Persoalan Hidayah



>>>www.salafyciampeabogor.blogspot.com<<<
Setiap orang pasti mendambakan kebahagiaan bagi dirinya dan orang lain, sebab sudah menjadi tabiat manusia bahwa ia senang jika melihat orang lain berbahagia seperti dirinya. Namun perlu diketahui bahwa persoalan hidayah bukanlah perkara mudah bagi setiap orang. Persoalan hidayah hanya ada di tangan Allah -Azza wa Jalla-. Dia-lah yang menentukan siapa diantara hamba-hamba-Nya yang berhak mendapatkannya. Tak ada seorang makhluk pun yang berhak menentukan bahwa si fulan dan fulan yang mendapatkan hidayah.
Seorang hamba hanyalah dibebani oleh Allah untuk berusaha memberikan petunjuk tentang jalan-jalan hidayah. Adapun seorang diberi hidayah untuk mengamalkan dan melakukan jalan-jalan tersebut, maka bukanlah urusan hamba si pemberi nasihat. Tapi semuanya kembali kepada Allah -Azza wa Jalla-. Bahkan diri seorang hamba, ia tak mampu beri hidayah, kecuali Allah yang menunjukinya dan memberinya taufiq untuk menapaki jalan-jalan hidayah.
Para pembaca yang budiman, hidayah bagaikan permata –bahkan lebih dari itu-, sulit untuk didapatkan, kecuali bagi orang-orang yang Allah rahmati. Lantaran itu, para nabi saja tak mampu memberi hidayah kepada keluarga mereka.
Lihat saja Nabi Nuh -alaihish sholatu was salam- tak mampu memberikan hidayah kepada anak dan istrinya.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” Nuh berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang Aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Huud : 45-47)
Perhatikanlah, Nabi Nuh -Shallallahu alaihi wa sallam- telah lama mendakwahi kaumnya, dan keluarganya. Bahkan anak dan istrinya termasuk orang-orang merugi, karena tak mengikuti jalan hidayah yang Nuh ajarkan kepada mereka. Mereka lebih memilih jalan kekafiran. Na’udzu billah min dzalik.
Inilah yang Allah jelaskan dalam firman-Nya,
Nuh berkata: “Ya Tuhanku Sesungguhnya Aku Telah menyeru kaumku malam dan siang,
Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan Sesungguhnya setiap kali Aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian Sesungguhnya Aku Telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya Aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. (QS. Nuuh : 5-9)
Dakwah ini dilakukan setelah da’wah dengan cara diam-diam tidak berhasil. Sesudah melakukan da’wah secara diam-diam, kemudian secara terang-terangan namun tidak juga berhasil. Maka nabi Nuh -alaihish sholatu was salam- melakukan kedua cara itu dengan sekaligus. Tapi juga tak berhasil memberikan hidayah kepada kaumnya. Ini menunjukkan mahalnya hidayah.
Nasib yang serupa juga menimpa istri Nabi Luth -alaihish sholatu was salam-. Beliau hidup serumah dengan istrinya, bergaul, dan berjumpa. Akan tetapi hidayah itu tak menembus relung hatinya. Hidayah itu hanya masuk telinga kanan, lalu keluar dari telinga kiri!!
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Kemudian kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”. (QS. Al-A’raaf : 83-84)
Istrinya dibinasakan, karena ia enggan mengikuti jalan hidayah yang ditawarkan oleh suaminya kepadanya. Alangkah sialnya seorang wanita yang berada di dalam rumah ilmu dan kenabian,dibacakan ayat-ayat dan nasihat kepadanya, tapi ia masih tetap enggan dan durhaka kepada suaminya.
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (Jahannam)”. (QS. At-Tahrim : 10)
Al-Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Maksudnya, (perumpamaan) tentang bergaulnya dan hidupnya mereka di tengah kaum muslimin, hal itu tidak membuahkan hasil bagi mereka, dan tidak pula memberi manfaat kepada mereka sedikitpun di sisi Allah, jika iman tak ada dalam hati”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/171)]
>>>abu yusrina al atsary<<<
Hidayah untuk beriman, mengamalkan sunnah, dan meninggalkan maksiat adalah perkara khusus, hanya ada di tangan Allah. Jadi, tak ada diantara hamba Allah yang mampu menentukan orang lain mendapatkan hidayah sampai Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- saja tak mampu memberi hidayah kepada paman beliau yang telah banyak membela dan menolong dakwah beliau.
Dari Sa’id bin Al-Musayyab dari ayahnya berkata,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّمَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ }
وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Tatkala kematian menghampiri Abu Tholib, maka ia didatangi oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Beliau mendapati di sisinya ada Abu Jahl, Abdullah bin Abi Umayyah bin Al-Mughiroh. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Wahai pamanku, “Nyatakanlah, Laa ilaaha illallah(Tidak sembahan yang haq, selain Allah), sebuah kalimat yang aku akan jadikan persaksian bagimu di sisi Allah”. Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah menimpali, “Wahai Abu Tholib, apakah engkau membenci agama Abdul Muththolib?!” Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- senantiasa mengajukan kalimat itu kepada Abu Tholib, dan mengulang-ulanginya sampai Abu Tholib menyatakan sesuatu yang paling terakhir ia katakan kepada mereka bahwa ia tetap berada di atas agama Abdul Muththolib, dan enggan menyatakan, “Laa ilaaha illallaah”. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Ingatlah, demi Allah, aku akan memohonkan ampunan bagimu selama aku tak dilarang darimu”.
Lantaran itu, Allah -Azza wa Jalla- menurunkan firman-Nya,
$tB šc%x. ÄcÓÉ<¨Z=Ï9 šúïÏ%©!$#ur (#þqãZtB#uä br& (#rãÏÿøótGó¡o„ tûüÅ2ÎŽô³ßJù=Ï9 öqs9ur (#þqçR%Ÿ2 ’Í<’ré& 2†n1öè% .`ÏB ω÷èt/ $tB šú¨üt7s? öNçlm; öNåk¨Xr& Ü=»ysô¹r& ÉOŠÅspgø:$# ÇÊÊÌÈ
“Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam”. (QS. At-Taubah : 113)
Allah -Ta’ala- menurunkan ayat tentang Abu Tholib seraya berfirman kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-,
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qoshosh : 56)“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab At-Tafsir (3/273), dan Muslim dalam Kitab Al-Iman (1/54)]
Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Tholib. Demikianlah kesepakatan mereka tentang hal itu telah dinukil oleh Az-Zajjaj dan yang lainnya. Ayat ini umum, karena tak ada yang dapat memberi hidayah, dan tidak pula menyesatkan orang lain, kecuali Allah -Ta’ala-”. [Lihat Syarah Shohih Muslim (1/97)]
Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata setelah membawakan ayat-ayat dan hadits di atas, “Demikian itu karena apabila beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- saja yang merupakan makhluk utama secara mutlak dan paling agung kedudukannya di sisi Allah, serta paling dekat amalannya; beliau saja tak mampu memberi hidayah kepada orang-orang yang beliau cintai berupa hidayah taufiq. Hidayah itu semuanya hanyalah ada di tangan Allah. Dia-lah yang bersendirian dalam memberi hidayah kepada hati sebagaimana halnya Dia bersendirian dalam menciptakan makhluk. Karenanya, tampaklah bahwa Dia adalah sembahan yang haq”. [Lihat Al-Qoul As-Sadid (hal. 79)]
Urusan makhluk, seperti memberikan hidayah kepada makhluk; semuanya kembali kepada Allah, sampai Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- saja tak mampu memberikan hidayah (taufiq) kepada mereka.Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata usai menjelaskan hal ini, “Jika permasalahannya demikian, maka bagaimanakah pandangan kalian tentang selain beliau (Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-)? Maka tak ada campur tangan dalam urusan makhluk bagi siapa saja, seperti arca-arca, berhala-berhala, para wali, dan para nabi. Urusan makhluk semuanya kembali kepada Allah”. [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/290) karya Al-Utsaimin]
Jadi, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- tak punya campur tangan dalam urusan makhluk, seperti memberi hidayah, menyelamatkan manusia dari siksa neraka, atau memasukkan mereka ke dalam surga. Semua ini adalah urusan Allah.
Olehnya, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- pernah mendakwahi kerabatnya dan mengabarkan kepada mereka bahwa beliau tak mampu menolong dan menyelamatkan mereka di hari kiamat, jika mereka berbuat syirik.
Hendaknya seorang muslim selalu memohon hidayah taufiq agar ia senantiasa dibimbing oleh Allah menuju jalan-jalan hidayah yang mengantarkan ke surga-Nya. Lantaran itu, Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- mengajarkan kita doa yang masyhur:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Yang Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”. [HR. At-Tirmidziy dalamSunan-nya (3517). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2091)]
Sumber : http://www.almakassari.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...