Menuju Kemenangan dan Kejayaan Kaum Muslimin (Bingkisan Untuk Kaum Muslimin Palestina)

Menuju Kemenangan dan Kejayaan Kaum Muslimin (Bingkisan Untuk Kaum Muslimin Palestina)


Nasehat Emas dari Dua Mujaddid Besar Masa Ini
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam risalahnya Fiqhul Waqi’ hal 48-50 menjelaskan :
“Sesungguhnya sebab mendasar kehinaan kaum muslimin ialah :
a. Kebodohan mereka tentang syari’at Islam yang Allah turunkan kepada hati Nabi kita Muhammad
b. Mayoritas kaum muslimin telah mengetahui hukum-hukum Islam dalam sebagian urusan mereka, namun mereka tidak mau mengamalkan
Dengan demikian, kunci kembalinya kemuliaan Islam ialah dengan mempraktekkan ilmu yang bermanfaat dan mengerjakan amal shalih. Ini adalah masalah besar yang tidak mungkin dicapai oleh kaum muslimin melainkan dengan menerapkan manhaj At-Tashfiyyah (pembersihan) dan At-Tarbiyyah (pendidikan). Dua hal ini adalah dua kewajiban yang sangat penting dan sangat agung kedudukannya.
Yang saya maksud dengan At-Tashfiyyah adalah beberapa perkara :
  1. Membersihkan aqidah Islamiyyah dari perkara yang menyimpang, seperti kesyirikan, menolak sifat-sifat Allah, menta’wilkan sifat-sifat Allah, menolak hadits-hadits shahih yang berhubungan dengan masalah aqidah, dan yang lainnya.
  2. Membersihkan fiqih islam dari ijtihad-ijtihad keliru yang menyalahi Al-Qur’an dan As-Sunnah dan membebaskan akal dari belenggu-belenggu taqlid dan kegelapan ta’asshub.
  3. Membersihkan kitab-kitab tafsir, fiqih, raqa’iq, dan yang laiinya dari hadits-hadits dha’if (lemah), maudhu’ (palsu), riwayat-riwayat isra`iliyyat, dan munkar.
Adapun yang saya maksud dengan At-Tarbiyyah ialah mendidik generasi yang tumbuh dengan Islam yang telah dimurnikan dari penyimpangan-penyimpangan di atas. Mendidik mereka dengan pendidkan Islam yang benar sejak dini dan tidak terpengaruh sedikitpun dengan sistem pendidikan ala barat yang kafir.”
Di tempat lain, Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah juga menjelaskan bahwa satu-satunya jalan untuk melepaskan muslimin dari kehinaan dan kemundurannya sekarang ini adalah dengan kembali kepada Ad-Dien, yang caranya adalah dengan menerapkan manhaj At-Tashfiyyah dan At-Tarbiyyah. Beliau mengatakan : “Agar kita dapat memberikan dalil yang menunjukkan benarnya pendapat yang kita pegangi dalam manhaj ini, kita kembali kepada Al-Qur’an. Di dalamnya ada satu ayat yang menunjukkan kesalahan orang-orang yang menyelisihi kita pada perkara yang sudah kita yakini dan kita pastikan dengannya, yaitu bahwa Al-Bidayah (langkah pertama untuk kembali kepada dien) adalah dengan melakukan At-Tashfiyyah kemudian berikutnya At-Tarbiyyah, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (7) [محمد/7]
Jika kalian menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian. [Muhammad : 7]
Inilah ayat yang dimaksud. Di sini para mufassirin telah sepakat : bahwa makna nashrullah (pertolongan Allah) adalah menerapkan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk di antaranya adalah beriman dengan hal-hal ghaib yang Allah jadikan syarat pertama bagi kaum mukminin (dengan firmannya) :
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ [البقرة/3]
Yaitu orang-orang yang beriman terhadap yang ghaib dan menegakkan shalat. [Al Baqarah : 3].
Maka, apabila pertolongan Allah tidak turun kecuali dengan cara menegakkan hukum-hukum-Nya, maka bagaimana kita dapat masuk ke dalam jihad ‘amali (yakni perang di medan tempur yang kita berharap pertolongan Allah turun padanya) sedangkan kita tidak menolong Allah sesuai dengan yang telah disepakati oleh mufassirin? Bagaimana kita bisa mendapatkan pertolongan Allah dalam berjihad sedang aqidah kita rusak? Bagaimana kita bisa mendapatkan pertolongan dalam berjihad sedang akhlak kita bejat? Jadi, sebelum berjihad harus membenarkan aqidah dan mendidik diri.
Sungguh aku tahu bahwa manhaj kita dalam melakukan At-Tashfiyyah dan At-Tarbiyyah tidak terlepas dari pertentangan. Di sana ada yang mengatakan : ‘Sesungguhnya perkara At-Tashfiyyah dan At-Tarbiyyah adalah perkara yang membutuhkan masa yang panjang!‘ Akan tetapi aku katakan bukan itu yang penting dalam perkara ini. Yang penting bahwa kita memulai dengan mengenal agama kita dan setelah itu, tidak menjadi masalah apakah jalannya akan panjang (lama) atau pendek (sebentar).[1]) Sesungguhnya perkataanku ini aku tujukan kepada para da’i muslimin, para ‘ulama, dan para pembimbing umat. Aku mengajak mereka agar mereka berjalan di atas ilmu yang sempurna tentang Islam yang shahih dan agar mereka dapat memerangi berbagai macam kelalaian dan kelengahan serta berbagai perselisihan dan pertentangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ [الأنفال/46]
dan janganlah kalian berselisih sehingga menyebabkan kalian menjadi lemah dan hilang kekuatan kalian [An Anfal : 46]
Apabila kita telah menghilangkan perselisihan dan kelalaian ini, dan kita telah menempati Shahwah Islamiyah (kebangkitan Islam) yang bersatu dan bersepakat, berarti kita mulai mengarah untuk merealisasikan kekuatan materi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ [الأنفال/60]
Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yangkamu sanggupi dar kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu [Al Anfal : 60]
Merealisasikan kekuatan materi adalah suatu perkara yang harus dilaksanakan, misalnya dengan harus membangun pabrik-pabrik senjata dan yang lainnya. Tetapi, sebelum itu semua haruslah kembali kepada ad-Dien yang benar sebagaimana yang ditempuh dan dijalani oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan para shahabatnya Radhiallahu ‘Anhum, baik dalam masalah aqidah, ibadah, suluk (akhlaq), dan dalam seluruh perkara yang berkaitan dengan syariat.
Oleh karena itu, aku ulangi kembali perkataanku : Tidak ada jalan untuk terlepas dari kenyataan yang menyedihkan yang menimpa umat ini melainkan (dengan cara kembali) kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, dan menerapkan At-Tashfiyyah dan At-Tarbiyyah dalam rangka kembali kepada dua dasar tersebut. Untuk itu kita dituntut untuk mengetahui ilmu hadits yang dengannya kita bisa membedakan antara hadits yang shahih dan hadits yang dhaif, agar kita tidak menentukan hukum-hukum (agama) dengan cara yang salah, sebagaimana yang telah terjadi di kalangan muslimin akibat  terlalu banyaknya mereka berpegang kepada hadits dha’if…” [2])
Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz Rahimahullah menerangkan :
“Jika kaum muslimin jujur dan mau serius serta bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuhnya, dengan mengerahkan semua potensi dan kemampuan yang dimiliki berupa persiapan fisik dan menolong agama Allah, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong mereka. Allah jadikan mereka kuat di hadapan musuh dan mampu mengalahkan mereka serta tidak hina di bawah mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha benar perkataan dan janji-janji-Nya telah berfirman :
إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (7) [محمد/7]
Jika kalian menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian. [Muhammad : 7]
Allah tidak lemah serta tidak butuh kepada manusia. Tapi Dia menguji hamba-hamba-Nya yang baik dengan hamba-hamba-Nya yang jelek agar terlihat kejujuran orang-orang yang jujur dan kedustaan para pendusta. Agar terlihat mana yang benar-benar sebagai mujahid dan mana yang bukan, siapa yang berharap selamat dari adzab dan siapa yang tidak. Sebenarnya Allah, Dia Maha mampu untuk menolong wali-wali-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya tanpa peperangan, tanpa jihad, dan tanpa yang lainnya. Sebagaimana Allah telah berfirman :
ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ [محمد/4]
Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain. [Muhammad : 4]
Allah berfirman di Surat Al Anfal tentang kisah Perang Badr :
وَمَا جَعَلَهُ اللهُ إِلا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ [الأنفال/10]
Dan Allah tidaklah menjadikannya kecuali sebagai kabar gembira dan agar hati kalian menjadi tentram. [Al Anfal : 10]
yakni pengiriman bala bantuan dari-Nya berupa bala tentara malaikat
وَمَا النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللهِ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (10) [الأنفال/10]
Tidaklah pertolongan itu kecuali hanya dari sisi Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. [Al Anfal : 10]
Allah juga berfirman dalam surat Ali ‘Imran :
وَمَا جَعَلَهُ اللهُ إِلا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (126) [آل عمران/126]
Dan Allah tidaklah menjadikannya (yakni pengiriman bala bantuan dari-Nya berupa bala tentara malaikat) kecuali sebagai kabar gembira bagi kalian dan agar hati kalian tenang dengannya. Dan tidaklah pertolongan itu kecuali hanya dari sisi Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. [Ali ‘Imran : 126]
Maka pertolongan itu hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Tapi Allah (mengirimkankannya dalam bentuk) bantuan bala tentara malaikat. dan juga kekuatan yang Allah berikan dalam bentuk senjata, materi, dan pasukan yang besar. Semuanya itu merupakan sebab-sebab (datangnya) pertolongan serta kabar gembira dan ketenangan hati. Sementara pertolongan Allah tidak terkait dengan itu semua. Allah berfirman :
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (249) [البقرة/249]
Berapa banyak pasukan kecil bisa mengalahkan pasukan besar dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar. [Al Baqarah : 249]
Kita perlu ingat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan para shahabatnya, dulu dalam Pertempuran Badr jumlah mereka hanya sekitar 310 orang saja. Persenjataan minim, kendaraan hanya 70 ekor onta, mereka saling bergantian dalam mengendarainya. Tidak ada kuda kecuali hanya 2 ekor saja. Adapun pasukan kafir ketika itu berjumlah sekitar 1000 personil! Dilengkapi dengan kekuatan yang besar dan persenjataan yang banyak. Namun ketika Allah menghendaki mereka (kaum kafir) hancur, maka Allah hancurkan mereka. Kekuatan dan pasukan dalam jumlah besar itu tidak ada gunanya lagi. Allah hancurkan ribuan orang (kuffar) dan kekuatan yang besar itu dengan 3000 malaikat dan 310 pasukan dengan kekuatan yang sangat lemah. Namun dengan kemudahan, pertolongan, dan bantuan Allah kaum muslimin berhasil menang dan berhasil menawan 70 kuffar serta membunuh 70 kuffar, serta berhasil memukul mundur sisanya. Semuanya itu merupakan tanda kekuasan dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala dan itu merupakan pertolongan-Nya.
Demikian juga dalam pertempuran Ahzab. Tentara kuffar memerangi Kota Madinah dengan kekuatan 10.000 personil yang merupakan gabungan segenap qabilah ‘arab ketika itu, yaitu Quraisy dan yang lainnya. Mereka mengepung kota Madinah. Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan para shahabatnya menghadapi mereka dengan strategi khandaq (membuat parit sepanjang perbatasan Kota Madinah, sehingga menghalangi tentara kuffar untuk masuk, pent). Itu merupakan sebab datangnya pertolongan Allah yang hissi (tampak). Sementara tentara kuffar terus mengepung Kota Madinah sampai beberapa waktu lamanya. Kemudian Allah porak-porandakan barisan mereka tanpa melalui peperangan! Allah masukan ke hati mereka ru’b (perasaan takut dan gentar) dan Allah kirimkan angin dan tentara dari sisi-Nya (untuk mengaucaukan dan menghancurkan mereka), sehingga mereka tidak bisa tenang, akhirnya mereka memutuskan untuk menghentikan pengepungan dan kembali ke daerah masing-masing dengan penuh ketakutan. Ini semua merupakan pertolongan dan bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka kekuatan kuffar melemah dan mereka tidak jadi memerangi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan para shahabat di Madinah. Bahkan sebaliknya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam balik memerangi mereka pada hari Hudaibiyyah. Yaitu melalui Perjanjian Hudaibiyyah, di mana terjadi kesepakatan gencatan senjata ketika itu. (Ini merupakan bentuk kemenangan Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam atas kuffar). Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memerangi kuffar tersebut secara fisik pada Ramadhan tahun 8 H dan Allah jadikan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berhasil merebut kota Makkah. Yang akhirnya setelah itu manusia masuk Islam secara berbondong-bondong.
Jadi An-Nashr (pertolongan) itu di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang menolong hamba-hamba-Nya (mukminin). Namun Allah juga memerintahkan mereka untuk melakukan sebab-sebab yang bisa mendatangkan pertolongan-Nya tersebut. Sebab terbesarnya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di antara bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah tafaqquh dan mempelajari agama-Nya, sehingga dengannya engkau mengetahui hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya untuk dirimu dalam hal yang berkaitan dengan pribadimu, dengan orang lain, dan dengan jihadmu melawan musuhmu. Sehingga mendorongmu untuk melakukan persiapan untuk menghadapi musuh. Dengan ilmu tersebut engkau menahan diri dari larang-larangan Allah, dan engkau menunaikan perintah-perintah Allah, serta berhenti di batas-batas yang Allah tentukan. Ilmu tersebut mendorongmu untuk bekerjasama dengan saudara-saudaramu muslimin dan engkau rela mengorbankan hartamu yang paling mahal dan berharga sekalipun di jalan Allah, dalam rangka menolong agama Allah dan meninggikan kalimat Allah. Bukan untuk kepentingan negara atau suku (atau yang semisal itu).
Inilah cara dan jalan untuk mendapatkan pertolongan dari Allah, yaitu dengan cara mempelajari ilmu syar’i dan tafaqquh fiddin. Semua lapisan Umat Islam harus melakukan ini, baik pemerintah maupun rakyat, baik besar maupun kecil. Kemudian mengamalkan konsekuensi-konsekuensi ilmu tersebut serta meninggalkan larangan-larangan Allah yang selama ini kita masih bergelimang di dalamnya.
-selesai penjelasan dari Asy-Syaikh Bin Baz Rahimahullah [ dari Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah V/109-112 ]
Dari Tsauban Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
يُوْشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى اْلأَكَلَةُ إِلىَ قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ : وَ مِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ : بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَ لَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمْ المَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَ لَيَقْذِفَنَّ اللهُ فيِ قُلُوْبِكُمْ الوَهْنَ. فَقَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَ مَا الْوَهْنُ؟ قَالَ : حُبُّ الدُّنْيَا وَ كَرَاهِيَةُ المَوْتِ.
Hampir-hampir umat-umat (di luar kalian) mengerumuni kalian sebagaimana orang-orang yang makan mengerumuni piring hidangannya.
Ada yang bertanya kepada beliau : “Apakah disebabkan jumlah kita sedikit pada saat itu?”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab : “Bahkan kalian pada hari itu jumlahnya banyak, akan tetapi kalian hanyalah buih seperti buih yang dibawa air bah (banjir) dan sungguh Allah akan mencabut dari dada-dada musuh kalian rasa segan (ketakutan) terhadap kalian dan Allah akan lemparkan ke dalam hati kalian ‘Al Wahn’.”
Seseorang bertanya lagi : “Wahai Rasulullah apakah ‘Al Wahn’ itu?”
Beliau menjawab : “Cinta dunia dan takut mati.” [3])
Asy-Syaikh Bin Baz Rahimahullah berkata : “Penyakit al-wahn yang tersebut dalam hadits di atas hanyalah muncul disebabkan karena kebodohan yang dengannya umat buih sepeti buih yang dibawa banjir. Mereka tidak memiliki bashirah (ilmu) tentang kewajiban mereka karena kejahilan tersebut, yang karenanya mereka hanya bernilai seperti itu (buih).” [ dari Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah V/106 ]
Asy-Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata ketika menerangkan hadits tersebut :
Kalau Hadits Tsauban di atas menyebutkan jenis penyakitnya, yaitu : Cinta dunia dan takut mati. Maka hadits Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘Anhu berikut ini menyebutkan obatnya yang tepat sempurna untuk penyakit tersebut, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ، وَ أَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَ رَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ، وَ تَرَكْتُمُ الجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتىَّ تَرْجِعُوا إِلىَ دِيْنِكُمْ
Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah [4]), dan kalian telah disibukkan dengan ekor-ekor sapi (peternakan), dan telah senang dengan bercocok tanam, dan juga kalian telah meninggalkan jihad, niscaya Allah akan timpakan pada kalian kehinaan kepada kalian, tidak akan Allah cabut kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada agama kalian. [HR. Abu Dawud] [5]).
Maka dari sini kita bisa mengambil dua faedah :
Pertama : Hadits Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘Anhu ini menyebutkan obat bagi penyakit yang disebutkan secara global dalam Hadits Tsauban serta merincinya.
·    Jadi sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian telah disibukkan memegang ekor-ekor sapi, dan telah senang dengan bercocok tanam”; merupakan rincian dari penyakit Cinta dunia.”
·   Sedangkan sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Dan juga kalian telah meninggalkan jihad“; itu merupakan akibat (atau rincian) dari penyakit “Takut mati. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآَخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ (38) [التوبة/38]
Wahai orang-orang yang beriman, apa sebabnya, apabila dikatakan kepada kalian : “Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah”, kalian merasa berat dan ingin tetap tinggal di tempat kalian? Apakah kalian lebih senang dengan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, padahal tidaklah kehidupan dunia itu dibanding dengan akhirat kecuali sedikit. [At-Taubah : 38]
Perhatikan dua lafazh hadits di atas, karena itu berasal dari sumber yang sama, (yaitu seorang) yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya, tapi tidak lain itu merupakan wahyu yang beliau terima dari Allah Subhanahu wa Ta’ala!
Kedua : bahwa manusia berbeda-beda dalam menentukan obat dan solusi bagi musibah yang menimpa umat ini. Di antara mereka ada yang berpendapat dengan cara politik, ada  yang berpendapat dengan cara perang (pertumpahan darah), dan ada pula yang berpendapat dengan cara IPTEK, serta masih banyak lagi pendapat-pendapat lainnya. Adapun solusi dan jalan keluar yang ditempuh oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah dengan cara dien, da’wah dan Tarbiyyah. Karena umat ini jika beragama dengan agama yang benar dan beramal dengan sunnah-sunnah beliau niscaya akan menjadi baik semua urusan mereka. Namun jika mereka berpaling dari sikap ruju’ (kembali) kepada agama mereka niscaya mereka lebih tidak mampu lagi untuk mewujudkan cara-cara yang lainnya. Hal itu karena Ahlus Sunnah As-Salafiyyun adalah orang yang paling berhak atas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan paling bangga dengan da’wah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu dengan bersungguh-sungguh dalam mengajarkan kepada manusia ilmu dan bersabar di atasnya. Sampai Allah tampakkan kepada mereka berupa disambutnya da’wah tauhid dan terwujudnya kemenangan.
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (5) [الروم/4، 5]
Dan pada hari itu kaum mu’min bergembira dengan pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. [Ar Rum : 4-5]
Kalaupun umat tidak menerima da’wah mereka –termasuk da’wah tauhid– maka mereka tetap kokoh dan bersabar di atas jalan tersebut, tidak menyimpang sedikitpun dari jalan ini sampai bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas Rabbaniyyah yang telah Allah berfirman tentang mereka :
وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ (79) [آل عمران/79]
…tapi jadilah kalian orang-orang Rabbani, dengan sebab kalian selalu mengajarkan Al Kitab dan dengan sebab karena kalian selalu mempelajarinya. [Ali ‘Imran : 79]
Oleh karena itu tidak benar ijtihad (pendapat) orang-orang yang menyatakan bahwa problematika umat ini akan selesai dengan cara politik, atau dengan cara perang, atau melalui jalur IPTEK, atau pun cara-cara yang lainnya. Hal ini karena Rasulullah telah menyatakan dengan tegas, bahwa solusinya adalah : [sampai kalian ruju’ (kembali) kepada Dien (agama) kalian]. Tidak ada cara untuk bisa ruju’ (kembali kepada agama) kecuali dengan cara mempelajarinya. Maka solusi dari problem tersebut semuanya berporos dan kembalinya kepada At-Ta’lim (mempelajari agama), sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
إِنَّمَا العِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَ الحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ
Hanyalah ilmu itu didapat dengan cara mempelajarinya, dan hanyalah hilm (sikap bijak) itu diperoleh dengan cara tahallum (usaha untuk bersikap bijak) [HR. Al-Khathib] [6])
Maka jelaslah dari dalil-dalil di atas, dan dengan memadukan antara :
·       Kandungan hadits Tsauban  -yang menyebutkan bahwa penyakitnya itu terletak di hati : [Cinta dunia dan takut mati]-
·       Dan Kandungan hadits Ibnu ‘Umar -yang menyebutkan obatnya, yaitu [sampai kalian ruju’ (kembali) kepada agama kalian]-
Dari sini jelaslah bahwa : Perbaikan pertama kali yang harus dilakukan adalah perbaikan hati, yaitu dengan cara membersihkan aqidah yang ada di dalam hati. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan secara tegas oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam :
أَلاّ وَ إِنَّ فيِ الجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَ هِيَ القَلْبُ
Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, jika dia baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika dia rusak maka rusaklah seluruh jasad, ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah Al Qalb (hati) [7]). [Muttafaqun ‘alaihi] [8]).

[1] Hal ini mengingatkan kita pada sebuah hadits dari shahabat Khabbab Al Arat Radhiallahu ‘Anhu : Kami mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ketika beliau sedang berbantalkan burdahnya di bawah Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memohonkan pertolongan untuk kita? Mengapa engkau tidak berdo’a kepada Allah untuk kita?”
Maka beliau langsung duduk, wajahnya memerah seraya bersabda : “Dahulu umat sebelum kalian ada yang disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya, akan tetapi perlakuan itu tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam), hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah atau (dia hanya khawatir terhadap) srigala (yang akan menerkam) kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa. [HR. Al Bukhari No. 3612, 3852, 6941; Ahmad IV/165-166, VI/395]
Itulah kalimat yang keluar dari lisan seorang nabi yang sangat menginginkan kebaikan bagi umatnya, yang merasa berat dan susah atas segala penderitaan yang dialami oleh umatnya. Kalimat ini dinyatakan oleh beliau ketika kaum muslimin sedang dalam keadaan tersiksa oleh kekejaman Quraisy. Kalimat ini keluar untuk menyejukkan hati para shahabat beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, yang sedang mengalami penyiksaan dan penderitaan, dirundung berbagai kesusahan dan musibah……dan merasakan perjalanan da’wah ini terlalu panjang. Inilah tarbiyah  nabawi untuk para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, generasi terbaik dan terutama di umat ini…..tidak kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengambil jalan pintas dan merasakan apa yang beliau alami selama ini sebagai jalan yang sangat panjang, yang kemudian mendorong beliau untuk melakukan tindakan pembunuhan, penculikan, dan tindakan-tindakan teror yang lainnya menghadapi kekejaman pemerintahan kafir Quraisy. Tidak pula Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan orasi-orasi dan provokasi-provokasi terhadap umat untuk melakukan tindakan-tindakan di atas. Karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tahu dan mengerti kondisi umat yang lemah dan membutuhkan adanya At-Tashfiyyah (pembersihan) aqidah mereka dari segala perkara yang mengotorinya serta melakukan At-Tarbiyyah (pembinaan) umat menuju kepada ilmu dan aqidah yang benar.
[2] Dinukil dari Hayatu Al Albani wa Atsaruhu I/389-391 karya Ibrahim Asy Syaibani.
[3] HR. Ahmad V/278 dan Abu Dawud no. 4297, dari hadits Tsuban Radhiallahu ‘Anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 958.
[4] Jual beli ‘inah adalah jual beli dengan cara riba. Contohnya si A menjual barang kepada si B dengan harga tertentu dan pembayaran dilakukan di belakang hari (kredit). Kemudian sebelum lunas pembayarannya, si A membeli kembali (dengan kontan) barang yang dia jual tersebut dari si B dengan harga yang lebih murah daripada harga yang ditetapkan ketika dia menjualnya. Kemudian nantinya si B harus rtetap membayar barang tersebut dengan harga semula walaupun barang tersebut sudah tidak lagi dimilikinya. (lihat Nailul Authar, V/250).
[5] HR. Abu Dawud no 3462, Ahmad II/28. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani di Ash Shahihah no. 11.
[6] HR. Al-Khathib di dalam At-Tarikh IX/127, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah 342.
[7] Maka wajib membersihkan qalbu (hati) umat ini dari aqidah-aqidah yang mengotorinya, agar perbuatan dan tindakan anggota tubuhnya menjadi baik. Hati mereka harus dibersihkan dari noda kesyirikan agar anggota badan mereka tidaklah beribadah kepada selain Allah. Dibersihkan hati mereka dari noda aqidah mu’tazilah dan khawarij agar selamat lisan mereka dari pengkafiran terhadap kaum muslimin serta caci makian terhadap ‘ulama dan para penguasa muslimin dan seterusnya dari berbagai macam aqidah-aqidah sesat yang mengotori qalbu mereka.
[8] HR. Al-B0075khari 52; Muslim 1599, dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu .
sumber : http://www.almaksari.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[AUDIO]: Nilai Sebuah Keikhlasan

Rekaman –  AUDIO KAJIAN  Kajian Islam Ilmiyyah Tanjung Priok  Ahad, 03 Rabi’ul Awwal 1440H / 11 November 2018M   Masjid Raya al-H...