>>>HUKUM KLOSET MENGHADAP KIBLAT


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
KlosetPertanyaan: Bagaimana hukumnya kloset menghadap kiblat?
Jawaban: Permasalahan bangunan WC menghadap atau membelakangi kiblat terkait dengan hukum membuang hajat dengan posisi menghadap kiblat atau membelakanginya. Asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar menyebutkan khilaf ulama dalam masalah ini hingga delapan pendapat yang paling masyhur.
Pendapat terpilih insya Allah ta’ala adalah haram hukumnya buang hajat dalam keadaan menghadap kiblat atau membelakanginya apabila di tempat terbuka tanpa penghalang yang dekat.
Dan boleh apabila terdapat penghalang yang dekat atau di dalam sebuah bangunan, seperti bangunan-bangunan WC di masa ini.
Akan tetapi untuk kehati-hatian dan agar keluar dari khilaf, janganlah membangun WC dalam posisi menghadap kiblat atau membelakanginya.
Adapun dalil yang mengharamkannya, adalah sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا ، أَوْ غَرِّبُوا قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat maka janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, akan tetapi menghadaplah ke Timur maupun ke Barat.” Berkata Abu Ayub: “Maka tatkala kami mendatangi negeri Syam, kami dapati bangunan-bangunan WC menghadap kiblat, maka kami menyimpang dari arah kiblat dan kami memohon ampun kepada Allah ta’ala.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Ayub Al-Anshari radhiyallahu’anhu]
Ucapan sahabat yang mulia Abu Ayub radhiyallahu’anhu di atas hanyalah pendapat pribadi beliau, adapun dari Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam maka beliau sendiri pernah membuang hajat menghadap kiblat di dalam bangunan. Sehingga makna hadits di atas hanyalah berlaku di luar bangunan yang tidak memiliki penghalang sama sekali. Berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,
ارْتَقَيْتُ فَوْقَ بَيْتِ حَفْصَة فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْم
“Aku pernah menaiki bagian atas rumah Hafshoh, lalu aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sedang membuang hajat dalam keadaan menghadap kiblat, membelakangi Syam.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Peringatan: Maksud hadits di atas tidaklah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan sengaja, akan tetapi tanpa sengaja. Bukan pula berarti Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma melihat aurat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika buang hajat. Bahkan diantara adab buang hajat yang diajarkan beliau shallallahu’alaihi wa sallam adalah menjauh dari pandangan manusia atau masuk ke dalam WC, meskipun bangunan WC tersebut hanya bisa menutupi auratnya dan bagian atasnya terlihat maka tidak masalah.
>>>www.salafyciampeabogor.blogspot.com<<<
Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daud rahimahullah,
عَنْ مَرْوَانَ الأَصْفَرِ قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ أَنَاخَ رَاحِلَتَه مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ثُمَّ جَلَسَ يَبُولُ إِلَيْهَا فَقُلْتُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَلَيْسَ قَدْ نُهِىَ عَنْ هَذَا قَالَ بَلَى إِنَّمَا نُهِىَ عَنْ ذَلِكَ فِى الْفَضَاءِ فَإِذَا كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ شَىْءٌ يَسْتُرُكَ فَلاَ بَأْس
“Dari Marwan Al-Ashfar rahimahullah, beliau berkata: Aku melihat Ibnu Umarmenghalangi arah kiblat dengan hewan tunggangannya kemudian beliau kencing menghadapnya dalam keadaan duduk, maka aku katakan, wahai Abu AbdirRahman, bukankah ini telah dilarang? Beliau berkata: Tentu, akan tetapi dilarang hanyalah ketika di tempat terbuka tanpa penghalang, sehingga jika terdapat antara dirimu dengan kiblat sebuah penghalang, maka tidak apa-apa.” [HR. Abu Daud, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 8]
Pendapat ini pula yang dikuatkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah (5/97-99 no. 4480).
Sumber : ustadz sofyan ruray http://nasihatonline.wordpress.com/2013/03/16/hukum-kloset-menghadap-kiblat/
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

UNTUKMU, ......!!! UNTUK KITA SEMUA ,..... NASEHAT UMUM


1. kepada kaum muslimin seluruhnya, para pengajar, da'i dan jama'ah-jama'ah Islam wajib untuk mencontoh Rasulullah, sehingga mereka harus memulai dakwah menuju tauhid untuk memperbanyak jama'ah umat Islam, agar didapat lingkungan yang sholih sampai masyarakat muslim yang sholih menjadi kuat. Maka apabila telah terpenuhi persyaratan pasti akan keluar seorang pemimpin muslim yang adil yang berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah sehingga akan terwujud kemuliaan dan pertolongan bagi kaum muslimin.
2. Wajib atas seluruh kaum muslimin dan para da'inya secara khusus untuk menerapkan hukum Islam pada diri-diri dan keluarga mereka sebelum menuntut pemerintah untuk menerapkannya, sampai ditakdirkan kemenangan untuk mereka. Sunnguh saya telah melihat sebagian jama'ah Islam tidak menerapkan islampada muamalah-muamalah bersama manusia, bahkan tidak menerima hukum yang telah diputuskan pada mereka, dan inilah yang terjadi pada sebagian individu.
3. Bahwa upaya untuk berhukum dengan apa yang Allah turunkan adalah kewajiban setiap muslim, dengan kelembutan, hikmah dan nasehat-nasehat yang baik, sebagai wujud pengamalan firman Allah:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." [Qs. An-Nahl: 125]
4. Tidak bisa menggunakan kekerasan dan demonstrasi-demonstrasi untuk menuntut penerapan syari'at Islamiyah karena cara-cara tersebut bukan cara islam dan tidak akan mewujudkan keinginan, bahkan kadang-kadang berakibat kemadharatan-kemadharatan fisik pada individu maupun masyarakat dan jama'ah-jama'ah Islam. Inilah yang terjadi di sebagian negara Arab dan Islam. Sungguh aneh sekali, bahkan sangat disayangkan bahwa negara Arab para wanita keluar berdemonstrasi untuk menuntut penerapan Al-Quran dan jilbab yang syar'i dan mereka tidak mengetahui bahwa mereka telah menyelisihi Al-Quran yang mamarintahkan mereka untuk tidak keluar. Allah berfirman:
وقرن في بيوتكن
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu." [Qs. Al-Ahzab: 33]
Maksudnya senantiasalah di dalam rumah-rumah kalian dan jangan keluar.
5. Ayat-ayat yang digunakan oleh sebagian mereka untuk mengkafirkan kaum muslimin:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." [Qs. Al-Maidah: 44]
Ibnu 'Abbas berkata: "Siapa yang menyetujuinya (tentan wajibnya berhukum dengan hukum Allah tetapi tidak melakukannya,) maka dia adalah orang zhalim yang fasik". Tafsir inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Atho 'berkata: "Kekafiran di bawah kekafiran (yaitu kufur ashghor / kekafiran yang kecil yang tidak mengeluarkan dari Islam)".
a. Maka seorang hakim saat berhukum dengan selain yang Allah turunkan sedangkan dia mengakui (bahwa hukum Allah itu yang paling sempurna, paling dapat memperbaiki umat dan yang harus diterapkan) maka dia adalah orang zhalim yang fasik yang harus dinasehati dengan lembut dan di do'akan dengan kebaikan .
www.salafyciampeabogor.blogspot.com
b. Adapun hakim yang menentang hukum Allah, atau menggantinya dengan hukum buatan manusia, dan meyakini bahwa hukum tersebut lebih bisa memperbaiki umat, maka dia kafir, murtad dari islam. Dan orang ini juga harus dinasehati dengan lembut, sebagai pengamalan firman Allah kepada Musa dan Harun agar mereka berdua menasehati Fir'aun yang telah mengaku sebagai Rabb:
اذهبا إلى فرعون إنه طغى () فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى
"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." [Qs. Thaha: 43-44]
6. Para da'i harus pelan-pelan (tidak terburu-buru) dalam menegakkan hukum Islam, dan bersabar terhadap apa yang menimpa mereka dari gangguan dalam rangka mencontoh Rasulullah Al-Amin dan terus menerus dalam berdakwah kepada Tauhidullah (mentauhidkan Allah) dalam ibadah, do 'a, berhukum, jihad fi sabilillah, dan pendidikan Islam untuk mewujudkan masyarakat yang shalih yang berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam seluruh urusan dalam kehidupan.
Sumber :http://www.salafy.or.id/nasihat-umum/
(Dikutip dari buku, Kiat Sukses Mendidik Anak, Pustaka Al Haura ')

    Buruknya Haus Akan Kekuasaan

    <<<www.salafyciampeabogor.blogspot.com>>>

    Lain dulu lain sekarang. Mungkin ungkapan ini cocok dengan keadaan kaum muslimin pada hari ini.Mereka telah terhempas jauh dari tuntunan Allah-Ta'ala-, dan Rasul-Nya-Shallallahu alaihi wa sallam-.Besarnya gelombang syahwat dan syubhat membuat mereka terpisah jauh dari panutan mereka yaitu para sahabat nabi-Shallallahu alaihi wa sallam-dan para shalafush shaleh. Mereka beraqidah, bukan dengan aqidah Nabi-Shollallahu 'alaihi wasallam-dan para sahabatnya. Mereka beribadah, bukan dengan ibadah yang dicontohkan oleh Nabi-Shollallahu 'alaihi wasallam-dan para sahabatnya. Mereka bermu'amalah, bukan dengan mu'amalah Nabi-Shallallahu 'alaihi wa sallam-, dan para sahabat. Akhirnya, Allah Ta'ala membiarkan mereka memilih jalannya sendiri dan memalingkan mereka dari kebenaran, kemana mereka mau berpaling sebagai hukuman kepada mereka atas kedurhakaannya kepada Rasulullah-Shollallahu 'alaihi wasallam-, dan akibat mereka tidak mau mengikuti jalannya para sahabat.
    Allah-Ta'ala-berfirman,
    ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
    "Barang siapa yang durhaka kepada Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman (para sahabat) Kami biarkan dia dalam kesesatannya dan kelak kami akan masukkan mereka ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali." (QS. An-Nisaa ': 115)
    Jika kita mau memperhatikan kondisi kaum muslimin pada hari ini dan membandingkannya dengan para sahabat dan pengikut mereka yang setia, maka kita akan mendapatkan perbedaan yang sangat jauh. Pada hari ini, kaum muslimin berlomba-lomba dan haus kekuasaan untuk mendapatkan jabatan dan menjadi pemimpin. Padahal para salaf terdahulu menjauhi dan menghindarinya.
    Segala cara mereka tempuh, tanpa peduli lagi dengan halal tidaknya. Maka tampaklah gambar-gambar mereka terpampang di setiap sudut jalan dengan kata-kata yang menggoda berharap agar mereka dipilih oleh masyarakat. Mulai dari orang kaya sampai guru ngaji; yang tua maupun yang muda, semua berebut kursi jabatan. Sungguh sial para pengemis kekuasaan tersebut; mereka telah menghamburkan harta dimana-mana demi meraih kekuasaan. Andaikan harta yang mereka hamburkan dalam pesta demokrasi itu mau dikumpulkan, lalu disedekahkan di jalan Allah, niscaya banyak orang yang akan merasakan manfaatnya. Tapi demikianlah setan menghiasi kehidupan dunia ini dengan segala macam tipuannya untuk membinasakan manusia, dan membuat mereka rugi di dunia.
    Para salafush shaleh terdahulu sangat takut jika mereka diberikan kekuasaan. Sebab mereka tahu dan pahami besarnya konsekuensi dan pertanggung jawaban kekuasaan kelak di sisi Allah-Ta'ala-
    Rasulullah-Shallallahu alaihi wa sallam-bersabda,
    "Ingatlah, setiap orang diantara kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir (pemimpin masyarakat) yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang rakyatnya ". [HR. Bukhari (5200) dan Muslim (4701)]
    Seorang yang mau menjadi pemimpin dan penguasa, harus mengetahui betul bahwa kekuasaan adalah amanah yang amat berat dipundak, dan tanggung jawab yang amat besar di sisi Allah, sebab ia harus menunaikan hak orang banyak, dan berbuat adil kepada mereka sebagaimana halnya mereka ingin agar rakyat menunaikan tugasnya di hadapan dirinya. Sungguh tugas ini sangat berat digenggam, dan sangat berbahaya. Tak heran jika Panutan kita, Nabi Muhammad-Shollallahu 'alaihi wasallam-mengingatkan kita tentang bahayanya kekuasaan, dan orang yang memintanya.
    Abdurrahman bin Samuroh-radhiyallahu 'anhu-berkata, "Rasulullah-Shollallahu' alaihi wasallam-bersabda kepadaku,
    "Wahai Abdurrahman bin Samuroh, janganlah engkau meminta kekuasaan. Karena jika kau diberi kekuasaan dari hasil meminta, maka engkau akan diserahkan kepada kekuasaan itu (yakni, dibiarkan oleh Allah & tak akan ditolong, pent.). Jika engkau diberi kekuasaan, bukan dari hasil meminta, maka engkau akan ditolong ". [HR. Al-Bukhoriy (6622, 6722, 7146, & 7147), dan Muslim (4257, & 4692)]
    Abu Musa Al-Asy'ariy-radhiyallahu 'anhu-berkata,
    "Aku pernah masuk menemui Nabi-Shollallahu 'alaihi wasallam-bersama dua orang sepupuku. Seorang diantara mereka berkata, "Wahai Rasulullah, jadikanlah kami pemimpin dalam hal yang Allah-Azza wa Jalla-berikan kepadamu. Orang kedua juga berkata demikian. Maka beliau bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula orang yang rakus kepadanya". [HR. Al-Bukhoriy (7149), dan Muslim (1733)]
    Nabi-Shallallahu 'alaihi wa sallam-bersabda,
    "Kami tak akan mempekerjakan dalam urusan kami orang yang menginginkannya". [HR. Al-Bukhoriy (2261, 6923, & 7156), dan Muslim (1733)]
    Seorang yang meminta kekuasaan dan rakus terhadapnya akan mengalami penyesalan, sebab ia bukan ahlinya. Kekuasaan menjadi sebuah kenikmatan sementara, sedang kesusahan dan tanggung jawab akan menanti di Padang Mahsyar.
    Nabi-Shallallahu 'alaihi wa sallam-bersabda,
    "Sesungguhnya kalian kelak akan rakus terhadap kekuasaan, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Kekuasaan adalah sebaik-baik penetek (yakni, awalnya penuh kelezatan dan kenikmatan, pent.), Dan sejelek-jelek penyapih (yakni, di akhirnya, saat terjadi kudeta, dan pertanggungjawaban di hari akhir, pent.) ". [HR. Al-Bukhoriy (6729), dan An-Nasa'iy (4211 & 5385)]
    Sungguh nasihat dan wejangan berharga ini seyogyanya menjadi peringatan bagi kaum muslimin tentang beratnya tanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Hendaknya jangan berani meminta kekuasaan.Sebelum seorang diberi kekuasaan dan tanggung jawab, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan takut akan azab-Nya dengan membentengi diri mereka dengan ilmu sebelum menjadi pemimpin.
    Seorang ulama tabi'in, Al-Ahnaf bin Qois Al-Bashriy-rahimahullah-berkata, "Umar bin Khattab pernah mengatakan kepada kami," Pelajarilah ilmu agama sebelum kalian memegang kekuasaan ". Sufyan berkomentar, "Karena seseorang yang telah mengetahui ilmu agama, ia tidak akan berhasrat lagi mengejar kekuasaan." [Lihat Shifatush shafwah (2/236)]
    Demikian pula para salaf yang lain, mereka sangat takut jika diberi kekuasaan. Al-Miswar bin Makhromah-radhiyallahu 'anhu-bekata, "Ketika Abdur Rahman bin Auf diberi mandat dalam majelis syura (dewan musyawarah pemilihan khalifah dari kalangan ulama yang cerdik dan pandai). Beliau adalah orang yang paling kuidamkan untuk menduduki jabatan khalifah. Kalau dia enggan, sebaiknya Sa'ad. Tiba-tiba Amru bin Ash menjumpaiku dan berkata, "Apa kira-kira pandangan pamanmu Abdur Rahman bin Auf, kalau ia menyerahkan jabatan ini kepada orang lain, padahal dia tahu bahwa dirinya lebih baik dari orang itu?". Aku segera menemui Abdurrahman dan menceritakan kepada beliau pertanyaan itu. Beliau lalu berkomentar, "Seandainya ada orang meletakkan pisau dileherku lalu menusuknya hingga tembus, itu lebih kusukai dari menerima jabatan tersebut". [Lihat Siyar Al-A'lam An-Nubala '(1/87-88)].
    Utsman bin Affan pernah mengeluh karena mimisan (keluar darah dari hidung), lalu beliau memanggil Humran. Beliau berkata, "Tuliskan mandat untuk Abdurrahman untuk menggantikan aku bila aku meninggal". Maka Humran pun menuliskan mandat itu. Setelah itu, Humran datang menjumpai Abdur Rahman seraya berkata, "Ada kabar gembira". Abdurrahman bertanya, "Kabar apakah itu?". Humran berkata, "Utsman telah menuliskan mandat untuk Anda sepeninggalnya". Abdurrahman pun segera berdiri di antara makam dan mimbar Rasulullah-Shallallahu alaihi wa sallam-(yakni, di Raudhah), lalu berdo'a, "Ya Allah saat penyerahan jabatan dari Utsman sepeninggalnya betul-betul terjadi, maka matikanlah aku sebelum itu". Tak lebih enam bulan berselang, ia pun wafat. [Lihat Siyar Al-A'lam An-Nubala '(1/88)]
    Yazib bin Al-Muhallab ketika diangkat sebagai gubernur Khurasan, ia membuat pernyataan, "beritahukanlah kepadaku tentang seorang laki-laki yang memiliki kepribadian yang luhur lagi sempurna". Ia lalu dikenalkan kepada Abu Burdah Al-Asy'ariy. Ketika Sang Gubernur menemui Abu Burdah, ia mendapatinya sebagai seorang pria yang memiliki keistimewaan. Ketika Abu Burdah berbicara, ternyata apa yang ia dengar dari ucapannya lebih baik dari apa yang ia lihat dari penampilannya. Sang Gubernur lantas berkata, "Aku akan menugaskanmu untuk urusan ini dan ini, yang termasuk dalam kekuasaanku". Abu Burdah meminta maaf karena tidak bisa menerimanya. Namun Sang Gubernur tidak menerima alasannya. Akhirnya Abu Bardah pun berkata, "Wahai Gubernur, sudikan Anda mendengarkan apa yang disampaikan oleh ayahku? Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah-Shallallahu alaihi wa sallam-bersabda ". Gubernur mengatakan, "Sampaikanlah". Abu Bardah berkata, "Sesungguhnya Ayahku (Abu Musa Al-'Asy'ariy) telah mendengar Rasulullah-Shallallahu alaihi wa sallam-bersabda:
    "Barang siapa yang ditugaskan untuk memikul suatu pekerjaan yang dia tahu bahwa dirinya bukanlah orang yang ahli atau cepat dalam pekerjaan tersebut, bersiap-siaplah ia masuk ke dalam neraka".
    >>>Abu Yusrina Al-Atsary<<<
    Aku bersaksi wahai Gubernur, "Bahwa aku bukanlah orang yang ahli atau cepat dalam urusan yang Anda tawarkan". Sang Gubernur justru berkata, "Dengan ucapanmu itu, kamu justru membuat kami makin berhasrat dan senang menaruh kepercayaan kepadamu. Laksanakanlah dengan segala tugas-tugasmu.Kami tidak bisa menerima alasanmu ". Maka pria itu pun menjalankan tugasnya di antara mereka selama beberapa waktu. Lalu ia meminta ijin untuk menemukan Gubernur, dan ia diijinkan. Lalu ia berkata, "Wahai Gubernur, sudikan Anda mendengarkan apa yang disampaikan ayahku kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah-Shallallahu alaihi wa sallam-bersabda," terlaknatlah orang yang meminta atas nama Allah.Terlaknatlah orang yang diminta atas nama Allah, lalu tidak mengabulkan permintaan si peminta, selama ia (si peminta) tidak meminta hal yang memutuskan persaudaraan ".
    Sekarang aku minta atas nama Allah untuk tidak menjalankan tugas lagi, dan memaafkan saya atas pekerjaan yang telah saya lakukan. "Maka sang Gubernur pun menerima alasannya. [Lihat Siyar Al-A'lam An-Nubala '(4/345)]
    Sufyan berkata, "Aku tidak pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita bisa temukan orang zuhud dalam hal makanan, minuman, harta, dan pakaian, namun kalau kita berikan kepadanya kekuasaan, ia akan mempertahankannya dan berani bermusuhan menolongnya ". [Lihat Siyar Al-A'lam An-Nubala '(7/262)]
    Itulah sebagian dari nasihat dan mutiara hikmah dan petuah salafush shaleh yang tinggi mutunya, mahal harganya, dan besar manfaatnya. Kalimat yang muncul dari lisan generasi terbaik umat ini. Yakni sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in-radhiyallahu anhum-.
    Allah-Ta'ala-berfirman ketika memuji mereka,
    والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه وأعد لهم جنات تجري تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا ذلك الفوز العظيم
    "Orang-orang yang terduhulu lagi pertama dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah dan Dia menyiapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selamanya. Itulah kemenangan yang besar ". (QS. At-Taubah: 100)
    Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, "Allah mengabarkan tentang ridhonya kepada orang-orang beriman dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta keridhoan mereka kepada Allah. Dengan apa yang Allah telah siapkan mereka berupa surga-surga yang nikmat dan kenikmatan yang abadi [Lihat Tafsir Al-Qur'anil Adzim (2/398)]
    Rasulullah-Shallallahu alaihi wa sallam-bersabda,
    "Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian setelahnya (tabi'in), kemudian setelahnya (tabi'ut-tabi'in)". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Asy-Syahadat (2509), dan Muslim dalam Fadho'il Ash-Shohabah (2533)]
    Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang keutamaan dan posisi yang agung yang telah diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik.Karena itu, hendaknya kita menjadikan mereka sebagai panutan dan suri teladan yang baik. Merekalah yang dikenal dengan "Salafush Sholih" (pendahulu yang Baik)
    Alangkah indahnya ucapan Abdullah bin Mas'ud-radhiyallahu 'anhu-, "Barangsiapa yang ingin mengambil teladan maka hendaklah ia mengambil teladan pada orang yang telah meninggal (yakni, para sahabat), sebab orang yang masih hidup tidaklah aman dari tes. Mereka adalah para sahabat nabi Muhammad-Shallallahu alaihi wa sallam-, mereka adalah manusia terbaik umat ini, yang paling bagus hatinya, yang paling dalam ilmunya, dan paling sedikit membebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka! Ikutilah jalan mereka, dan berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, karena mereka berada pada petunjuk yang lurus [HR. Abu Nua'im dalam Al-Hilyah (1/305)]
    Al-Imam Abu Amer Al-Auza'iy-rahimahullah-berkata, "Sabarkanlah dirimu di atas sunnah. Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat) berhenti. Berucaplah dengan apa yang mereka ucapkan, tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan Tempuhlah jalan salafush shalehmu (pendahulumu yang shaleh). Karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka ". [HR.Al-Lalikaa'iy dalam Syarh I'tiqod Ahlis Sunnah (no.315), Al-Ajurriy dalam Asy-Syari 'ah (1/148)]
    Inilah beberapa kutipan nasihat dari kehidupan Nabi-Shallallahu 'alaihi wa sallam-dan para sahabatnya yang jauh dari ketamakan terhadap kekuasaan. Mereka sangat takut menerima kekuasaan; berbeda dengan orang-orang di akhir zaman ini, mereka berlomba-lomba meminta kekuasaan dengan berbagai macam dalih, seperti "Demi Islam". Padahal semuanya demi kursi!! Islam tak butuh kepada perjuangan yang jauh dari petunjuk Islam. Fa'tabiruu ya ulil abshor.
    Sumber: Buletin Jum'at Al-Atsariyyah edisi 98 Tahun II. Penerbit: Pustaka Ibnu Abbas. Alamat: Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te'ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP: 08124173512 (a / n Ust. Abu Fa'izah). Pimpinan Redaksi / Penanggung Jawab: Ust. Abu Fa'izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi: Santri Ma'had Tanwirus Sunnah - Gowa. Editor / Pengasuh: Ust. Abu Fa'izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout: Abu Dzikro. Untuk berlangganan / pemesanan hubungi: Ilham Al-Atsary (085255974201). (Infaq Rp. 200, -/exp)
    sumber: http://www.salafy.or.id/buruknya-haus-akan-kekuasaan/
    (Dikutip dari http://almakassari.com/?p=329)

      Tentang Ucapan Shodaqollahul’azhim Setelah Membaca Al-Quran

      بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
      >>>www.salafyciampeabogor.blogspot.com<<<
      Pertanyaan: Bagaimana hukumnya mengucapkan‘Shodaqallahul ‘adziim’ setelah selesai tilawah Al-Quran?
      Jawaban: Berikut kami nukilkan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Bazrahimahullah,
      قول القائل (صدق الله العظيم) في نفسها حق، ولكن ذكرها بعد نهاية قراءة القرآن باستمرار بدعة؛ لأنها لم تحصل من النبي صلى الله عليه و سلم ولا من خلفائه الراشدين فيما نعلم، مع كثرة قراءتهم القرآن
      “Ucapan seseorang ‘shadaqallahul ‘azhim (maha benar Allah Yang  Maha Agung)’ pada dasarnya adalah benar, akan tetapi (mengkhususkan) pengucapannya pada akhir membaca Al-Qur’an secara terus menerus adalah bid’ah, karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin tidak malakukannya sepanjang yang kami ketahui, padahal mereka banyak membaca Al-Qur’an.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 4/150]
      Sumber dari :http://nasihatonline.wordpress.com/2013/03/16/tentang-ucapan-shodaqollahulazhim-setelah-membaca-al-quran/
       وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

      Hukum Gaji PNS

      >>>www.salafyciampeabogor.blogspot.com<<<


      Tanya:
      Bagaimana hukum dari gaji PNS?
      Jawab:
      Tidak masalah dengan gaji PNS sebagaimana umumnya pekerjaan yang lain.Tapi harus disertai beberapa syarat,
      Pertama, gaji tersebut dari pekerjaan yang halal.
      Kedua, gaji tersebut dari pekerjaan yang telah dia lakukan dan kerjakan.
      Ketiga, dia terhitung memiliki kemampuan atau keahlian dalam menjalankan pekerjaan tersebut.
      Wallahu a'lam


      Oleh : Ustadz Dzulkarnain
      Sumber: http://dzulqarnain.net/hukum-gaji-pns.html

      Merajut Cinta Mengurai Benci, karena Allah


      >>>www.salafyciampeabogor.blogspot.com<<<
      (ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)

      Dari Ibnu Abbas c, Rasulullah n bersabda:
      أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
      “Tali iman yang terkuat adalah muwala
      h (berkasih sayang) karena Allah l dan mu’adah (bermusuhan) karena Allah l. Cinta karena Allah, benci pun karena Allah l.”
      Hadits Ibnu Abbas c di atas diriwayatkan oleh al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabiir (11537) melalui jalur Hanasy, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas c.
      Hadits ini juga datang dari beberapa sahabat lain, seperti hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh ath-Thayalisi (378), ath-Thabarani, dan yang lain; hadits al-bara’ yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (4/286) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Iman (110).
      Asy-Syaikh al-Albani t berkata, “Hadits tersebut, dengan seluruh jalur periwayatannya, naik menjadi derajat hasan, minimalnya. Wallahu a’lam.” (ash-Shahihah 4/306 nomor 1728)
      Makna al-Wala’ dan al-Bara’
      Al-wala’ adalah pembelaan, cinta, penghormatan, memuliakan, dan kebersamaan. Adapun al-bara’ adalah kebencian, permusuhan, menjauhi, dan berlepas diri.
      Al-wala’ bagi seorang muslim adalah cinta kepada Allah l, Rasul-Nya, agama Islam, dan kaum muslimin; membela dan menolong Allah l, Rasul-Nya, agama Islam, dan kaum muslimin. Adapun al-bara’ bagi seorang muslim adalah membenci thaghut (peribadatan selain Allah l), kekafiran, dan para pengikut kekafiran serta memusuhi mereka.
      Asy-Syaikh al-Fauzan berkata, “…Setiap muslim wajib meyakini akidah Islam, berwala’ kepada orang yang berakidah Islam dan memusuhi orang yang menentangnya. Ia mencintai orang yang bertauhid dan ikhlas serta berwala’. Ia membenci pelaku kesyirikan dan memusuhi mereka.”
      Beliau melanjutkan pembicaraan tentang bentuk wala’ (loyalitas) seorang mukmin, “Kaum mukminin, dari awal penciptaan hingga akhirnya, meskipun tempat tinggalnya berjauhan dan dipisahkan oleh waktu, mereka adalah bersaudara yang saling mencintai. Yang datang belakangan mengikuti yang sebelumnya. Mereka saling mendoakan kebaikan dan saling memohonkan ampun.” (al-Wala’ wal Bara’, hlm. 1—2)
      Hakikat al-Wala’ dan al-Bara’
      Syaikhul Islam t berkata, “Al-wilayah adalah lawan dari al-‘adawah. Dasar al-wilayah adalah cinta dan taqarrub (mendekatkan diri). Adapun dasar al-‘adawah adalah benci dan menjauh.” (al-Furqan, 1/82)
      Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Karena al-wala’ dan al-bara’ terkait dengan cinta dan benci, dasar keimanan adalah engkau mencintai segenap nabi dan para pengikutnya, karena Allah l. Engkau pun membenci musuh-musuh Allah l dan musuh-musuh seluruh nabi, karena Allah l.” (Fatawa as-Sa’diyyah, 1/98)
      Syaikhul Islam t berkata, “Seorang mukmin, wajib berwala’ dan bara’ karena Allah l. Jika ada seorang mukmin yang lain, ia wajib mencintainya, meskipun ia dizalimi. Karena, perbuatan zalim tidak dapat memutuskan cinta yang berdasarkan keimanan. Apabila satu orang memiliki kebaikan dan keburukan sekaligus, ketaatan dan kedurhakaan, maksiat, sunnah dan bid’ah, ia tetap berhak mendapatkan cinta sesuai dengan kebaikan yang ada padanya. Ia pun berhak mendapatkan kebencian dan hukuman sesuai dengan kadar keburukan yang ada padanya.” (Majmu’ Fatawa, 28/208—209)
      Letak Prinsip al-Wala’ dan al-Bara’ dalam Islam
      Akidah al-wala’ dan al-bara’ memiliki kedudukan yang sangat urgen dan strategis dalam keislaman seseorang. Ia sangat kuat terhubung dengan keimanan. Bahkan, al-wala’ dan al-bara’ adalah wujud dari hakikat kalimat syahadat La Ilaha Illallah dan Muhammad Rasulullah n.
      Ibnu Umar c berkata, “Cinta dan bencilah karena Allah l, kasihi dan musuhi karena Allah l pula. Karena, sesungguhnya engkau tidak akan meraih cinta Allah l melainkan dengan cara demikian. Seorang hamba tidak akan mendapatkan rasa keimanan, walau banyak shalat dan puasanya, melainkan dengan cara tadi.” (Hilyatul Auliya, 1/312)
      Syaikhul Islam t berkata, “Hati tidak akan merasakan kebahagiaan dan kelezatan melainkan dengan cara mencintai Allah l dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan hal-hal yang Dia cintai. Cinta kepada Allah l tidak akan terlaksana melainkan dengan berpaling dari kekasih selain Allah l. Inilah hakikat La Ilaha Illallah. Inilah millah (agama) Ibrahim al-Khalil q dan seluruh nabi serta rasul. Semoga shalawat dan salam Allah l terlimpah untuk mereka semua.
      Adapun syahadat bagian kedua, Muhammad utusan Allah l, maknanya adalah benar-benar hanya mengikuti setiap perintah beliau dan menjauhi semua yang beliau larang. Dari sinilah, Laa Ilaha Illallah menjadi bentuk al-wala’ dan al-bara’, nafyan (bentuk penafian) dan itsbatan (bentuk penetapan).” (Majmu’ Fatawa 28/32)
      Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Menjadi jelaslah bahwa makna La Ilaha Illallah adalah mentauhidkan Allah l dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya, dan berlepas diri dari selain-Nya. Allah l telah menjelaskan bahwa bara’ (berlepas diri) semacam ini dan wala’ (cinta) semacam ini adalah wujud syahadat La Ilaha Illallah.” (Fathul Majid hlm. 79)
      Bersama Keindahan Islam dalam al-Wala’ dan al-Bara’
      Sebagian orang menyangka, prinsip al-wala’ dan al-bara’ mendidik umat Islam untuk tumbuh dan hidup dalam kebencian. Dalam anggapan mereka, Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan dan buas, tidak mengenal kompromi, dan mengajarkan kezaliman terhadap sesama.
      Berikut ini adalah contoh-contoh sikap, cermin dari akidah al-wala’ dan al-bara’, yang membuktikan bahwa ada keindahan dan kenyamanan dalam berprinsip al-wala’ dan al-bara’.
      Pertama: Tidak ada paksaan bagi siapa pun untuk masuk Islam.
      Allah l berfirman:
      “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (al-Baqarah: 256)
      Oleh sebab itu, banyak wilayah yang dikuasai Islam terjaga darah penduduknya dan mereka masih tetap memeluk agama mereka sendiri. Namun, mereka berkewajiban untuk menunaikan jizyah. Jizyah adalah sejumlah harta yang ditentukan oleh penguasa muslim, diwajibkan bagi penduduk nonmuslim yang menetap di daerah muslim untuk menunaikannya, tanpa memberatkan atau menzalimi. (Ahkam Ahli Dzimmah 1/34—39)
      Jizyah tidak boleh memudaratkan ahli dzimmah sehingga sama sekali tidak diambil dari anak kecil, wanita, atau orang gila. Tentang hal ini, telah dinukilkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama). Demikian pula, jizyah tidak diambil dari orang fakir. Bahkan, orang fakir dari kalangan ahli dzimmah mendapatkan santunan dari baitul mal kaum muslimin. Jizyah juga tidak diambil dari orang tua yang renta, orang yang berpenyakit menahun, orang buta, dan orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, walaupun mereka mampu untuk membayar jizyah. Jizyah juga tidak diambil dari pendeta yang menghabiskan waktunya untuk bersembahyang. (Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnul Qayyim, 1/42—51, al-Ijma’ Ibnul Mundzir nomor 230)
      Kedua: Seorang ahli dzimmah diperkenankan untuk berpindah-pindah di negeri kaum muslimin, sesuai dengan keinginannya.
      Tidak ada wilayah yang terlarang baginya selain tanah al-Haram. Mereka pun boleh menetap di wilayah mana pun yang dikuasai oleh kaum muslimin, selain jazirah Arab. Semua hal ini adalah ijma’ ulama. (Ahkam Ahli Dzimmah 1/175—191, Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, no. 122)
      Ketiga: Menjaga kesepakatan yang telah dibuat oleh kaum muslimin dengan orang-orang kafir.
      Allah l berfirman:
      “Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (at-Taubah: 4)
      Abu Rafi’ mengatakan bahwa kaum Quraisy pernah mengutusnya untuk menemui Rasulullah n. Setelah bertemu dan melihat beliau n, muncul keinginan dalam hatinya untuk masuk Islam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya saya tidak ingin kembali kepada mereka selama-lamanya.” Rasulullah n bersabda:
      إِنِّي لَا أَخِيسُ بِالْعَهْدِ وَلَا أَحْبِسُ الْبُرُدَ وَلَكِنِ ارْجِعْ فَإِنْ كَانَ فِي نَفْسِكَ الَّذِي فِي نَفْسِكَ الْآنَ فَارْجِعْ
      “Sesungguhnya aku tidak bersifat melanggar kesepakatan yang telah dibuat atau menahan utusan musuh. Kembalilah kepada mereka. Jika nanti masih ada keyakinan seperti saat ini, kembalilah kemari.”
      Setelah itu, aku kembali kepada kaum Quraisy. Aku lalu kembali menemui Rasulullah n dan masuk Islam. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (no. 23857), Abu Dawud (no. 2752), an-Nasai (no. 8621), dan disahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (no. 702).
      Tentang menjaga kesepakatan yang telah dibuat antara kaum muslimin dan orang-orang kafir ini, Ibnu Hazm t menyebutkan adanya ijma’. (Maratibul Ijma’, no. 123)
      Keempat: Haramnya darah ahli dzimmah dan orang kafir mua’had (yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin), selama mereka menunaikan kewajiban-kewajiban sebagai ahli dzimmah dan kafir mu’ahad.
      Rasulullah n bersabda:
      مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا يُوْجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَاماً
      “Barang siapa membunuh seorang kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium harumnya surga. Padahal, sesungguhnya harumnya surga dapat tercium dari jarak (perjalanan) empat puluh tahun.” (HR. al-Imam Bukhari no. 3166)
      Ibnu Hazm t berkata, “Mereka bersepakat bahwa darah seorang ahli dzimmah yang tidak melanggar adalah haram.” (Maratibul Ijma’, 138)
      Kelima: Perbedaan agama tidak menghilangkan hak kerabat.
      Allah l berfirman:
      “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, serta ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
      Asma’ bintu Abi Bakr c berkata, “Ibuku yang masih musyrik datang menjengukku setelah terjadi perjanjian dengan orang-orang Quraisy. Aku pun memohon fatwa dari Rasulullah n. ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang menjengukku dalam keadaan senang. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?’ Rasulullah n menjawab:
      نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ
      “Benar, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. al-Bukhari 2620 dan Muslim 1003)
      Rasulullah n juga menjenguk pamannya, Abu Thalib, saat sakit. Ini sebagaimana keterangan Ibnu Abbas c dalam riwayat Ahmad (no. 2008).
      Al-Imam al-Bukhari t menyebutkan sebuah riwayat dalam Shahih-nya (no. 886) bahwa Rasulullah n pernah memberi hadiah kepada Umar bin al-Khaththab z sebuah pakaian sutra yang sangat mahal. Kemudian Umar bin al-Khaththab z menghadiahkan pakaian tersebut kepada seorang saudaranya yang masih musyrik di kota Makkah.
      <<<Abu Yusrina Al-Atsary>>>
      Keenam: Berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin atau menampakkan permusuhan terhadap kaum muslimin, selama tidak merugikan.
      Allah l berfirman:
      “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtahanah: 8—9)
      Al-Imam Ibnu Jarir t berkata, “Maksudnya, Allah l tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang kafir, dari seluruh jenis agama dan keyakinan, yang tidak memerangi kalian karena agama. Berbuat baik dan berlaku adil yang dilakukan oleh seorang mukmin terhadap mereka, baik yang memiliki hubungan kerabat/nasab maupun tidak, bukanlah sesuatu yang diharamkan atau dilarang. Selama hubungan tersebut tidak menjadikan mereka mengetahui kekurangan kaum muslimin atau membantu orang-orang kafir dengan perlengkapan dan persenjataan.”
      Adapun berlaku adil, wajib hukumnya terhadap siapa pun, terhadap musuh sekalipun. Allah l berfirman:
      “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akan kamu kerjakan.” (al-Maidah: 8)
      “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-Baqarah: 190)
      Oleh karena itu, kita tidak diperbolehkan berbuat khianat terhadap orang yang mengkhianati. Sebab, khianat bukan termasuk sikap adil.
      Antara Sikap Bara’ terhadap Orang Kafir dan Perintah Berbuat Baik terhadap Ahli Dzimmah
      Dari sedikit penjelasan di atas, tentu akan muncul anggapan, “Mengapa ajaran Islam saling bertentangan? Di satu sisi terdapat perintah untuk membenci dan berlepas diri dari orang kafir. Namun, dalam kesempatan yang lain ada juga perintah untuk berbuat baik kepada orang kafir.”
      Sungguh, ajaran Islam tidak akan mengalami kontradiksi dan penyimpangan karena Islam diturunkan dari sisi Allah, Dzat Yang Mahabenar dan Mahabijaksana. Islam disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah n, yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Semua adalah wahyu, yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya.
      Anggapan di atas, sesungguhnya telah ditepis dan dijawab oleh para ulama. Intinya, masing-masing sikap perwujudan al-wala’ dan al-bara’ hendaknya diletakkan tepat pada tempatnya. Benci dan cinta hendaknya diberikan pada saatnya masing-masing.
      Di dalam al-Furuq (3/15—16), Syihabuddin al-Qarafi menjelaskan bahwa apabila demikian ketentuan terhadap hak dzimmah, menjadi sebuah kepastian bagi kita untuk berbuat baik terhadap mereka (ahli dzimmah) dengan sikap lahiriah yang tidak menunjukkan kecintaan hati, sekaligus tanpa sikap yang menunjukkan ta’zhim (pengagungan) terhadap syi’ar kekafiran.
      Jika sikap baik terhadap mereka berakibat pada salah satu dari dua hal tersebut, sikap tersebut dilarang oleh ayat atau dalil lainnya.
      Hal ini akan semakin jelas dengan contoh. Mengosongkan tempat untuk mereka (ahli dzimmah) ketika datang, bangkit menyambut kedatangan mereka, atau memanggil mereka dengan nama-nama besar yang akan mengangkat derajat, semua ini adalah haram. Demikian juga, jika kita bertemu mereka di jalan, lalu memberi mereka sisi jalan yang luas, baik, dan datar, kemudian kita sendiri memilih jalan yang sempit, tidak baik, dan tidak rata, hal ini juga terlarang.
      Di antara yang terlarang juga, memberi mereka kesempatan untuk menduduki pos-pos pemerintahan yang penting dan strategis. Mereka pun tidak boleh menjadi wakil bagi penguasa di dalam penentuan hukum kaum muslimin.
      Adapun contoh sikap berbuat baik kepada mereka yang diperintahkan dan tidak menunjukkan kecintaan hati adalah lemah lembut kepada orang lemah di antara mereka, membantu orang fakir, memberi makan yang lapar, memberi pakaian, santun dalam berkata sebagai bentuk rahmat—bukan karena takut atau terhina—, menahan diri ketika diganggu dalam bertetangga (padahal mampu membalas, sebagai bentuk rahmat, bukan karena takut atau hormat), mendoakan hidayah untuk mereka, menjaga harta dan hak-hak mereka, memberi nasihat dan sebagainya.
      Kita pun harus selalu mengingat bahwa mereka selalu membenci kita dan mendustakan Nabi Muhammad n. Andai mampu, mereka tentu akan menghancurkan kita dan menghalalkan darah serta harta kita. Mereka adalah makhluk yang paling besar kedurhakaannya kepada Allah l. Kita berbuat baik, seperti contoh di atas, karena melaksanakan perintah Allah l dan Nabi-Nya n, bukan karena cinta dan menghormati mereka.
      Sikap Ekstrem dalam al-Wala’ dan al-Bara’
      Dalam hal al-wala’ dan al-bara’, terjadi beberapa bentuk sikap ekstrem yang dilarang. Di antaranya:
      1. Menghalalkan darah dan harta orang-orang kafir yang telah mendapatkan jaminan keamanan, seperti kafir mu’ahad dan ahli dzimmah; atau bersikap kasar dan zalim kepada mereka tanpa sebab yang syar’i.
      2. Menentang akidah al-wala’ dan al-bara’, bahkan menuntut penghapusannya. Alasannya, akidah ini mengajarkan umat Islam untuk membenci orang lain.
      3. Memerangi akidah al-wala’ dan al-bara’ dengan taklid (membebek) dan menyebarkan adat orang-orang kafir di tengah-tengah kaum muslimin.
      (al-Wala’ wal-Bara’ bainas Samahah wal Ghuluw)
      Keberlangsungan Akidah al-Wala’ dan al-Bara’
      Akidah al-wala’ dan al-bara’ tetap berlangsung wujudnya bersamaan dengan keberadaan Islam itu sendiri. Selama di muka bumi ini masih ada seorang muslim, al-wala’, cinta, dan loyalitas wajib diberikan untuknya. Ia wajib dibela, ditolong, dan dibantu karena muslim satu dengan yang lain ibarat sebuah bangunan yang tiap-tiap bagiannya saling mendukung dan menopang. Seorang muslim harus merasakan kesedihan dan kesempitan yang dialami oleh saudaranya yang lain. Ia pun harus turut berbahagia di atas kebahagiaan saudaranya. Ia tidak boleh menzalimi, menyakiti, dan melanggar kehormatannya. Harta dan darahnya harus dijaga.
      Akidah al-bara’ juga akan selalu berlaku selama di muka bumi masih terdapat satu orang kafir sekalipun. Ia wajib dibenci. Ia tidak boleh diberi cinta dan loyalitas. Setiap muslim harus selalu mengingat dan menyadari bahwa kebencian orang kafir terhadap umat Islam sangatlah mendalam. Mereka selalu berharap dan menunggu kelemahan serta kehancuran umat Islam. Mereka tidak akan pernah ridha, meskipun sesaat, sampai kita mau mengikuti jalan mereka. Segala daya dan upaya, waktu dan tenaga, biaya serta dana, diusahakan untuk memerangi umat Islam, dengan berbagai cara, baik kita sadari maupun tidak.
      Maka dari itu, seorang muslim dituntut untuk selalu meningkatkan kekuatan akidah dan keimanan. Caranya adalah dengan memperdalam pengetahuan tentang Islam, bersemangat menuntut ilmu, dan memperbanyak ibadah berdasarkan ilmu yang telah ia peroleh. Dengan demikian, diharapkan ia mampu menempatkan prinsip al-wala’ dan al-bara’ tepat pada tempat dan timbangannya.
      Wallahu a’lam bish-shawab.
      sumber: http://asysyariah.com/merajut-cinta-mengurai-benci-karena-allah.html
      ***

      Cara Menasihati Adik Perempuan ABG yang Pacaran



      بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
      Pacaran
      Pertanyaan: Tentang bagaimana cara menyikapi anak yang membangkang. Ada seorang teman saya, dia laki-laki dan mempunyai adik perempuan, adik perempuannya ini sangatlah susah diberi peringatan, singkat cerita dia punya seorang pacar, gaya pacaran si anak perempuan ini dinilai terlalu berlebihan oleh keluarganya, karena sering berduaan sampai tengah malam, sang kakak laki-laki selalu menasihatinya tapi tak pernah di anggap oleh adiknya itu, yang lebih parah orangtua mereka sedang sakit-sakitan dan sang ibu hanya bisa menangis melihat tingkah anak perempuannya ini, sang kakak sudah lelah harus berbuat apa.
      Karena di sisi lain sebagai kakak laki-laki dia merasa bertanggung jawab atas adik perempuannya ini, dia kasihan dengan adiknya, menyesalkan perbuatan adiknya kenapa harus seperti itu, tapi di sisi lain dia sudah kehabisan cara untuk memperingati adiknya, bahayanya berbuat seperti itu dan dampak yang dia perbuat.
      Bagaimana menyikapi anak yang seperti ini? Saya pun sebagai teman selalu membantu memberi nasihat tapi tidak ada hasil.
      Jawaban:
      Pertama: Hendaklah menasihatinya dengan menyampaikan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dan nasihat para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena itulah sebaik-baiknya nasihat. Adapun nasihat yang perlu disampaikan adalah:
      1) Tentang keagungan dan kebesaran Allah ta’ala dan kewajiban mentauhidkan-Nya serta menjauhi perbuatan menyekutukan-Nya
      2) Tentang hakikat kehidupan yaitu beribadah kepada Allah ta’ala, dan akibat yang baik bagi siapa yang mengamalkannya di dunia dan akhirat, serta ancaman azab yang sangat pedih bagi siapa yang berpaling darinya
      3) Adab-adab seorang wanita muslimah, keberkahan hidup serta kenikmatan di akhirat bagi siapa yang mengamalkannya, dan kesengsaraan hidup serta azab di akhirat bagi siapa yang tidak mengamalkannya.
      4) Ingatkan juga kewajiban untuk taat kepada orang tua, dan agungnya hak orang tua atas anak-anaknya.
      5) Haramnya perzinahan, dan haramnya semua perbuatan yang mengantarkan kepada zina, tidak lain itulah yang dilakukan orang pacaran.
      <<<www.salafyciampeabogor.blogspot.com>>>
      Maka hendaklah orang yang menasihati terlebih dahulu membekali dirinya dengan ILMU SYAR’I, semakin baik bekalnya maka insya Allah ta’ala nasihat yang akan ia sampaikan pun semakin tepat.
      Kedua: Hendaklah memperhatikan metode yang baik dalam menasihati, dengan lemah lembut, disampaikan pada keadaan yang tepat dan ikatlah hatinya dengan hadiah, akhlak mulia dan kebaikan-kebaikan lain.
      Ketiga: Hendaklah diajak ke majeis-majelis ilmu, sehingga ia dapat menuntut ilmu dan bergaul dengan Akhawaat Thaalibaatul ‘ilmi.
      Keempat: Dilarang dan diusahakan agar ia tidak berteman dengan teman-teman yang buruk.
      Kelima: Hendaklah senantiasa mendoakannya, sebab hidayah milik Allah ta’ala, tugas kita hanyalah menyampaikan.
      Keenam: Hendaklah menguatkan kesabaran dalam menasihati dan menghadapi kenakalannya, serta tidak boleh putus asa dalam menasihati dan dalam berlaku lembut kepadanya.
      Ketujuh: Hendaklah SEGERA dinikahkan.
      Kedelapan: Hendaklah diputuskan semua kontak hubungannya dengan laki-laki non mahram, apakah dengan hijrah atau cara lain.
      Sumber : Ustadz Sofyan bin Idham Ruray http://nasihatonline.wordpress.com/2013/03/16/cara-menasihati-adik-perempuan-abg-yang-pacaran/#more-1617
      >>>abu yusrina al atsary. www.salafyciampeabogor.blogspot.com<<<


      وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

      [AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

      Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...