
[13] Kami nukilkan dari Lamm Ad-Durr Al-Mantsur  karya Jamal bin Furoihan Al-Haritsiy dari beberapa tempat yang berbeda. Kitab ini amat baik diajarkan di kalangan syabab pada hari, karena di dalamnya terdapat atsar-atsar yang banyak dilupakan, dan tak diketahui oleh manusia. Kami sengaja nukilkan atsar-atsar ini agar Jama’ah Tabligh mengetahui bahwa manhaj mereka dalam bermu’amalah dengan ahli bid’ah adalah berbeda dengan manhaj Salafush Shalih. Qul muutuu bighoizhikum!!
[14] Andaikan Al-Imam Abu Zur’ah -rahimahullah- hidup di zaman kita, lalu melihat kitab-kitab Jama’ah Tabligh yang berisi pemikiran dan aqidah sesat, kami yakin beliau akan mengingkarinya dengan keras sampai Bang Lubis dan Jama’ah Tabligh akan menggelari beliau “suka mencela”, padahal tidak demikian. Itu adalah nasihat, bukan celaan, wahai saudaraku !!
[15] Bukan seperti yang dikatakan oleh Muhammad  Ihsan Zainuddin (da’i WI) dalam sebuah artikel yang berjudul “Kita harus berubah”, “Tapi anehnya, hingga hari ini masih saja ada yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah yang membiarkan dirinya terjebak dalam “kenikmatan” menyebar fitnah dan syubhat semacam itu (Dan anehnya, mereka tidak pernah berani untuk tatsabbut secara langsung!)” .[Lihat Al-Bashirah (edisi 07/tahun I/1427 H/ 2006 M)] Kenapa harus tatsabbut, jika sudah jelas ?!
[16] Makna Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu Agama). Lalu diganti nama oleh ulama’ Maghrib karena isinya tak sesuai namanya. Menurut mereka lebih layak dinamai dengan“Imatah Ulumiddin”(Mematikan Ilmu Agama).
[17] Berani dakwah, tanpa ilmu. Nah inilah ciri Jama’ah Tabligh, memiliki kesamaan dengan kaum Nashoro!! Wallahul Musta’an…
[18] Walaupun kita akui bahwa dakwah beliau ada yang tidak verbal, hanya berupa perbuatan yang dicontoh, tapi tidak semuanya!!
[19] Sekarang JT telah dikenal dengan Jama’ah Tukang pukul pasca pemukulan yang dilakukan oleh mereka terhadap orang-orang yang tidak mau menerima dakwah batil mereka. Sebenarnya rusaknya nama baik JT dari pemukulan tersebut, tidak disadari oleh kaum JT.
[20] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 290) karya Abul Hajjaj Al-Mizziy.
[21] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 17559) karya Abul Hajjaj Al-Mizziy.
[22] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 13704) karya Abul Hajjaj Al-Mizziy.
[23] Yakni, surat-surat pendek, seperti: Surat Al-A’laaSurat Al-Ghosyiyah, dan lainnya sebagaimana dalam riwayat lain.
[24] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 2533) karya Abul Hajjaj Al-Mizziy.
[25] Yaitu, orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, bukan hanya amar ma’ruf, tapi juga harus ber-nahi munkar. Ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath(5/362).
[26] Yaitu, orang-orang yang tidak menegakkan amar ma’ruf dan tidak pula menegakkan nahi munkar,
[27] Tentunya ini mengganggu orang-orang yang di atas.
[28] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 11628) karya Al-Mizziy.
[29] Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/278), karya Syaikh Salim Al-Hilaliy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1422 H.
[30] Andaikan kami tak sayang kepada kaum muslimin, maka kami sebenarnya tak perlu membantahQVS, sebab waktu bagi kami berharga. Tapi demikianlah konsekuensi al-haq yang kami perjuangkan; kemungkaran tak boleh kita diamkan.
[31] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/507) karya Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy Al-Atsariy, cet. Mu’assasah Ar-Royyan, 1420 H.
[32] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 12607).
[33] Insya Allah, kami akan paparkan nanti beberapa peyimpangan Tabligh dalam beraqidah.
[34] Berbeda dengan Bang Lubis, dan kedua Penulis QVS yang mengkafirkan salafiyyun (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) secara membabi buta, tanpa hujjah!! Beginikah didikan Jama’ah Tabligh bagi mereka?!
[35] Ahlus Sunnah berada dalam sikap pertengahan dalam mengkafirkan orang; pertengahan antara orang yang ekstrim dalam mengkafirkan, dan antara orang yang teledor dalam hal ini sampai ia tak mau mengkafirkan siapapun, walaupun sudah terpenuhi syarat ia dikafirkan. Masalah kaedah pengkafiran ini, and abaca dalam kitab Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wa Al-Ahwa’, karya Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhailiy -hafizhohullah-, cet. Maktabah Al-Ghuroba’ Al-Atsariyyah. Di dalamnya terdapat pembahasan ilmiah yang amat rinci terhadap masalah PENGKAFIRAN, syarat-syarat, dan penghalangnya. Kitab ini amat perlu dibaca oleh Jama’ah Tabligh, khususnya Bang Lubis.
[36] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (3/678) karya Ibnu Katsir, cet. Mu’assasah Ar-Royyan, 1420 H.
[37] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 14009).
[38] Karya Ibnu Abi Ashim, Abdullah bin Ahmad, Al-Khollal, dan lainnya.
Sumber :http://almakassari.com/tabligh-bingung-salafi-menjawab-2.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...