SYUBHAT KHOWARIJ

07:57 | , ,

SYUBHAT KHOWARIJ
(Bagian Pertama)


Khawarij berasal dari kata khuruj yang artinya memberontak. Mereka adalah satu kelompok yang menjadikan pemberontakan terhadap para penguasa sebagai agamanya. Mereka mengkafirkan kaum muslimin dengan dosa-dosa besar, khususnya terhadap para penguasa. Kemudian menghalalkan darah mereka sebagai jembatan untuk menghalalkan pemberontakan terhadap mereka. Mereka adalah kaum reaksioner yang berjalan dengan emosinya tanpa didasari ilmu.

Atas dasar itulah mereka berduyun-duyun datang ke Madinah dari Mesir, Kuffah dan Basrah menuju rumah Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu menuntut diturunkannya beliau dari Khilafah. Mereka menuduh Utsman menyelewengkan harta Baitulmal (korupsi), Utsman lebih mementingkan keluarganya (nepotisme), dan lain-lain. Inilah demonstrasi pertama dalam sejarah Islam, yang merupakan sunnah sayyi’ah (contoh yang jelek) dari kaum khawarij. Demonstrasi mereka itu berakhir dengan anarkis hingga terbunuhlah Utsman ibnu Affan radhiallahu 'anhu.

Jika manusia terbaik setelah Abu Bakar dan Umar dituduh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maka bagaimana mereka akan puas dengan khalifah-khalifah setelahnya, terlebih lagi pemimpin kaum muslim pada zaman kita ini. Dengan kata lain mereka akan tetap tidak pernah puas terhadap pemimpin manapun sampai akhir zaman. Dan mereka akan terus hidup memberontak, membunuh dan menteror kaum muslimin.

Kita tidak berbicara tentang masa lalu yang sudah berakhir ceritanya. Akan tetapi kita berbicara tentang manhaj khawarij yang masih tetap ada di masa kita ini, meskipun dengan berbagai macam nama dan identitas yang berbeda seperti NII, Jama’ah Islamiyah (JI), LDII, Lembaga Kerasulan (LK), Quthbiyyun dan lainnya. Bahkan mereka kini lebih mengerikan dari pendahulunya, karena mereka lebih bodoh. Mereka menebar teror, kerusuhan, penculikan, pembunuhan dan lain-lain di negeri-negeri kaum muslimin dengan dalih yang sama: kekafiran, kedzaliman, korupsi, kolusi, nepotisme dan seterusnya.

Pengkafiran mereka terhadap sesama kaum muslimin itu didasari oleh syubhat yang mereka yakini sebagai kebenaran yaitu: “Ancaman Allah (al-wa’id) terhadap orang-orang yang berdosa pasti akan Allah buktikan sebagaimana janji Allah (al-wa’d) pasti akan ditepati”. Mereka menganggap al-wa’d (janji dengan kebaikan) dan al-wa’iid (janji dengan ancaman), keduanya merupakan janji yang mesti Allah tepati. Mereka bawakan dalil-dalil tentang janji Allah yang pasti ditepati seperti dalam firman-Nya:
...إِنَّ اللَّهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
…Sesungguhnya Allah tidak akan menyalahi janji. (Ali Imran: 9)

Dengan ayat di atas mereka menganggap bahwa semua ancaman Allah dalam al-Qur’an terhadap para pendosa yang bermaksiat, pasti akan ditepati dan ditimpakan kepada pelakunya.

Seperti ancaman Allah bagi orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja dalam ayat-Nya:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya. Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (an-Nisaa’: 93)

Menurut anggapan mereka, seorang mukmin yang membunuh seorang mukmin lainnya pasti akan kekal di dalam Jahannam. Mereka mengkaitkannya dengan hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya merupakan kekafiran. (HR. Bukhari Muslim)

Demikian pula, ancaman Allah bagi orang yang bermaksiat secara umum seperti dalam ayat-Nya:
...وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
… Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (al-Jin: 23)

Mereka menganggap telah kafirnya para pelaku maksiat dan dosa-dosa besar, karena mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam kekal selama-lamanya sebagaimana dalam ayat di atas. Kemudian dikaitkan pula dengan ucapan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:
لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَهُوَ مَؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخْمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Tidaklah berzina seorang pezina ketika berzina dalam keadaan mukmin, tidaklah minum khamr ketika meminumnya dalam keadaan mukmin dan tidak mencuri seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan mukmin. (HR. Bukhari Muslim)

Mereka menganggap bahwa dalam hadits ini Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menafikan keimanan bagi para pelaku maksiat, yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.

Inilah inti penyimpangan mereka, yaitu:

1. Mereka menganggap sama antara ancaman Allah dan janji-Nya.

2. Tidak membedakan kufur akbar dan kufur ashghar.

Kita jawab syubhat mereka ini dari beberapa sisi:

Pertama, para salafus shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in, tabiit-tabi’in berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara ancaman dan janji Allah. Jika hal itu merupakan janji, Pasti akan Allah tepati dan tidak mungkin Allah selisihi. Karena menyelisihi janji merupakan sifat yang jelek dan Allah maha suci dari sifat seperti itu. Berbeda halnya dengan ancaman yang Allah ancamkan kepada orang-orang yang bermaksiat, mungkin saja Allah memaafkan dan mengampuninya. Hal itu merupakan sifat yang mulia bagi Allah, yaitu sifat maghfirah (mengampuni), rahmah (menyayangi), al-afuw (memaafkan), dan lain-lain.

Ahlus sunnah wal jama’ah sejak zaman salaf sampai hari ini berkeyakinan bahwa ancaman Allah bisa saja diterapkan, bisa pula tidak. Dengan kata lain tahtal masyi’ah (di bawah kehendak Allah). Jika Allah kehendaki Allah akan mengadzabnya, dan jika dikehendaki oleh-Nya, Ia akan mengampuninya. Dalilnya adalah ucapan Allah:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (an-Nisaa’: 48)

Dalam ayat di atas Allah menyatakan “dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik), bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” menunjukkan bahwa ancaman Allah bisa saja tidak Allah laksanakan kepada pelaku dosa, karena Allah telah memaafkan dan mengampuninya.

Kedua, bahwa menurut aqidah ahlus sunnah wal jama’ah yang disepakati secara ijma’ adalah bahwa kekafiran itu bertingkat-tingkat. Ada kufur yang mengeluarkan dari Islam yaitu kufur akbar, ada pula kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam yaitu kufur ashgar. Atau dengan istilah lain kufur i’tiqadi (dalam keyakinan) dan kufur amali (dalam amalan).

Terkadang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menyebutkan beberapa dosa sebagai kekafiran, seperti hadits di atas: “Memerangi muslim adalah kekafiran” atau hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:
لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضِكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
Jangan kalian kembali kepada kekafiran, sebagian membunuh sebagian yang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam adalah kufur amali, yaitu kekufuran kecil yang tidak mengeluarkan dari Islam. Dalil-dalil yang membuktikan hal ini sangat banyak, di antaranya ayat Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kalian dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (al-Baqarah: 178)

Dari ayat ini kita mendapatkan beberapa faedah:

1. Seorang muslim yang membunuh muslim lainnya disebut dalam ayat ini sebagai “saudara” bagi keluarga terbunuh. Hal ini tentunya menunjukkan persaudaraan keimanan yang berarti dia tidak keluar dari keislaman.

2. Allah sebutkan dalam ayat ini “keringanan” bagi orang yang membunuh tadi setelah diberi maaf oleh keluarganya, yang menunjukkan kalau orang tersebut tidak kafir yang mengeluarkan dari Islam. Karena tidak ada keringanan bagi orang kafir yang murtad dan keluar dari Islam.

3. Disebutkan pula dalam ayat ini “rahmat”, yang tentunya terkandung di dalamnya ampunan. Ini pun menunjukkan bahwa orang tadi tidak kafir, sehingga masih mungkin mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah.

Bukti lainnya adalah ucapan Allah:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kalian damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kalian perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kalian berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Al-Hujuraat: 9-10)

Dalam ayat ini kita dapatkan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa orang yang memerangi atau membunuh seorang muslim tidak kafir keluar dari Islam, di antaranya:

1. Allah menyebutkan dalam ayat ini dua kelompok yang saling berperang adalah orang-orang mukmin.

2. Allah juluki mereka dengan “saudara” yang tentunya yang dimaksud adalah saudara sesama muslim.

3. Allah perintahkan kepada kelompok penengah untuk mendamaikan keduanya dengan kalimat “Damaikanlah antara saudara-saudara kalian”, yang tentunya menunjukkan mereka masih muslimin.

4. Allah memerintahkan kepada kelompok penengah untuk memerangi orang yang tidak mau berdamai (kelompok bughot) sampai kembali kepada perintah Allah. Dan sudah diketahui secara umum bahwa memerangi para bughot adalah hingga mereka mau kembali dan taat kepada penguasanya. Wanita mereka tidak dijadikan tawanan, harta mereka tidak dianggap sebagai pampasan perang, tidak dikejar orang yang lari, tidak dibunuh orang yang luka dan seterusnya. Ini sangat berbeda dengan memerangi orang-orang yang kafir.

5. Disebutkan dalam ayat ini tujuan memerangi para bughot adalah agar mereka mau kembali berdamai dan tunduk kepada penguasa muslim. Berbeda sekali dengan tujuan memerangi orang-orang kafir agar mereka masuk Islam atau tunduk di bawah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah.

Ketiga, bahwa penafian keimanan yang disebutkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadits pezina di atas tidak menunjukkan kafirnya pelaku zina tersebut. Demikian pula peminum khamr dan pencuri. Tidak ada satu pun para ulama sejak para shahabat sampai hari ini yang menyatakan kafirnya mereka.

Kalau mereka dianggap kafir dengan kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam, tentunya tidak dihukumi dengan hukum-hukum had, seperti dicambuk, dipotong tangannya dan lain-lain. Sudah diketahui secara ijma’ bahwa hukum bagi seorang murtad adalah dibunuh.

Perhatikan ucapan Abu Ubaidah radhiallahu 'anhu ketika membantah khawarij yang mengkafirkan seorang muslim dengan kemaksiatan sebagai berikut: “Kami telah mendapati bahwa Allah telah mendustakan ucapan mereka. Yaitu ketika Allah menghukumi seorang pencuri dengan dipotong tangannya, seorang pezina dan penuduh zina dengan cambuk. Kalau saja dosa itu mengkafirkan pelakunya, tentu hukumnya atas mereka tidak lain kecuali dibunuh. Karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia!. (HR. Bukhari).
sumber : dari http://www.muhammad-as sewed.blogspot.com

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...