Wanita Dilarang Bepergian Jauh Tanpa Disertai Mahramnya

Wanita Dilarang Bepergian Jauh Tanpa Disertai Mahramnya (Penting Sob Harus Dibaca)


Suatu hari di kantor saya akan diadakan piknik ke puncak yang diikuti oleh seluruh karyawan. Sebelumnya, si bos mengumpulkan staf untuk rapat dalam rangka bagi-bagi tugas kepanitiaan. Singkat cerita, di dalam rapat sempat ada tanya jawab. Nah, saya gunakan sesi tanya jawab itu untuk menanyakan sikap “si bos” mengenai keikutsertaan teman-teman wanita dalam acara piknik tersebut. Yang saya persoalkan adalah bahwa, sepengetahuan saya, wanita itu dilarang melakukan safar (bepergian jauh), kecuali bersama mahramnya. Mengapa saya tanyakan ini ke si bos? Karena saya tahu bahwa si bos ini termasuk orang yang lama berkecimpung dalam aktivitas keislaman. Lalu, apa jawaban si bos ini?  Tidak masalah staf wanita yang mau ikut, mereka aman-aman saja. Toh teman-teman wanita adalah mahram bagi teman wanita lainnya. Saya kaget juga mendengar jawaban beliau seperti itu. Saya pikir orang ini nggak paham definisi mahram. Baiklah, itu adalah pengalaman yang saya ingat ketika mau menulis masalah hukum safarnya wanita.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا يَحِلُّ لامرَأَةٍ تُؤمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ أَن تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَومٍ وَلَيلَةٍ لَيسَ مَعَهَا حُرمَةٌ
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia mengadakan perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram bersamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 2355)
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا تُسَافِر المَرأَةُ إِلا مَعَ ذِي مَحرَمٍ، وَلا يَدخُلُ عَلَيهَا رَجُلٌ إِلا وَمَعَهَا مَحرَمٌ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُرِيدُ أَن أَخرُجَ في جَيشِ كَذَا وَكَذَا، وَامرَأَتِي تُرِيدُ الحَجَّ؟ فَقَالَ: اخرُج مَعَهَا
“Janganlah wanita melakukan safar kecuali dengan mahramnya dan tidak boleh seorang lelakipun yang masuk menemuinya kecuali ada mahram bersamanya.” Maka ada seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, saya akan keluar bersama pasukan perang ini sementara istri saya ingin menunaikan haji?” beliau menjawab, “Temanilah istrimu.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا تُسَافِرُ المَرأَةُ  ثلاثًا  إِلاَّ مَعَ ذِي مَحرَمٍ
“Seorang wanita tidak boleh melakukan safar -beliau mengulanginya sebanyak tiga kali- kecuali disertai mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1087 dan Muslim no. 1338)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:
لا تُسَافِرَ امرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَومَينِ لَيسَ مَعَهَا زَوجُهَا أَو ذُو مَحرَمٍ
“Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan safar yang perjalanannya selama dua hari kecuali ikut bersamanya suaminya atau mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1864 dan Muslim: 2/976 -Syarh An-Nawawi-)
Penjelasan ringkas:
Keempat hadits ini -dan semuanya adalah riwayat Al-Bukhari dan Muslim- tegas menunjukkan haramnya wanita melakukan safar tanpa mahram, baik untuk menunaikan kewajiban haji. Jika ibadah haji tanpa mahram saja dilarang, apalagi jika hanya ingin mengerjakan ibadah sunnah, apalagi jika tujuannya bukan ibadah, maka tentu itu jauh lebih diharamkan.
Adapun penyebutan jarak perjalanan sehari seperti dalam hadits Abu Hurairah di atas atau dua hari seperti dalam hadits Abu Said Al-Khudri di atas, bukanlah menunjukkan pembatasan, yakni: Jika safarnya kurang dari satu hari maka boleh tanpa mahram. Sama sekali bukan itu yang diinginkan. Akan tetapi An-Nawawi menjelaskan bahwa perbedaan ini muncul karena berbedanya orang yang bertanya, sehingga beliau menjawab sesuai dengan pertanyaan orang tersebut. Beliau menyebutkan ‘dua hari’ karena mungkin yang bertanya menyebutkan bahwa dia akan melakukan safar yang ditempuh selama dua hari, dan seterusnya. Ini diperkuat bahwa dalam hadits-hadits yang lain tidak ada pembatasan sehari atau dua hari, akan tetapi dilarang secara mutlak sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas.
Karenanya yang benar dalam masalah ini bahwa kapan perjalanan sudah dianggap sebagai safar dalam ‘urf (kebiasaan masyarakat) maka itulah safar walaupun hanya sejam (dengan pesawat misalnya). Dan kapan dia dihukumi safar maka seorang wanita tidak boleh melakukannya kecuali disertai dengan mahramnya.
Adapun patokan mahram, maka yang dianggap sebagai mahram menurut ulama adalah wanita yang haram dia nikahi selama-lamanya. Maka dari batasan ’selama-lamanya’ dikecualikan darinya saudari dan bibi dari istri, karena keduanya hanyalah haram dinikahi sementara mengingat salah satu dari keduanya boleh dinikahi jika istri meninggal/diceraikan). Sementara Imam Ahmad juga mengecualikan mahram yang kafir, dimana beliau berkata, “Ayah yang kafir bukan mahram baginya (putrinya yang muslim) karena dikhawatirkan ayahnya akan memberikan mudharat pada agama putrinya jika mereka bersama.”
Masalah jarak safar dan juga patokan mahram dalam safar adalah dua masalah yang telah dibahas.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=2232


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...